Kasus Pembunuhan Brigadir Esco: Aliran Proses Peradilan Kasus pembunuhan tragis menimpa Brigadir Esco Faska Rely, dengan dugaan utama istrinya sendiri, Briptu Rizka Sintiyani, dalangnya, studi kasus krusial dalam meninjau implementasi Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia. Peristiwa terjadi di
wilayah hukum Polda Riau, akhir Maret 2024, di lingkungan internal Polri ini tidak hanya menyita perhatian publik tetapi juga menuntut profesionalisme dan akuntabilitas penuh dari institusi penegak hukum di setiap tahapan, mulai dari Penyelidikan, Penyidikan, hingga Penuntutan. Kompleksitas hubungan pelaku dan korban sama-sama anggota kepolisian menjadikannya ujian integritas bagi sistem peradilan pidana kita.
Proses peradilan pidana dalam kasus ini secara hukum dimulai dengan tahap Penyelidikan, tahap sangat menentukan arah kasus. Awalnya, temuan jenazah Brigadir Esco sempat mengarah pada dugaan bunuh diri. Penyelidikan profesional dan berbasis ilmu pengetahuan kunci untuk menggeser dugaan ini. Titik balik paling krusial terletak pada hasil dari ilmu kedokteran forensik, yakni autopsi. Ketika hasil autopsi menunjukkan adanya tanda-tanda kekerasan sebelum korban meninggal dan adanya kerusakan pada wajah serta ikatan tali di leher yang tidak konsisten dengan murni gantung diri, maka timbul dugaan kuat tindak pidana.
Dari perspektif KUHAP, Penyidik memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan diperlukan untuk menentukan apakah suatu peristiwa tindak pidana atau bukan. Dalam konteks ini, permintaan otopsi dan pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP) secara detil fundamental. Keabsahan bukti-bukti ilmiah ini sangat penting. Mengingat sensitivitas kasus ini melibatkan sesama anggota Polri, pengawasan internal dari Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri harus aktif sejak dini. Hal ini bertujuan mencegah intervensi atau konflik kepentingan yang dapat mencemari proses pencarian kebenaran materiel. Keputusan untuk meningkatkan status dari Penyelidikan ke Penyidikan, diikuti dengan penetapan tersangka, harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, yaitu minimal dua alat bukti yang sah, sesuai dengan Pasal 184 KUHAP secara limitatif menyebutkan jenis-jenis alat bukti sah (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa). Ini filter hukum acara pertama untuk memastikan tidak ada penetapan tersangka sewenang-wenang.
Setelah status kasus dinaikkan, kasus berlanjut ke tahap Penyidikan. Tugas utama Penyidik di sini mencari dan mengumpulkan bukti membuat terang tindak pidana dan menemukan serta menetapkan tersangkanya. Karena Briptu Rizka dan rekan-rekannya dijerat dengan Pembunuhan Berencana (Pasal 340 KUHP) juncto Pasal 55 KUHP (penyertaan), fokus Penyidikan harus ekstra hati-hati dalam membuktikan unsur “dengan rencana lebih dahulu.” Pembuktian unsur perencanaan memerlukan rangkaian alat bukti kuat dan koheren. Alat bukti harus dikumpulkan dan diuji meliputi keterangan saksi, termasuk keterangan dari eksekutor sewaan diduga direkrut.
Keterangan ini harus diuji silang untuk memverifikasi konsistensi dan kebenarannya. Selanjutnya bukti petunjuk, seperti riwayat komunikasi antara Briptu Rizka dan para eksekutor, pembelian alat digunakan untuk kejahatan, atau rekaman CCTV (jika ada) menunjukkan mobilisasi danpersiapan. Bukti ini sangat vital untuk membuktikan adanya waktu cukup tenang bagi pelaku untuk memikirkan dan memutuskan pelaksanaan kejahatan. Selain itu, bukti surat, terutama hasil visum et repertum (autopsi), akan menjadi dasar ilmiah penyebab kematian dan tanda kekerasan. Tindakan Penyidik berupa Penggeledahan dan Penyitaan harus dilakukan sesuai prosedur, dilengkapi surat izin Ketua Pengadilan Negeri, kecuali dalam kondisi mendesak.
Baca Juga: Penahanan Ijazah oleh Perusahaan: Legal atau Melanggar Hukum?
