PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Dinamika Vervolging dan Opsporing Kasus Korupsi: Kepatuhan Formil dan Integritas Materiil Proses A Quo dalam Perspektif KUHAP

pidana korupsi

Opini hukum ini disusun sebagai respons terhadap isu dugaan penyimpangan dan abuse of power di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komdigi) yang berelementasikan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Meskipun analisis awal mungkin menyoroti perkara Platform Data Nasional (PDNS), titik konfirmasi yudisial yang paling relevan adalah Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 1/PID.SUS-TPK/2024/PT DKI, yang mengadili perkara korupsi Proyek BTS 4G BAKTI Kominfo yang melibatkan eksekutif tertinggi yang sama. Putusan ini menjadi alat uji yang krusial terhadap efektivitas dan kepatuhan prosedural sistem peradilan pidana Indonesia.

Di awal proses, kekhawatiran yang muncul yaitu mengenai efektivitas dwangmiddelen (tindakan paksa) yang digunakan penyidik. Terdapat spekulasi tentang ketergantungan pada sikap kooperatif pihak yang diperiksa dan absensi informasi publik terkait pelaksanaan penyitaan (beslaglegging) atau penggeledahan (huiszoeking). Namun, Putusan Pengadilan Tinggi membuktikan bahwa kekhawatiran tersebut tidak terbukti dalam praktik. Proses hukum menunjukkan bahwa dwangmiddelen telah dilaksanakan secara komprehensif, terbukti dari permintaan penasihat hukum terdakwa di tingkat banding untuk mengembalikan barang bukti yang telah disita. Pemanfaatan tindakan paksa ini memastikan bahwa corpus delicti dan alat bukti diamankan secara wettig (sah) untuk mendukung penuntutan.

Baca Juga: Penahanan Ijazah oleh Perusahaan: Legal atau Melanggar Hukum?

Selanjutnya, isu kepastian hukum (rechtszekerheid) dan transparansi diuji melalui lambatnya penetapan status hukum. Kekhawatiran akan stagnasi prosedural yang melanggar asas peradilan cepat pada akhirnya berhasil diatasi. Kelanjutan proses hukum secara progresif, dari penahanan hingga vonis bersalah terdakwa, menunjukkan bahwa penyidik berhasil menghimpun minimal dua alat bukti yang sah (voldoende bewijs) sesuai Pasal 184 KUHAP, sehingga mengeliminasi spekulasi adanya hambatan extra-yuridis dan mengamankan legitimasi proses. Selain itu, integritas prosedural dan pemenuhan due process of law juga terkonfirmasi. Hak konstitusional terdakwa untuk didampingi oleh penasihat hukum (Pasal 54 KUHAP) telah dipenuhi secara eksplisit sepanjang tahapan persidangan. Kepatuhan terhadap ketentuan ini tidak hanya mengproteksi hak terdakwa tetapi juga memperkuat landasan hukum proses yudisial, memitigasi risiko gugatan praperadilan, dan memastikan alat bukti yang diperoleh dapat diaplikasikan secara sah.

Namun demikian, yang lebih menarik untuk dianalisis ialah bagaimana sistem peradilan menyeimbangkan antara hak individu terdakwa dan kepentingan publik dalam pemberantasan korupsi. KUHAP sebagai hukum formil memberikan ruang pembatasan tertentu atas hak-hak pribadi demi efektivitas law enforcement, tetapi dalam kasus ini, aparat penegak hukum tampak berhati-hati agar tidak menimbulkan kesan kriminalisasi kekuasaan. Penegakan hukum tetap ditempatkan dalam koridor objektivitas yang menjamin asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), tanpa mengurangi ketegasan dalam membongkar kejahatan yang bersifat extraordinary crime. Dalam kerangka ini, Kejaksaan bertindak sebagai pelaksana penuntutan yang independen sekaligus bertanggung jawab, sebagaimana diatur dalam Pasal 137 dan 140 KUHAP, memastikan setiap dakwaan memiliki landasan hukum dan bukti yang kuat.

Baca Juga: Analisis Implementasi Kebijakan Wajib Sertifikasi Halal bagi UMKM Sektor Pangan di Kota Pangkalpinang

Proses penuntutan yang dituangkan dalam surat dakwaan primair oleh Penuntut Umum juga menjadi titik reflektif terhadap kepatuhan Pasal 143 KUHAP. Surat dakwaan tidak hanya harus jelas, cermat, dan lengkap, tetapi juga mampu menggambarkan konstruksi perbuatan melawan hukum secara faktual dan yuridis. Dalam perkara ini, surat dakwaan telah memenuhi unsur tersebut, terutama dalam menjabarkan peran dan tanggung jawab terdakwa sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika sekaligus pengguna anggaran (PA) yang secara hukum memiliki kewajiban pengawasan dan pertanggungjawaban. Penuntut umum berhasil menguraikan kronologi dan motif, termasuk adanya pemberian uang secara periodik yang dikualifikasikan sebagai gratifikasi dan penyalahgunaan kewenangan dalam proyek strategis nasional. Hal ini memperkuat posisi surat dakwaan sebagai “jantung perkara” dalam sistem hukum acara pidana.

