Kriminalisasi Masyarakat Adat
Sorbatua Siallagan, seorang ketua dari masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan yang aktif memperjuangkan hak atas tanah dan hutan di Kampung Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. Sehari-hari, Sorbatua Bersama masyarakat di kampung ini mengelola hutan yang mereka yakini sebagai hutan adat dengan cara menanam sayuran dan buah-buahan yang nantinya hasil tanam tersebut menjadi sumber penghidupan mereka.
Menurut catatan AMAN Tano Batak, mereka adalah keturunan Raja Ompu Umbak Siallagan yang telah menempati wilayah ini sejak tahun 1700-an. Masyarakat yang kini mendiami wilayah ini merupakan generasi ke-11. Selama turun menurun, mereka memiliki hukum adat sendiri dalam mengelola wilayah hutan mereka yang biasa mereka sebut sebagai Tombak Raja. Setelah Indonesia merdeka, Sebagian Kawasan hutan masyarakat Ompu Umbak Siallagan berfungsi sebagai hutan lindung.
Tetapi dalam hal ini masyarakat masih merasa keberatan karena kuburan leluhur mereka masuk dalam Kawasan hutan yang diklaim oleh pihak pemerintah. Kemudian padan tahun 1983, pemerintah memberikan izin konsesi kepda PT Toba Pulp Lestari untuk menggarap hutan industri disekitar wilayah tersebut. Secara keseluruhan, PT Toba Pulp Lestari mengelola 184.486 hektare hutan industri.
AMAN juga menyatakan bahwa 500 hektare dari 815 hektare wilayah Kampung Dolok Parmonangan masuk ke dalam wilayah konsesi perusahaan. Masuknya perusahaan ini juga tidak pernh mendapat persetujuan dari komunitas masyarakat adat sendiri.
Baca juga: 14 Tahun Tertunda: RUU Masyarakat Adat Mengendap di Meja Kekuasaasn
Pada 16 juni 2023 PT Toba Pulp Lestari melaporkan Sorbatua atas tuduhan “pengrusakan, penebangan pohon eukaliptus, dan pembakaran lahan yang ditanami perusahaan”. Dilihat dari sudut pandang perusahaan, Sorbatua dan masyarakat tidak berhak berkegiatan dalam wilayah tersebut karena merupakan bagian dari area perusahaan. Juru bicara PT Toba Pulp Lestari mengatakan bahwa munitas Ompu Umbak Siallagan tidak pernah ada dalam daftar klaim tanah adat yang diajukan masyarakat, karena itu perusahaan menganggap bahwa kasus ini adalah Tindakan kriminal murni yang dilakukan individu dan perusahaan menghormati proses hukum yang berjalan.
Klaim perusahaan ini dikritik oleh AMAN yang menilai bahwa tidak semestinya masyarakat yang hadir lebih dulu harus meminta-minta hak mereka kepada perusahaan. Namun terlepas dari tu semua polisi tetap memproses kasus ini. Pihak penggugat telah memberikan surat panggilan pemeriksaan kepada Sorbatua sebanyak dua kali tetapi tidak ada pergerakan dari panggilan itu.
Pada jumat (22/03) polisi menangkap Sorbatua dan mengeklaim telah memperlihatkan surat perintah penangkapan. Namun menurut AMAN dan Aliansi Gerak Tutup TPL, polisi tidak menunjukkan surat perintah penangkapan. Masyarakat menganggap bahwa penangkapan Sorbatua ini dilakukan secara paksa, hingga memicu aksi protes dari masyarakatt adat, aktivis, hingga mahasiswa.
Dalam pertimbangan hukumnya, ketua Majelis hakim, Dessy Ginting, mengatakan bahwa klaim tanah ulayat sebagaimana yang dijelaskan terdakwa tidak terbukti berdasarkan keterangan resmi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hingga hasil siding hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Sorbatua Siallagan dengan pidana penjara selama dua tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama enam bulan. Kuasa hukum Sorbatua Siallagan mengatakan pihaknya mengajukan banding karena putusan ini juga sangat berpotensi menjerat masyarakat adat Indonesia lain yang mempertahankan tanah ulayatnya.
Pihak keluarga Sorbatua juga mengungkapkan kekecewaannya karena bagaimana bisa mengelola tanah leluhur sendiri dianggap bersalah oleh hakim. Mereka menganggap bahwa hal ini merupakan bentuk kecerobohan pemerintah yang tidak melihat keberadaan tanah ulayat maupun masyarakat adat.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menduga penangkapan ini adalah bentuk “kriminalisasi” di tengah perjuangan masyarakat atas tanah adat mereka. Masyarakat mengaku bahwa merasa terganggu oleh PT Toba Pulp Lestari sejak Orde Baru, hanya saja mereka tidak punya keberanian melawan saat itu. Baru beberapa tahun belakangan masyarakat mengaku punya keberanian untuk melawan, terutama di lahan garapan PT Toba Pulp Lestari yang ditanami eukaliptus hanya berjarak ratusan meter dari kampung mereka.
Kriminalisasi terhadap tetua adat dalam kasus ini sangat menggaris bawahi benturan antara hukum negara dan hukum adat. Teori hak asasi manusia menekankan perlindungan hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas praktik budaya dan hukum adat mereka. Kasus ini juga menunjukkan bahwa seringkali hukum negara digunakan sebagai alat untuk menekan masyarakat adat, padahal hukum adat memiliki kekuatan dan validitasnya sendiri.
Baca juga: Hukum
Hal ini berhubunagn dengan teori pluralisme hukum dimana mengakui adanya keberadaan sistem hukum adat di samping hukum negara. Kasus yang menyoroti konflik antara hukum negara yang memberikan izin konsesi kepada perusahaan, dan hukum adat yang mengakui hak masyarakat adat atas tanah mereka. Kasus ini juga mencakup teori hak ulayat di dalamnya, dimana hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam di wilayah adat mereka. Hak ulayat merupakan hak komunal yang diakui secara turun-temurun.
Kasus ini melibatkan klaim masyarakat adat atass hak ulayat mereka yang tumpeng tindih dengan izin konsesi yang diberikan kepada pihak PT Toba Pulp Lestari. Teori Persekutuan Hukum Adat berhubungan dengan kasus ini, didalamnya mengakui adanya persekutuan-persekutuan hukum adat yang memiliki wilayah dan aturan hukumnya sendiri. masyarakat adat Dolok Parmonangan, tempat Sorbatua Siallagen berasal, memiliki persekutuan hukum adat dengan wilayah adat yang diwariskan secara turun-menurun. Sengketa ini menyoroti pengakun atau ketidakakuan negara terhadap persekutuan hukum adat dan hak wilayah adat mereka.