Kelalaian prosedural dalam penyitaan dapat berakibat pada diskualifikasi alat bukti di pengadilan. Aspek lain tidak kalah penting penghormatan terhadap Hak-hak Tersangka. Meskipun berada dalam posisi terduga pelaku kejahatan serius, Briptu Rizka memiliki hak untuk mendapatkan bantuan hukum sejak ditangkap atau ditahan, hak untuk diperiksa dalam suasana tenang, dan hak untuk tidak menjawab (hak ingkar). Proses penahanan harus didasarkan pada alasan subjektif dan objektif, sesuai Pasal 21 KUHAP, yaitu kekhawatiran melarikan diri, merusak barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Semua ini bagian integral dari due process of law diamanatkan KUHAP.
Tahap akhir sebelum persidangan Penuntutan, berada di tangan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Setelah berkas perkara diserahkan oleh Penyidik kepada JPU, JPU akan melakukan Prapenuntutan untuk meneliti kelengkapan formil dan materiil berkas. Peran JPU dalamkasus pembunuhan berencana ini sangat sentral. JPU harus bertindak sebagai filter kualitas penyidikan. Jika JPU menemukan bahwa alat bukti, khususnya untuk unsur “rencana,” masih lemah atau ada keterangan tidak sinkron, JPU wajib mengembalikan berkas kepada Penyidik disertai petunjuk jelas (P-19) untuk disempurnakan. Tujuannya memastikan bahwa saat berkas dinyatakan lengkap (P-21), konstruksi hukum dibangun sudah kokoh dan mampu bertahan dari serangan pembelaan di persidangan.
Penyusunan Surat Dakwaan mahkota dari tahap Penuntutan. Surat Dakwaan harus memenuhi syarat formil dan materiil: disusun secara cermat, jelas, dan lengkap. Kecermatan dalam merumuskan dakwaan berlapis (misalnya, Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP) sangat penting. Kesalahan kecil dalam perumusan dapat menyebabkan dakwaan batal demi hukum atau dapat digugurkan melalui eksepsi. JPU harus mampu secara rinci menguraikan peran Briptu Rizka sebagai dalang dan bagaimana ia memenuhi
unsur penyertaan (Pasal 55 KUHP). Keunikan kasus ini keterlibatan anggota Polri. Oleh karena itu, perspektif hukum acara pidana harus diperluas untuk mencakup potensi ancaman terhadap proses peradilan itu sendiri.
Jika ditemukan bukti bahwa ada pihak internal mencoba menutupi fakta, menghilangkan bukti, atau menyesatkan Penyidikan awal, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Obstruction of Justice (Perintangan Penyidikan). Pihak-pihak terlibat dalam perintangan ini harus diproses hukum secara terpisah. Selain proses pidana umum, Briptu Rizka juga tunduk pada Hukum Disiplin dan Kode Etik Profesi Polri. Proses ini berjalan secara independen namun saling terkait, di mana putusan pidana berkekuatan hukum tetap akan menjadi dasar kuat bagi institusi Polri untuk menjatuhkan sanksi etik dan administratif, termasuk Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH), sebagai bagian dari upaya menjaga marwah institusi penegak hukum.
Baca Juga: Sanksi Pidana Pembunuhan Dilakukan atas Permintaan Korban
Secara konklusif, kasus pembunuhan Brigadir Esco cerminan kompleksitas harusdihadapi oleh sistem peradilan pidana Indonesia. Proses transparan, profesional, dan akuntabel di setiap tahapan dari pengumpulan bukti ilmiah di Penyelidikan, pembuktian unsur perencanaan di Penyidikan, hingga perumusan dakwaan sempurna di Penuntutan kunci untuk mewujudkan keadilan substansial dan memastikan bahwa ancaman hukuman terberat bagi pembunuhan berencana dapat ditegakkan tanpa melanggar hak-hak asasi manusia dan menjunjung tinggi due process of law. Kasus ini sekaligus momentum bagi Polri untuk menunjukkan reformasi penegakan hukum berintegritas dan transparan di mata publik, terutama dalam menyelesaikan perkara melibatkan anggota internal mereka sendiri.
Referensi
https://www.detik.com/bali/hukum-dan-kriminal/d-8164325/terungkap-motifekonomi-di-balik-pembunuhan-brigadir-esco
Andi Hamzah. (2010). Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Bambang Waluyo. (2013). Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana. Jakarta: Sinar
Grafika.
Eddy O.S. Hiariej. (2015). Teori & Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga.
Harahap, M. Yahya. (2012). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
Lilik Mulyadi. (2016). Hukum Acara Pidana: Suatu Tinjauan Khusus terhadap Penyidikan dan
Penuntutan. Bandung: Alumni.