PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Analisis Filosofis Terhadap Historikal Pancasila Dalam Sejarah Negara Republik Indonesia

islam

Fakta Hukum

Pancasila yang diperingati setiap 1 Juni memiliki historis yang panjang dan berliku. Bahkan, Pancasila yang dikenal sebagai dasar negara saat ini mengalami sejumlah proses perubahan dari rumusan awal waktu itu. Bukan hanya rumusan, urutan Pancasila saat ini juga berbeda. Sedikitnya ada tiga (3) versi rumusan Pancasila saat itu, tepatnya pada tanggal 1 juni 1945, adapun tokoh-tokoh yang memberikan rumusan atas dasar negara Indonesia saat itu antara lain yaitu: Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno. Kemudian, berdasarkan usulan Soekarno dasar negara Indonesia tersebut diberi nama Pancasila. Pancasila merupakan weltanschauung atau pandangan mendasar, filsafat, juga fundamen yang digali dari jati diri bangsa Indonesia. 

Kemudian, terhadap rumusan-rumusan di atas dilakukan upaya selanjutnya yakni dengan membentuk tim yang terdiri dari sembilan orang untuk merumuskan kembali Pancasila, tim tersebut dikenal dengan istila ‘panitia sembilan’. Adapun sembilan orang itu adalah Soekarno, Muhammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, Ahmad Soebardjo, Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin. Adapun hasil dari rumusan Pancasila yang baru, atau disebut sebagai Piagam Jakarta ialah sebagai berikut:

  1. Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya 
  2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab 
  3. Persatuan Indonesia 
  4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
  5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia 

Piagam Jakarta dikenal dengan rumusan Pancasila versi 22 Juli 1945. Namun, atas rumusan di atas terjadi banyak perdebatan dan perbedaan pendapat, seperti pendapat Ki Bagoes Hadikoesoemo (kalangan islamis), menurut beliau kemerdekaan Indonesia diraih juga berkat perjuangan umat Islam, “Tak akan ada nation Indonesia tanpa umat Islam. Lebih dari itu, karena kalangan nasionalis Indonesia yang berjuang dalam lingkup nasional yang mula pertama memang berwatak Islam. Argumen itu kemudian disanggah karena dinilai hanya melihat bangsa Indonesia berdasarkan demografis, pertimbangan bahwa Indonesia merupakan sebuah gugusan kepulauan dari Sabang sampai Merauke itu juga yang menyebabkan muncul usulan agar dasar negara tidak berdasarkan agama tertentu.

Oleh karena itu, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, diputuskan untuk melakukan perubahan pada sila pertama dari yang ditulis dalam Piagam Jakarta. Tujuh kata itu, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya“, kemudian dihapus.  Menurut Muhammad Hatta bahwa “Sesungguhnya tujuh perkataan itu hanya mengenai penduduk yang beragama Islam saja, pemimpin-pemimpin umat Kristen di Indonesia timur keberatan kalau tujuh kata itu dibiarkan saja, sebab tertulis dalam pokok dari pokok dasar negara kita, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah dibedakan warga negara yang beragama Islam dan bukan Islam.

Hingga kemudian, lahirlah rumusan Pancasila versi 18 Agustus 1945 itu menjadi seperti yang dikenal saat ini, yaitu:

  • Ketuhanan yang Maha Esa 
  • Kemanusiaan yang Adil dan Beradab 
  • Persatuan Indonesia 
  • Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
  • Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia 

Hamka Haq dalam buku Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam (2011) menulis bahwa “Sila itu merupakan hasil kompromi antara ideologi Islam dan ideologi kebangsaan yang mencuat selama rapat BPUPKI berlangsung.”

Perjalanan historikal Pancasila tidak berhenti di situ, berikutnya persoalan kembali mencuat dalam pembahasan konstitusi Negara Republik Indonesia, perlu diketahui bahwa konstitusi kita telah mengalami beberapa perubahan, diantaranya Konstitusi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), Konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara, dan Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  

       Baca Juga: Socio Legal Studies dan Ilmu Hukum

Persoalan tersebut terjadi dalam Konstituante, yang memiliki tugas untuk membentuk Undang-Undang Dasar yang baru, Konstituante adalah lembaga negara yang dibentuk lewat Pemilihan Umum (Pemilu) 1955. Hasilnya sejak dimulai persidangan pada 1956 hingga 1959 tidak berhasil untuk merumuskan suatu Undang-Undang dasar yang baru, kemudian Konstituante dinyatakan gagal dalam menjalankan tugasnya. 

Pada 22 April 1959 diadakan sidang lengkap Konstituante di Bandung. Pada sidang tersebut Presiden Soekarno mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945.  Usulan Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945 terjadi pro dan kontra, ada yang mendukung dan menolak.  Dua partai besar, PNI dan PKI menerima usul rencana pemerintah tentang UUD 1945, sedangkan Masyumi menolak, karena dikhawatirkan sila pertama yang terdapat dalam piagam Jakarta dihapuskan dalam konstitusi.

Akhirnya, pada 5 Juli 1959, di Istana Merdeka, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan mengumumkan Dekrit Presiden tentang berlakunya kembali UUD yang dipergunakan pada 1945 saat bangsa Indonesia mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk kali pertama. Isi Dekrit Presiden  Berikut ini adalah isi dekrit presiden 5 juli 1959: 

  • Dibubarkannya Konstituante  
  • Diberlakukannya kembali UUD 1945  
  • Tidak berlakunya lagi UUDS 1950  
  • Dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang diberlakuakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. (OL-1)

Kemudian, untuk memberikan pengayomanan kepada pihak islamis Presiden Soekarno menyatakan bahwa “Kami berkeyakinan bahwa piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945, dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.

Tidak berhenti di situ, dewasa ini Pancasila kembali digugat, kembali di pertanyakan, disanksikan, bahkan dianggap sebagai suatu produk yang bertentangan dengan islam, karena dianggap menggantikan al-qur’an dan hadist yang merupakan sumber hukum dalam islam, itulah pendapat-pendapat kelompok islamis yang berkembang saat ini.  Persoalan dewasa ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan persoalan-persoalan yang telah terjadi di masa lampau, sebagaimana penulis paparkan di atas.

Baca Juga: Sejarah Pancasila Sebagai Dasar Negara

Puncaknya ialah saat dibubarkannya 2 (dua) organisasi yang berbasis islam oleh pemerintah melalui perppu yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Namun tidak berhenti disitu, perdebatan-perdabatan soal Pancasila dan hubungannya dengan Islam kembali mencuat kepermukaan, bahkan diskusi terkait hal ini tampil di media mainstream yang memiliki dampak besar terhadap opini publik.

Analisis

Sejatinya polemik yang muncul saat ini merupakan pengulangan polemik-polemik yang pernah terjadi sebelumnya. Bahkan dapat dikatakan sebagai membuka kembali bahasan lama yang sebenarnya sudah selesai. Tentu sangat tidak elok sekali apabila Pancasila hari ini dipersoalkan kembali, padahal dulu menjadi titik temu dari berbagai golongan. 

Waktu itu golongan Islam melunakkan ego mereka untuk menghapuskan tujuh kata pada sila pertama, dan dari pihak nasionalis menerima aspek ‘ketuhanan’ dalam Pancasila. Oleh karenanya polemik yang timbul saat ini menurut analisis penulis hanya membuka kembali polemik yang sejak dahulu sudah dituntaskan oleh para leluhur bangsa ini. Untuk mempermudah analisis maka, penulis akan menjelaskan sekaligus menjawab permasalahan-permasalahan di atas, berikut uraiannya:

  1. Secara ketara dapat penulis simpulkan bahwa yang menjadi inti persoalan dalam historikal Pancasila ialah berkaitan dengan bunyi sila pertama, yang sampai saat ini telah mengalami dua (2) kali perubahan. Meskipun, hanya tujuh kata namun, memiliki dampak yang sangat besar, bahkan dapat memecah belah para pendiri bangsa ini menjadi dua (2) golongan yang sama-sama kuat, dan bergesekan secara intens. Bunyi sila tersebut ialah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan “Ketuhanan yang Maha Esa.”
  2. Selama pergolakan dalam historikal Pancasila setidaknya dapat penulis petakan dua (2) golongan besar yang saling bertentangan – meskipun pada akhirnya dapat mencapai kesepakatan – golongan pertama ialah islamis, yang kemudian secara kepartaian menjadi Masyumin dan NU, golongan kedua yakni nasionalis dan komunis, yang masing-masing kemudian mengejawantah dalam suatu wadah politik yaitu PNI dan PKI.
  3. Historikal Pancasila memang sepintas diasumsikan sebagai sejarah pergolakan pemikiran pendiri bangsa Indonesia belaka, namun kita luput mengamati bagaimana pergolakan ideologi dan politik internasional saat itu, yang ternyata juga memberikan dampak atas pemikiran-pemikiran saat itu. Perang dingin – perang mengenai memenangkan suatu ideologi – pada waktu itu sedang gencar-gencarnya, antara barat dengan ideologi liberalis-kapitalisme dan timur dengan ideologi komunisme-leninisme. 
  4. Setelah penulis analisis secara filosofis, maka dapat penulis temui bahwa jalan keluar yang ditempuh atau kebijaksanaan yang dipilih waktu itu, melihat perbedaan pendapat yang sangat krusial tersebut, para pendiri bangsa mengambil langkah yang diskursif atas apa yang dipersoalkan, kemudian dilakukan upaya musyawarah untuk mufakat, dan terkahir peran pemimpin yang tegas dan akomodatif terhadap seluruh golongan dan seluruh masyarakat Indonesia saat itu. Kemudian, menurut analisa penulis yang menjadi pemersatu dari perbedaa-perbedaan saat itu ialah adanya persamaan persepsi dan tafsir terhadap konsep ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ sehingga dari masing-masing golongan merasa puas.
  5. Selanjutnya, penulis mencoba untuk merenung dan berfikir mengenai kondisi Indonesia dewasa ini, dimana mencuat kembali polemik yang sebenarnya sudah pernah terselesaikan dan disepakati bersama. Melalui berfikir filosofis, penulis berusaha memahami bagaimana perbedaan kebijaksanaan yang diambil antara dulu dan sekarang. Saat ini, persoalan tersebut disikapi dengan cara yang represif dan normatif. Contohnya, dengan membubarkan golongan yang mempersoalkan Pancasila sehingga ruang diskusi tidak dimungkinkan, karena pemerintah tidak memberikan akses untuk melakukan diskusi secara formal dan terbuka. Bahkan sampai saat, persoalan tersebut masih tetap ada dan menjamur di masyarakat. Jadi, kebijaksanaan yang dipilih oleh para golongan saat ini ialah dengan tetap berpegang teguh pada pendiriannya masing-masing, hanya sebagian kecil yang mulai berubah dan searah.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan terhadap kebijaksanaan yang diambil pada waktu dulu dan sekarang, hal ini penulis temui melalui pengkajian atas historikal Pancasila. Bahwa perbedaan kebijaksanaan yang dipilih tersebut kemudia berimplikasi kepada bagaimana persoalan tersebut terselesaikan.

Menurut penulis, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi berbedaan kebijaksanaan yang dipilih tersebut, salah satunya kondisi sosial politik. Demikian uraian analisis filosofis terhadap historikal Pancasila di Indonesia, dan relevansinya dengan kondisi Indonesia saat ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *