Di dalam suatu negara yang beriklim demokratis kebebasan berpendapat merupakan bagian esensial yang tak mungkin terpisahkan, termasuk kebebasan pers yang merupakan bagian vital dalam mengakomodasi aspirasi dan mendistribusikan informasi.
Keberadaan pers tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi, melainkan pers juga dimanfaatkan publik sebagai sarana atau instrumen untuk mengawasi aktivitas penyelenggaraan negara guna terciptanya keseimbangan (check and balances system).
Pemberitaan pers atas suatu perkara hukum yang aktual maupun terhadap peristiwa kriminal yang terjadi di lapangan merupakan pekerjaan dan hak bagi pers sebagai mediator untuk menyampaikan informasi
kepada publik sebagaimana yang telah diamanatkan konstitusi Pasal 28 (F) Undang-Undang Dasar 1945.
Keadaan demikian tentunya tidak terlepas dari lahirnya berbagai macam produk hukum yang berkaitan dengan kebebasan pers yang semakin melegitimasi kewenangan pers untuk mengakses jalannya penegakan hukum (law envorcement) dengan mudah.
Baca juga: Tanggung Jawab Ekspeditur Terhadap Keselamatan Barang Konsumen dan Upaya Penyelesaiannya
Akan tetapi, dalam praktiknya tak jarang implementasi terhadap kewenangan yang dimiliki oleh pers melewati batas sehingga yang terjadi ialah praktik trial by the press. Pada kenyataannya, keberadaan praktik trial by the press secara hukum bertentangan dengan prinsip yang dikenal dalam hukum acara pidana yaitu prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), yang menempatkan seseorang tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Prinsip praduga tak bersalah sendiri merupakan bagian yang tak mungkin dilepaskan dari konsep due process model, yang dimana dalam konsep tersebut menempatkan seseorang yang diduga telah melakukan suatu perbuatan pidana sebagai subjek pemeriksaan yang setara dengan pihak lainnya, dan dalam konsep due process model juga berorientasi pada penghargaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia tersangka atau terdakwa yang tetap masih memiliki harkat dan martabat yang tak dapat disingkirkan atas nama hukum sekali pun (accusatory principles).
Praktik trial by the press dapat disederhanakan sebagai pengadilan yang dilakukan oleh pers. Seringkali praktik tersebut terjadi ketika pers dalam mempublikasikan informasinya menggunakan bahasa dan
pemilihan diksi yang terkesan menyudutkan salah satu pihak sehingga merangsang publik pendengar atau pembaca untuk menyimpulkan atau berspekulasi atas salah atau tidaknya seseorang.
Sebagai contoh kongkretnya, dapat kita saksikan dalam beberapa program acara televisi yang tak jarang terjadi, tanpa disadari atau tidak dalam memberikan informasi yang disertai dengan sebuah opini atau pendapat terkait informasi yang diberikan seringkali justru berujung pada “penghakiman” terhadap informasi yang diberikan.
Pers dalam Kerangka Hukum Pemberitaan pers atas perkara hukum dapat berpotensi memberikan vonis lebih cepat dibanding dengan putusan oleh Majelis Hakim di sidang pengadilan.
Padahal seperti yang telah diketahui bersama bahwa baik dalam hukum acara pidana, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta dalam Universal Declaration Of Human Right telah mengatur sedemikian rupa mengenai prinsip praduga tak bersalah sebagai bagian dalam perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Akan tetapi pada kenyataannya tak jarang prinsip tersebut justru diterabas atas nama kebebasan pers. Maka dari itu, sederhananya kebebasan pers harus dimaknai secara proporsional agar supaya pers tidak terjebak ke dalam hal dan keadaan yang merugikan dirinya dan pihak lain. Atau dengan kata lain kebebasan jangan dimaknai secara kebablasan.
Baca juga: MELANGGAR NILAI KESUSILAAN DAN KESOPANAN DAPAT DI PIDANA?
Dewasa ini beragam program televisi yang menyiarkan praktik atau aktifitas aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya massif ditayangkan dengan karakter atau ciri khasnya masing-masing. Apabila diterjemahkan, beberapa tayangan program penegak hukum atau berita kriminal di televisi bermaksud merealisasikan beberapa fungsi pers sebagaimana yang diamanatkan dalam UndangUndang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers bahwa di antara fungsi pers adalah sebagai media informasi, edukasi publik, pendidikan, hiburan, maupun kontrol sosial, dan penyiaran diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, ketaatan hukum dan disiplin nasional.
Perlu digaris bawahi juga bahwa tugas media memang menyiarkan nilai-nilai edukasi dan hal positif lainnya. Namun, aksi-aksi aparat penegak hukum dalam program televisi yang dimaksud menjadi konsumsi publik.
Alhasil, ada hak-hak terduga pelaku kriminal yang berpotensi dilanggar, mendapatkan stigma buruk,
stereotip lebih cepat, dan rawan terjadinya kekeliruan terhadap seseorang (error in persona), padahal belum tentu orang tersebut bersalah karena belum ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Karena pada hakikatnya pers tidaklah memiliki kewenangan untuk menyatakan seseorang bersalah atau tidak bersalah. Pers juga tidak memiliki legitimasi untuk memberikan cap, stigma dan label negatif yang belum terbukti secara hukum kepada siapa pun dan dalam berita apa pun.
Merujuk pada penjelasan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dijelaskan bahwa, “Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.”
Kemudian dalam Pasal 22 Ayat (4) Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/ 03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dikatakan bahwa, “Lembaga penyiaran wajib menerapkan prinsip praduga tak bersalah dalam peliputan dan/atau menyiarkan program jurnalistik.”
Selain itu, prinsip praduga tak bersalah juga secara eksplisit tercantum dalam Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik yang menerangkan bahwa wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Kebebasan yang Bijaksana ditengah situasi masyarakat yang belum membiasakan budaya kritisisme dan skeptis dalam menyerap dan mengolah informasi, maka seharusnya pers berlaku bijak dan berhati-hati dalam menyajikan suatu informasi khususnya mengenai perkara hukum, terutama pada kasus pidana yang masih sedang berjalan dan yang belum memperoleh putusan pengadilan yang menyatakan dirinya bersalah atau tidak.
Baca juga: Tentang Asas Praduga Tak Bersalah
Maka dari itu, tidak menerapkan prinsip praduga tak bersalah dapat menyebabkan seseorang yang tidak bersalah mendapatkan hukuman “vonis prematur” bahkan hingga dapat dikucilkan dari lingkungan masyarakat.
Untuk menghindari hal demikian maka sudah menjadi suatu keharusan bagi pers untuk senantiasa menjalankan perannya dengan baik, dengan tidak menggiring opini dan mendatangkan asumsi buruk bagi masyarakat yang belum tahu kebenaran informasinya.
Dengan menempatkan prinsip praduga tak bersalah dalam Kode Etik Jurnalistik diharapkan pers dalam mempublikasikan informasinya tidak terjebak dalam perilaku trial by the press dan pers diharapkan dapat mengetahui prinsip-prinsip hukum yang berlaku sehingga kebebasan yang melekat pada tubuh pers tidak mengorbankan hak asasi dan martabat manusia yang lain.
Yayang Nanda Budiman Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Galuh Ciamis.
Respon (1)