Selanjutnya, dari perspektif pembuktian, perkara ini juga memperlihatkan sinergi antara evidence-based justice dan moral accountability. Majelis Hakim tidak hanya mendasarkan putusannya pada bukti formal, tetapi juga memperhatikan aspek-aspek intensi dan keterlibatan struktural. Pembuktian atas keterlibatan terdakwa tidak berhenti pada fakta penerimaan uang, tetapi juga diperkuat dengan bukti surat, keterangan saksi, dan expert witness dari BPKP yang mengonfirmasi adanya kerugian keuangan negara mencapai Rp8,03 triliun. Majelis Hakim menilai bahwa adanya rangkaian tindakan administratif dan kebijakan yang dilakukan di luar ketentuan hukum menunjukkan mens rea yang nyata untuk memperkaya diri sendiri maupun pihak lain. Di sinilah hukum acara pidana bekerja tidak hanya sebagai alat teknis, tetapi juga instrumen moral negara dalam menegakkan keadilan substantif. Dari sudut pandang asas, perkara ini menguji penerapan asas audi et alteram partem (dengarkan kedua belah pihak).

Sepanjang proses banding, terdakwa diberi kesempatan menyampaikan pembelaan dan bukti tandingan, tetapi majelis tetap mempertahankan putusan tingkat pertama karena seluruh dalil pembelaan dianggap tidak mampu membantah konstruksi hukum yang dibangun Penuntut Umum. Dengan demikian, proses pro justitia tetap dijaga dalam keseimbangan antara hak asasi terdakwa dan kepentingan publik atas tegaknya integritas lembaga negara. Secara sosiologis, keberhasilan penyidikan dan penuntutan perkara ini mencerminkan pergeseran paradigma penegakan hukum dari simbolik menuju substantif. Dalam konteks KUHAP, penegakan hukum tidak berhenti pada pemenuhan formalitas prosedural, tetapi berlanjut pada pembuktian bahwa hukum benar-benar bekerja untuk masyarakat. Putusan Nomor 1/PID.SUS-TPK/2024/PT DKI menjadi bukti bahwa hukum acara pidana dapat dioperasionalkan dengan disiplin normatif dan integritas moral sekaligus.

Ia menunjukkan bahwa negara hukum tidak berhenti pada asas, tetapi berwujud nyata melalui konsistensi aparat dan akuntabilitas publik. Dari keseluruhan dinamika tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap terdakwa Johnny Gerard Plate telah memenuhi asas-asas hukum acara pidana yang sah dan berkeadilan. Penyidik menggunakan dwangmiddelen secara proporsional, Penuntut Umum menegakkan objektivitas dakwaan sesuai Pasal 143 KUHAP, dan Majelis Hakim menerapkan prinsip in dubio pro reo secara hati-hati tanpa mengaburkan nilai keadilan sosial. Integritas proses ini memperlihatkan bagaimana KUHAP sebagai sistem hukum formil tidak hanya berfungsi sebagai pedoman teknis, tetapi juga sebagai refleksi ideologis atas semangat negara hukum yang menolak kompromi terhadap korupsi.

Baca Juga: Perjanjian Kerja Sebagai Special Agreement Antara Hukum Perdata dan Hukum Ketenagakerjaan

Dengan demikian, kasus BTS 4G BAKTI Kominfo menjadi cermin efektivitas hukum acara pidana Indonesia dalam menegakkan hukum yang tidak sekadar legalistik, tetapi juga substantif dan berintegritas. Rule of law berjalan beriringan dengan rule of ethics, dan hukum tampil bukan sebagai instrumen kekuasaan, melainkan sebagai penjaga moralitas publik. Putusan Nomor 1/PID.SUS-TPK/2024/PT DKI akhirnya menegaskan bahwa sistem peradilan pidana Indonesia, ketika bekerja dalam bingkai KUHAP dan asas due process of law, mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat pada keadilan dan supremasi hukum.

Reference

https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaeeca11d1cf2608bd69303834
373137.html
Harahap, M. Yahya. (2020). Pembahasan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.
Indonesia. (1981). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Indonesia. (1999). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Indonesia. (2001). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Kompas Nasional. (2025). "Komdigi Janji Kooperatif Terkait Penyidikan Kasus Dugaan
Korupsi PDNS Rp 958 Miliar." (Diakses 20 Maret 2025).
Moeljatno. (2008). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Muladi, dan Barda Nawawi Arief. (2010). Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni.
Soekanto, Soerjono. (2007). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia

Press.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *