Pembuktian Perkara Pidana
Penanganan perkara pidana, proses hakim dalam penjatuhan putusan melalui beberapa tahapan salah satunya berupa pembuktian. Pembuktian dalam KBBI bersumber dari kata “bukti” yang diterjemahkan dari bahasa Belanda “bewijs” dengan arti pembenaran atas terjadinya suatu peristiwa.
Istilah pembuktian dalam hukum acara pidana islam berasal dari kata “al-bayyinah” bentuk dari persamaan kata “al- Dalil wa al-Hujjah” memiliki makna petunjuk atas suatu argumentasi. Pembuktian hukum acara pidana disini dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang memberikan suatu keterangan atas perkara pidana dalam proses persidangan agar nantinya hakim dalam pengambilan keputusan sesuai pada fakta hukum.
Baca juga: Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana
Sistem pembuktian di Indonesia menggunakan pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel), seseorang disebut bersalah apabila dibuktikan melalui alat bukti yang sah berdasarkan hukum positif dan berdasarkan keyakinan hakim.
Pengertian Alat Bukti
Alat bukti diartikan sebagai sesuatu yang memiliki keterkaitan atau hubungan dari suatu perbuatan dimana nantinya alat tersebut dijadikan pembuktian dalam proses persidangan dengan maksud sebagai pertimbangan keyakinan para hakim atas tindakan bersalah seseorang.
Proses pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel) sejalan dengan ketentuan pasal 183 KUHAP, dimana hakim dalam memutus perkara berdasar pada minimal dua alat bukti sah dan keyakinan dari hakim sebagai penentuan seseorang tersebut bersalah atau tidak.
Alat bukti yang sah perkara pidana dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP meliputi; Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa.
Pasal 185 KUHAP memberikan pengaturan penilaian alat bukti keterangan saksi dianggap sah apabila keterangannya diberikan dalam persidangan. Mengenai saksi yang melakukan pemberian keterangan saja tidak bisa menyatakan seseorang bersalah tanpa dibarengi dengan alat bukti sah yang lain.
Ketika terdapat saksi lebih dari satu dan memberikan keterangan kemudian memiliki kedudukan sendiri-sendiri mengenai kejadian atas permasalahan, maka bisa disebut alat bukti sah apabila memiliki keterkaitan dan menunjukkan kebenaran atau ketidakbenaran suatu permasalahan.
Hakim haruslah melihat kesesuaian antara keterangan saksi-saksi, sesuai atau tidaknya keterangan saksi dan alat bukti lainnya, alasan keterangan saksi tersebut diberikan serta kehidupan dan kesusilaan dari saksi tersebut untuk mengetahui apakah hal tersebut mempengaruhi atau tidaknya atas keterangan yang diberikan.
Keterangan saksi yang tidak dilakukan sumpah meskipun dalam hal ini berkaitan dengan keterangan lainnya bukan menjadi bagian dari alat bukti sah, namun apabila keterangan tersebut memiliki kesesuaian dengan keterangan saksi yang disumpah bisa dijadikan alat bukti yang sah.
Pasal 1 angka 28 KUHAP menjelaskan mengenai keterangan ahli mengarah pada seseorang dengan keahlian khusus terhadap hal yang dibutuhkan agar memberikan kejelasan perkara untuk kepentingan pemeriksaan. Pasal 186 KUHAP mengatur terkait keterangan ahli dimana keterangan tersebut dinyatakan sah apabila ahli tersebut menyatakan saat proses persidangan berlangsung.
Surat yang dibuat berdasarkan pada sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah menjadi alat bukti sah sesuai ketentuan pasal 187 KUHAP terbagi atas beberapa kategori. Kategori pertama berupa berita acara maupun surat lainnya dibuat oleh pejabat umum berwenang berbentuk resmi atau dilakukan dihadapan pejabat tersebut dengan memuat keterangan atas kejadian yang dialami, dilihat dan didengar sendiri melalui alasan sejelas-jelasnya dan diberikan dengan keadaan tegas dari keterangan tersebut.
Kategori kedua surat sebagai alat bukti sah berupa pembuatan surat berdasarkan aturan hukum tertulis atau pejabat berwenang berkaitan dengan tata laksana tanggungjawabnya dengan tujuan peruntukan pembuktian atas suatu hal maupun keadaan. Kategori terakhir surat yang isinya keterangan ahli berisikan pendapat sesuai keahliannya atas terjadinya keadaan dengan permintaan keterangan tersebut secara resmi.
Pasal 188 ayat (1) dan (2) KUHAP mengatur terkait petunjuk sebagai alat bukti sah berupa terjadinya keadaan atau kejadian serta perbuatan memiliki kesesuaian antar lainnya bahkan dengan permasalahan pada saat persidangan memberikan pertanda akan terjadi suatu tindakan pidana beserta pelakunya. Petunjuk tersebut didapatkan melalui surat, keterangan saksi maupun terdakwa.
Pasal 189 KUHAP menjelaskan terkait keterangan terdakwa sebagai alat bukti sah. Keterangan terdakwa disini berupa keterangan yang diberikan pada saat sidang berupa suatu perbuatan yang dialami, diketahui dan dilakukan sendiri.
Apabila keterangan terdakwa dilakukan diluar sidang dapat digunakan sebagai pembantu penemuan bukti pada proses sidang apabila disertai dengan alat bukti sah lainnya sesuai dakwaan yang diperuntukkan oleh terdakwa. Kegunaan dari keterangan terdakwa hanya untuk dirinya sendiri dan tidak bisa membuktikan terdakwa tersebut dikatakan bersalah tanpa alat bukti sah lainnya.
Baca juga: Perbedaan Penyelidikan dan Penyidikan Berdasarkan Hukum Acara Pidana
Pengertian Barang Bukti
KUHAP tidak menjelaskan secara rinci mengenai barang bukti yang menjadi bagian dari pembuktian perkara pidana. Jika merujuk pada pasal 46 ayat (2) KUHAP barang bukti disini mengarah pada barang maupun benda yang telah disita oleh penyidik.
Pasal 18 ayat (2) KUHAP juga memperkuat pemaknaan dari barang bukti dimana dalam hal kasus perkara pidana tertangkap tangan maka barang bukti yang ditemukan harus diserahkan kepada tim penyidik. Pemaknaan mengenai barang bukti juga bisa merujuk pasal 21 ayat (1) KUHAP yang menerangkan bahwa penahanan dilakukan agar barang bukti tidak dirusak oleh tersangka atau terdakwa.
Dapat diartikan bahwa barang bukti merupakan hasil dari kegiatan yang dilakukan oleh tim penyidik guna kepentingan pembuktian yang dilakukan melalui serangkaian proses bermula melalui penyidikan sampai dengan proses peradilan.
Pasal 39 ayat (1) KUHAP mengatur keberadaan barang bukti perkara pidana. Macam dari barang bukti disini terbagi atas dua kategori berupa benda berwujud dan benda tidak berwujud. Mengenai benda berwujud disini berupa benda yang digunakan pada saat berlangsungnya tindak pidana.
Benda yang di pakai untuk melakukan penghalangan atas kegiatan penyidikan. Berupa benda khusus yang sengaja dibuat agar tindak pidana dapat berlangsung. Benda lain yang memiliki hubungan secara langsung maupun tidak atas tindak pidana yang berlangsung bisa juga berbentuk hasil dari kejahatan atau tindak pidana yang berwujud benda. Mengenai benda yang tidak berwujud ini dapat berupa tagihan yang bersumber dari kegiatan atau pada saat tindak pidana dilakukan.
Baca juga: Sanksi Pidana Pembunuhan Dilakukan atas Permintaan Korban
Kedudukan Alat Bukti dan Barang Bukti Hukum Acara Pidana
Pasal 183 KUHAP menjadi dasar pentingnya kedudukan alat bukti dalam pengambilan keputusan hakim untuk seseorang dinyatakan terpidana atau tidak. Pemutusan perkara pidana menitikberatkan ditemukannya minimal dua alat bukti sah serta keyakinan dari hakim seseorang tersebut bersalah tidaknya.
Tanpa adanya alat bukti maka hakim tidak dapat memberikan bahwa seseorang tersebut dianggap sebagai terpidana. Alat bukti disini yang dimaksud berupa alat bukti yang sah sesuai ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP. Tanpa adanya minimal dua alat bukti sah maka hakim tidak dapat memutuskan seseorang melakukan kesalahan atau tidak terhadap tindakannya,
Kedudukan barang bukti disini sebagai nilai tambah atau pemberian keterangan tambahan atas alat-alat bukti yang sah pada saat proses pengambilan keputusan hakim. Kedudukan daripada barang bukti sendiri sebagai penguat atas alat bukti yang diberikan pada proses persidangan.
Barang bukti juga memiliki kedudukan sebagai langkah pencarian kebenaraan materiil mengenai perkara yang berlangsung dalam proses persidangan. Mengenai keberadaan barang bukti juga berkedudukan sebagai pemberi keterangan apabila diberikan oleh terdakwa, saksi maupun ahli dalam proses persidangan. Kedudukan barang bukti juga menunjang hakim dalam hal keyakinan hakim terkait kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa.
Kesimpulan
Alat bukti yang sah pada perkara pidana diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagai penentu hakim dalam pengambilan keputusan seseorang dinyatakan bersalah atau tidak pada proses persidangan sejalan ketentuan pasal 183 KUHAP mengenai penjatuhan putusan perkara pidana didasarkan minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan oleh hakim.
Baca juga: Jerat Pidana Bagi Pelaku dan Penyebar Pornografi dan Pornoaksi
Mengenai barang bukti sendiri dalam KUHAP tidak diatur secara khusus, akan tetapi barang bukti menjadi penguat keberadaan alat bukti untuk memberikan keyakinan hakim atas seseorang melakukan tindak pidana atau tidak. Sehingga nantinya keputusan daripada hakim berdasarkan pada alat bukti yang sah dan keyakinan hakim seseorang tersebut dinyatakan sebagai terpidana.
Referensi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Asra Riadi, Hukum Acara Pidana, Depok: Rajawali Printing, 2019.
Endro Didik, Hukum Acara Pidana, Surabaya: Airlangga University Press, 2015
Novita Fransiska, Hukum Acara Pidana, Malang: Madza Media, 2021.
Syuhada Teguh, Hukum Pembuktian dalam Peradilan di Indonesia, Medan: CV Pustaka Prima, 2021.
Giant, “Pembuktian Suatu Tindak Pidana Berdasarkan Barang Bukti Menurut Pasal 183 KUHAP”, Lex Crimen, No.8, Vol.IV, Oktober 2015.
Dian, Heri Tahri, “Kedudukan Barang Bukti Terhadap Putusan Pengadilan dalam Penyelesaian Perkara Pidana Pembunuhan di Pengadilan Negeri Barru”, Jurnal Supremasi, No.1, Vol. XIII, April 2018.