PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Perlindungan Hukum Bagi Buruh Tenaga Kerja Indonesia (TKI)

Perlindungan Hukum Bagi Buruh Tenaga Kerja Indonesia (TKI)

Daftar Isi

Indonesia salah satu negara dengan pemasok tenaga kerja terbesar ke luar negeri, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menginformasikan bahwa jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Indonesia di luar negeri kurang lebih 3,7 juta pekerja yang tersebar di 150 negara. Melihat jumlah yang tidak sedikit tersebut, maka sudah pasti mereka harus diberikan mekanisme perlindungan yang tepat, mengingat buruh TKI juga memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan negara, mereka sering disebut sebagai pahlawan devisa negara. Maka dengan sebutan tersebut maka sudah sepantasnya mereka mendapatkan perlindungan dari keseluruhan proses penempatan buruh migran ke luar negeri sampai kembali lagi.

Baca juga: Jenis-jenis Perjanjian Kerja yang Berlaku di Indonesia

Namun, permasalahan buruh dan perlindungan hak bagi mereka sampai hari ini masih saja berlanjut seperti pemutusan kerja sepihak, mengalami kekerasan fisik dan psikis, diperkosa, perlakuan diskriminatif, upah yang perempuan lebih rendah dari laki-laki dan hak-hak dasar lain yang dihalangi. Akhirnya dapat terkesan bahwa keberadaan buruh ini masih terlihat seperti komoditi dalam memenuhi pasar pekerja terlebih potensi devisa yang didapatkan juga menggiurkan. Minimnya perlindungan hukum menjadi pertanda bahwa buruh di luar negeri hanya untuk pemenuhan pasar komoditi pekerja.

Menurut Imam Soepomo bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja menjadi 3 (tiga) macam:

Baca juga: Perpanjangan Kontrak menurut Undang-Undang Cipta Kerja

  1. Perlindungan ekonomis yaitu perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan penghasilan yang cukup dalam memenuhi keperluan sehari-hari bagi dirinya beserta keluarganya, termasuk jika ia tidak mampu lagi bekerja karena sesuatu hal diluar kehendaknya;
  2. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan agar TKI dapat melakukan kegiatan sosial-kemasyarakatan. Agar memungkinkan TKI dapat mengembangkan kehidupan sebagai manusia pada umumnya sekaligus sebagai anggota masyarakat dan keluarga pada khususnya;
  3. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan untuk menjaga kaum buruh dari bahaya kecelakaan yang ditimbulkan saat bekerja dari alat atau bahan yang digunakan.

Saat ini, regulasi perlindungan bagi buruh yang bekerja di luar negeri diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri dan aturan pelaksananya dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri. Aturan pelaksana tersebut menyebutkan bahwa perlindungan buruh yang kerja di luar negeri dilakukan dalam tiga fase yakni:

  1. Perlindungan Pra/Sebelum Penempatan, Masa Penempatan,
    dan Purna Penempatan. Perlindungan pra penempatan dilakukan dalam bentuk administratif dan teknis.
  2. Perlindungan masa penempatan berdasarkan pasal 15 bahwa perlindungan dimulai sejak TKI tiba di bandara/pelabuhan negara tujuan penempatan, selama bekerja, sampai kembali ke bandara debarkasi Indonesia;
  3. Perlindungan Purna Penempatan yakni perlindungan kepulangan TKI berupa layanan akomodasi.

Selanjutnya, disebutkan dalam pasal 20 aturan pelaksana bahwa perlindungan hukum bagi buruh dilakukan dengan pemberian mediasi, pemberian advokasi, pendampingan terhadap TKI yang menghadapi masalah hukum, penanganan masalah TKI yang mengalami tindak kekerasan fisik dan pelecehan seksual, dan penyediaan advokat/pengacara.

Namun perlindungan hukum tersebut tidak berarti jika sejak awal antara buruh dan pengusaha terjalin hubungan industrial yang tidak adil. Menurut Prof. Abdullah Sulaiman bahwa yang dibutuhkan dalam memberikan keadilan bagi buruh adalah kesepakatan atau perjanjian antara buruh dengan pengusaha yang mengenai perjanjian pengupahan, bahwa dalam penentuan upah buruh perlunya adanya bargaining collective atau tawar-menawar antara buruh dan pengusaha yang saling mutualisme dan hal tersebut harusnya yang paling banyak diatur peraturan dalam regulasi.

Baca juga: Organisasi Buruh dan Pesan Perubahan

Lanjutnya menjelaskan bahwa langkah konkrit yang bisa dilakukan dalam mewujudkan hubungan mutualisme tersebut adalah:

  1. Para pelaku harus konsekuen terhadap kebijaksanaan buruh dan kebijakan ekonomi melalui beberapa perundingan. Kebijakan perundingan menghasilkan “Sui-Generis” yaitu suatu pola yang akan diambil dari beberapa yang ada dan tentunya bukan dalam artian Perlunya perhatian atas kepentingan buruh untuk mencapai kesepakatan upah, baik kesepakatan upah pada suatu industri maupun kesepakatan upah industri jenis lainnya. Kemudian menaikan frekuensi upah secara berkala, dan penghentian upah yang berlaku secara nasional di tingkat lokal, semuanya itu dicapai dengan jalan kesepakatan bersama.
  2. Pemerintah memberikan arahan politik-ekonomi agar mendorong pimpinan perusahaan dan buruh mengenai pandangan hidupnya dalam bidang perekonomian yaitu dimulai dari dasar yakni berusaha untuk memberikan jaminan pekerjaan terhadap buruh.
  3. Menggunakan filsafat politik ekonomi yang menyebabkan terjadinya proses perundingan bersama untuk mengambil peranan yang baik bagi buruh dalam mewujudkan rasa adil dari segi pandangan hukum perburuhan. Apabila ada keretakan atau perselisihan antara buruh dengan perusahaan walaupun sudah ada   perjanjian suka dan rela, maka perundingan bersama dapat diambil sebagai  jalan  dalam merumuskan keinginan untuk mencapai persamaan persepsi.

Baca juga: Membaca Kesiapan dan Potensi Undang-Undang Cipta Kerja Terbaru

Akhir kata, baik dalam kebijakan maupun pelaksanaanya untuk memberikan perlindungan kepada buruh yang kerja di luar negeri harus berdasarkan pada “Human Rights  Intelegence” bukan semata market intelegent. TKI harus dipandang sebagai individu yang menempati posisi yang sama sebagai manusia, meskipun berbeda dalam job order  dari sisi hubungan industrial.

Sumber:

UU No. 39 Tahun  2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri.

Prof. Abdullah Sulaiman, Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *