PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Perjanjian Kerja Sebagai Special Agreement Antara Hukum Perdata dan Hukum Ketenagakerjaan

Perjanjian

Latar Belakang

Dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, terdapat salah satu cabang bidang hukum yang memiliki karakteristiknya tersendiri. Dengan adanya karakteristik ini, bidang hukum tersebut memiliki pengaturan normatifnya yang sangat berbeda dengan bidang hukum lain yang justru sangat dekat dengannya. Bidang hukum tersebut adalah hukum ketenagakerjaan terutama pada aspek perjanjian kerja yang menjadi dasar terbentuknya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan Pasal 50 Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Secara eksplisit perjanjian kerja ini terlihat sama dengan perjanjian pada umumnya yang termasuk ke dalam rezim hukum perikatan (verbintenis)  atau hukum kontrak dalam hukum perdata. Namun dalam pengaturan spesifik mengenai perjanjian kerja ini, terdapat beberapa aspek yang menjadi sui generis atau pembeda seperti pada status kedua belah pihak. Dalam rezim hukum perikatan, perjanjian pada umumnya terjadi dan diikat antara dua belah pihak atau lebih yang berada pada posisi yang setara atau yang disebut asas konsensualisme (Krisnayanti & Yanti, 2025, p. 151). Namun hal tersebut sangat berbeda dengan perjanjian kerja yang menempatkan pengusaha dalam posisi subordinatif dengan pekerja di sisi lain (Ilela, Laturette, & Kuahaty, 2024, p. 231).

Melihat hal ini, tentu berpotensi muncul pertanyaan mengenai “keunikan” tersebut, seperti bagaimana dalam mengatasi realita tersebut. Status kedua belah pihak pada posisi yang tidak sama kuat tersebut sekilasnya memang memuat potensi akan kecurangan dan dominasi salah satu pihak di atas pihak lain. Namun dalam dinamikanya ternyata terdapat aktor lain di luar pengusaha dan pekerja yang berusaha “mendamaikan” dan memberikan rasa adil di antara kedua belah pihak. Kehadiran sekaligus “intervensi” aktor lain tersebut jugalah yang menjadi karakteristik hukum ketenagakerjaan dari hukum perdata yang bersifat privat.

Baca juga: Apa Akibat Hukum Wanprestasi Terhadap Perjanjian?

Tinjauan Posisi KUHPerdata dalam Sistem Hukum Indonesia

Hukum perdata yang mencakup hukum orang, hukum benda, hukum perikatan, dan hukum bukti dan kadaluarsa dalam sistem hukum Indonesia diatur secara komprehensif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). KUHPer ini sendiri secara yuridis historis berasal dari Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW) yang merupakan hasil kodifikasi hukum peninggalan kolonial Belanda. Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II memberikan landasan konstitusional bagi kontinuitas KUHPer sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia hingga saat ini dengan berbagai modifikasi melalui peraturan perundang-undangan yang datang belakangan (Yulia, 2015, p. 3).

Beberapa materi dalam KUHPer dalam dinamika yuridisnya memang sudah digantikan dengan diundangkannya undang-undang yang mengatur secara spesifik materi-materi tertentu. Seperti contoh, ada Undang-Undang (UU) 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur jaminan utang piutang di luar pengaturan KUHPer mengenai hipotek dan gadai. Ada juga UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang memodifikasi rezim hukum hak jaminan atas tanah dan benda tidak bergerak dalam KUHPer.

Walaupun beberapa materi dalam KUHPer sudah diganti dengan berbagai peraturan perundang-undangan terbaru, legalitas KUHPer sebagai sumber hukum perdata tidaklah hilang. Materi pokok dalam KUHPer tetap berlaku seperti asas-asas hukum perdata karena peraturan perundang-undangan tersebut hanya mengatur hal-hal khusus (specialist) bukan hal-hal umum (generale) seperti asas hukum. Oleh karenanya dalam dinamika praktik keperdataan, KUHPer akan selalu dirujuk menjadi landasan hukum terutama jika menyangkut soal asas dalam hukum perdata itu sendiri.

Konsepsi Perjanjian Kerja dalam Paradigma Hukum Perdata

Salah satu muatan hukum yang diatur dalam KUHPer adalah hukum perikatan. Berdasarkan Pasal 1233 KUHPer, perikatan diklasifikasikan menurut sumbernya menjadi dua, yaitu perikatan yang timbul dari persetujuan dan dari undang-undang. Agar dapat terjadinya perikatan dari persetujuan tersebut, Pasal 1320 KUHPer mengamanatkan agar perikatan tersebut memenuhi syarat subjektif dan objektif. Disebut syarat subjektif karena dinisbatkan pada unsur “subjek” dalam perikatan tersebut, yaitu terjadi kesepakatan antara para pihak dan kecakapan para pihak itu sendiri. Adapun syarat yang lain disebut sebagai syarat objektif karena disandarkan pada unsur “objek” dalam perikatan tersebut, yaitu adanya objek yang diperjanjikan dan kausa yang halal atau tidak terlarang.

Syarat sahnya perikatan yang lahir dari persetujuan juga berlaku terhadap perjanjian kerja karena pada dasarnya perjanjian kerja lahir dari persetujuan antara pemberi kerja atau pengusaha dengan pekerja. Pasal 52 ayat 1 UU Ketenagakerjaan juga menyebutkan syarat subjektif dan objektif yang mendasari terbentuknya perjanjian kerja, yaitu:

  1. Kesepakatan kedua belah pihak;
  2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
  3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
  4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Diaturnya Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang muatan materinya diambil dari Pasal 1320 KUHPer ini menunjukkan bahwa asas hukum perikatan berlaku juga bagi perjanjian kerja yang masuk ke dalam rezim hukum ketenagakerjaan. Walaupun asas hukum perikatan tersebut mengikat perjanjian kerja secara umum, terdapat aspek utama yang membedakan antara keduanya. Aspek utama tersebut adalah ketidakseimbangan posisi pekerja dan pengusaha sebagai dua pihak yang sama-sama membuat hubungan kerja yang didasari perjanjian kerja tersebut.

Pengusaha berada pada posisi dominan karena statusnya sebagai pemberi kerja kepada pekerja. Hal ini juga ditegaskan pada Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa salah satu unsur hubungan kerja adalah adanya “perintah”. Pengusaha mempunyai legitimasi mengeluarkan perintah kepada pekerjanya karena memang secara logis pengusaha dan pekerja berada pada posisi atas-bawah. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa pekerja berada pada posisi yang rentan karena hubungan kerja akan lebih memprioritaskan dominasi pengusaha.

Intervensi Negara dalam Hukum Ketenagakerjaan

Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, maka kehadiran aktor ketiga yaitu negara yang menjadi penengah  diperlukan. Negara melalui pemerintah menetapkan regulasi yang membatas dominasi pengusaha tersebut sekaligus memberikan perlindungan terhadap pekerja. Intervensi negara ini dapat dilihat contohnya pada pembatasan materi perjanjian kerja pada Pasal 52 ayat (1) huruf d agar pengusaha tidak semena-mena membuat perjanjian kerja yang bertentangan dengan hukum dan etika. Di samping itu, juga ada penetapan standar pengupahan yang layak dan larangan bagi pengusaha memberikan upah di bawah standar kebijakan yang diberikan pemerintah tersebut sebagaimana yang diatur pada Pasal 88 junctis Pasal 89 dan 90 UU Ketenagakerjaan.

Baca juga: Jenis-jenis Perjanjian Kerja yang Berlaku di Indonesia

Adanya aktor lain dalam perjanjian kerja tersebut mengindikasikan bahwa hukum ketenagakerjaan tidak seutuhnya bersifat privat. Campur tangan negara yang menjadikan karakteristik hukum ketenagakerjaan tidak sepenuhnya privat tersebut juga terdapat pada level pembentukan lembaga khusus. Terdapat beberapa lembaga khusus yang dibentuk oleh negara dalam rangka menjadi penengah antara kedua belah pihak yang sejak awal sudah berada pada posisi yang tidak setara. Di antara lembaga-lembaga khusus tersebut adalah Kementerian Ketenagakerjaan, Pengadilan Hubungan Industrial, dan Dewan Pengupahan.

Kesimpulan

Perjanjian kerja yang berciri khas berbeda dengan perikatan yang lain merupakan bidang hukum yang berisan antara dua rezim hukum yang berbeda. Perjanjian kerja dapat dikategorikan masuk ke dalam rezim hukum perdata karena asas-asas hukum perdata juga berlaku padanya. Di samping itu, perjanjian kerja memiliki sui generis-nya tersendiri, yaitu hubungan para pihak yang tidak setara dan tidak sifat perikatan yang tidak sepenuhnya privat.

Pihak pekerja dirasa sangat penting untuk mendapatkan perlindungan dari negara karena pada dasarnya sejak awal pihak pekerja berada pada posisi rentan ketika berhadapan dengan pihak pengusaha dalam hubungan kerja. Negara dapat dikatakan sangat aktif dalam membentuk regulasi yang bertujuan melindungi pekerja dan mendamaikan antara pihak pekerja dan pengusaha. Oleh karenanya berbagai regulasi dibentuk sekaligus juga lembaga-lembaga khusus seperti Pengadilan Hubungan Industrial dan Kementerian Ketenagakerjaan.

Referensi

Ilela, Y., Laturette, A. I., & Kuahaty, S. S. (2024). Penerapan Sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia. PAMALI: Pattimura Magister Law Review, 226-238.

Krisnayanti, G. A., & Yanti, A. I. (2025). Pengimplementasian Asas dalam Hukum Perikatan Khususnya Asas Konsensualisme. Presidensial: Jurnal Hukum, Administrasi Negara, dan Kebijakan Publik , 146-159.

Yulia. (2015). Hukum Perdata. Aceh: BieNa Edukasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *