PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

SEJARAH DINASTI POLITIK DI INDONESIA

islam
Sejarah dinasti politik

Gagasan demokratisasi pemerintahan dan penguatan kedaulatan rakyat semakin mendapatkan tempat dengan adanya gagasan untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung.

Akhirnya gagasan pemilihan kepala daerah secara langusng ini pun secara formal baru terealisasikan pada tahun  2004 dan baru terlaksana pada tahun 2005.

Pemilihan kepala daerah secara langsung tak hanya menjadi perintah Undang-Undang Dasar (UUD), akan tetapi suatu kebutuhan bagi rakyat untuk mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratis, berpihak pada masyarakat, aspiratif, dan memiliki legitimasi. 

Sebuah panorama baru di mana Indonesia memasuki era ketiga dalam membangun demokrasi setelah terselenggaranya paket pemilihan langsung, yakni dengan hadirnya calon perseorangan hikmah lahirnya Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) ini adalah UU yang pertama di Indonesia yang mengikut sertakan calon perseorangan (independen).

Baca juga: Pembagian Kekuasaan Secara Horizontal dan Vertikal

Putusan ini mengandung dua norma yang ditegaskan oleh MK, yaitu norma yang mengatur tentang konflik kepentingan keluarga petahana tidak bisa dilaksanakan dalam pilkada dan norma yang berlaku bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD, yaitu tidak perlu melakukan pengunduran diri dari jabatannya.

Mengenai konflik petahana, MK berpendapat bahwa larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf r UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI 1945, karena melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan serta kebebasan setiap orang dari tindakan diskiminatif.

Hal tersebut didasarkan pada UUD NRI 1945 yang menjamin hak konstitusional bagi seluruh warga negara atas hak untuk dipilih. Atas dasar pertimbangan itu, maka materi muatan dalam Pasal 7 huruf r UU PILKADA jelas bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan karena itu batal demi hukum.

Baca juga: Pasang Surut Demokrasi Di Indonesia

Kemudian UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menjadi UU. Namun, UU tersebut banyak menyisakan beragam persoalan perdebatan politik hukum yang ditandai dengan banyaknya gugatan permohonan uji materil UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Setidaknya terdapat tiga perkara gugatan yang didaftarkan pada MK terkait UU No. 8 Tahun 2015 yang bermuara pada Pasal 7 (huruf g, r, s, t dan u).

Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 antara lain menyatakan bahwa pertama, Pasal 7 huruf r beserta penjelasan Pasal 7 huruf r UU Pilkada mengenai persyaratan calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana, bertentangan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kedua, Pasal 7 huruf s UU Pilkada mengenai persyaratan bagi calon kepala daerah yang berasal dari anggota DPR, DPD, atau DPRD wajib memberitahukan pencalonannya kepada Pimpinan lembaganya, conditionally constitution, yaitu bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai dengan mengundurkan diri dari anggota DPR, DPD, atau DPRD sejak ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU atau KIP sebagai calon kepala daerah. 

Baca juga: Dinasti Politik: Antara Hukum, Kekuasaan, dan Drama Keluarga

Maka sobat, sejak putusan tersebut dinasti politik di Indonesia memiliki legalitas.  Segala praktik dinasti politik dilindungi oleh konstitusi, terlepas bahwa secara de facto dinasti politik memiliki dampak yang buruk bahkan dapat dipastikan setiap praktik dinasti politik selalu mengarah pada praktik korupsi yang massif dan sulit untuk dibuktikan karena kuatnya intervensi dan kekuatan politik petahana. 

Respon (54)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *