Tindakan peluncuran balon-balon sampah oleh Korea Utara kepada Korea Selatan telah menarik perhatian dunia internasional pada pertengahan tahun 2024 lalu. Kedua Korea yang dikenal sebagai dua negara yang sampai saat ini masih terlibat dalam situasi ketegangan konflik semenjak ditandatanganinya Perjanjian Senjata Korea pada tahun 1953. Meskipun perjanjian gencatan senjata telah ditandatangani, peristiwa-peristiwa provokatif diantara keduanya kerap terjadi. Beberapa tindakan provokatif tersebut melibatkan angkatan bersenjata, diantaranya adalah seperti uji coba nuklir dan peluncuran rudal oleh Korea Utara yang melintasi wilayah udara Jepang dan Korea Selatan.
Baca Juga: Merawat Hukum, Menyapa Rakyat: Jalan Panjang LBH BINA Mengadvokasi dari Sudut Jakarta
Tidak hanya itu, Korea Utara menjadi dalang dibalik tragedi penembakan artileri ke Pulau Yeonpyeong pada November 2010. Pulau Yeonpyeong terletak di dekat Garis Batas Utara (NLL) di Laut Kuning sehingga sebanyak empat orang tewas akibat serangan tersebut, termasuk dua tentara dan dua warga sipil Korea Selatan, disamping merusak banyak infrastruktur. Peristiwa-peristiwa tersebut dinilai sebagai peristiwa yang paling serius sejak penandatanganan perjanjian gencatan senjata Korea pada tahun 1953.
Pada Mei 2024 lalu, Korea Utara meluncurkan ribuan balon-balon yang membawa muatan sampah ke beberapa titik di Korea Selatan. Balon-balon tersebut jatuh di wilayah yang padat penduduk hingga mengganggu lalu lintas penerbangan bandara udara internasional Incheon, dimana bandar udara tersebut merupakan bandar udara tersibuk di Korea Selatan. Tidak hanya itu, balon-balon sampah tersebut juga telah menjangkau wilayah kepresidenan Korea Selatan. Pada bulan Juni dan November 2024, ditemukan balon-balon sampah yang mendarat pada komplek kepresidenan Korea Selatan dimana area tersebut merupakan area yang dijaga ketat oleh pemerintah Korea Selatan.
Aksi tersebut diluncurkan oleh Korea Utara atas respon penerbangan pamflet berisikan propaganda yang dikirimkan oleh Korea Selatan sebelumnya. Adik dari pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, Kim Yo Jong menyatakan bahwa tindakan peluncuran balon-balon sampah tersebut merupakan sebagai bentuk kebebasan ekspresi Korea Utara dalam menanggapi tindakan peluncuran pamflet oleh Korea Selatan.
Kim Yo Jong lebih lanjut menanggapi bahwa balon-balon sampah yang dikirimkan dalam jumlah dua belas kali peluncuran dalam rentang waktu Mei hingga September 2024 merupakan hadiah tulus dari Korea Utara kepada Korea Selatan. Tindakan peluncuran balon-balon sampah tersebut merupakan pelanggaran bagi sejumlah aturan hukum internasional. Salah satu instrumen hukum internasional yang dilanggar adalah ketentuan mengenai kedaulatan ruang udara.
Hukum kebiasaan internasional mengakui secara luas bahwa setiap negara memiliki yurisdiksi penuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayahnya. Kendali hukum suatu negara atas ruang udaranya merupakan suatu hal yang absolut. Dalam hal ini, prinsip kedaulatan ruang udara suatu negara melahirkan konsekuensi bahwa setiap negara memiliki kewenangan penuh atas masuk atau tidaknya pesawat apapun ke wilayah udara yang berada dalam yurisdiksi nasionalnya. Pengaturan hukum internasional mengenai kedaulatan ruang udara diatur dalam Konvensi Penerbangan Sipil Internasional atau yang lebih sering disebut Konvensi Chicago yang telah diratifikasi oleh Korea Utara dan Korea Selatan.
Pasal 1 Konvensi Chicago menyatakan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah udara di atas wilayahnya. Dalam hal ini, tindakan peluncuran balon-balon sampah tersebut merupakan pelanggaran terhadap wilayah udara kedaulatan Korea Selatan. Oleh karena itu, peluncuran balon ini telah melanggar hukum kebiasaan internasional yang melarang pesawat udara negara memasuki wilayah udara kedaulatan. Dalam hal ini, balon termasuk dalam kategori pesawat yang diatur dalam Konvensi Chicago sehingga peristiwa tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran dalam kedaulatan ruang udara Korea Selatan.