RUU Masyarakat Adat
Sudah lebih dari satu dekade lamanya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat belum menemukan titik terang. Sejak pertama kali diusulkan pada tahun 2009, RUU ini telah melewati berbagai fase, dari naskah akademik, pembahasan antarfraksi, hingga masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas. Namun hingga kini, belum juga disahkan menjadi undang-undang. Kondisi ini mencerminkan bagaimana negara masih abai terhadap perlindungan hak-hak masyarakat adat yang secara konstitusional telah diakui keberadaannya. Pada akhir masa jabatan presiden Joko Wdodo dan DPR periode 2019-2024, harapan pengesahan RUU mandat Undang-Undang Dasar 1945 itu akhirnya pupus. Nasib RUU masyarakat adat pada pemerintahan baru ini belum jelas.
Pada 18 Desember 2024 Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak DPR dan Pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) pada tahun 2025, agar hak-hak Masyarakat Adat dapat diakui dan dilindungi secara lebih efektif. Saat ini, RUU Masyarakat Adat telah masuk kembali dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2025 dan masuk dalam Prolegnas lima tahunan usulan DPR RI.
Namun dalam daftar Prolegnas RUU ini masih menggunakan frasa RUU Masyarakat Hukum Adat. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendorong penggunaan frasa Masyarakat Adat untuk mengakomodir nomenklatur Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Tradisional dalam konstitusi. Serta mendorong adanya kemajuan pasti dalam upaya pengesahannya.
Baca juga: RUU Masyarakat Adat Digantung: DPR Mempertimbangkan Atau Melupakan?
Pengakuan Konstitusional tapi Minim Implementasi
Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan ini menjadi dasar hukum kuat bahwa masyarakat adat memiliki hak eksistensial dan perlu perlindungan negara. Namun, pengakuan konstitusi tanpa peraturan turunan yang kuat ibarat janji tanpa kepastian. Ketidakjelasan hukum telah menyebabkan masyarakat adat sering kali berada dalam posisi lemah saat berhadapan dengan korporasi, aparat negara, maupun pihak lain yang mengeksploitasi wilayah adat mereka.
Sejarah dan Perjalanan Panjang RUU Masyarakat Adat
RUU Masyarakat Adat telah masuk dalam Prolegnas sejak tahun 2009. LSM, organisasi masyarakat sipil, akademisi, serta Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menjadi motor penggerak utama agar RUU ini menjadi prioritas. Namun, dalam perjalanannya, RUU ini sering kali dikeluarkan dari daftar prioritas tahunan, dan hanya masuk kembali setelah adanya desakan publik. Pemerintah pun dinilai kurang proaktif. Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga Kementerian Agraria dan Tata Ruang memiliki pandangan berbeda terkait wewenang dan pengakuan wilayah adat.
Pembahasan RUU Masyarakat Adat yang Mandek Selama 14 Tahun Kepentingan
Ekonomi dan Politik yang Membayangi
Salah satu penyebab utama macetnya pembahasan RUU ini adalah konflik kepentingan antara perlindungan hak masyarakat adat dengan proyek-proyek investasi skala besar. Tanah-tanah adat kerap kali berada di kawasan yang kaya akan sumber daya alam. Ketika wilayah-wilayah tersebut sudah diklaim oleh negara sebagai kawasan hutan atau wilayah konsesi perusahaan, keberadaan masyarakat adat dianggap sebagai penghalang pembangunan. Dampak Nyata bagi Masyarakat Adat Ketidakhadiran payung hukum yang jelas membuat masyarakat adat berada dalam ketidakpastian hukum. Kasus-kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat terus terjadi. Data dari AMAN menunjukkan bahwa setidaknya ada ratusan kasus kriminalisasi masyarakat adat dalam satu dekade terakhir.
Suara dari Akar Rumput dan Tuntutan Perubahan
Desakan terhadap pengesahan RUU ini datang dari berbagai kalangan. Masyarakat adat dari berbagai daerah, akademisi, organisasi lingkungan, serta tokoh masyarakat terus menyuarakan pentingnya keberadaan UU Masyarakat Adat.
Apa Kata Masyarakat Adat?
Bagi masyarakat adat, keterlambatan ini adalah bentuk pengabaian yang sistemik. “Kami seperti diakui di mulut, tapi tidak diakui di tanah kami,” kata Abdon Nababan, tokoh masyarakat adat nasional. Mereka terus menyuarakan aspirasi lewat aksi damai, forum internasional, hingga judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Namun tanpa kehendak politik dari parlemen dan pemerintah, RUU ini hanya akan menjadi wacana abadi.
Dukungan dari Akar Rumput
Dorongan pengesahan RUU ini datang dari banyak elemen masyarakat, mulai dari komunitas adat sendiri, akademisi, hingga organisasi lingkungan. Mereka menilai negara telah gagal memberikan pengakuan nyata atas eksistensi masyarakat adat.
Harapan ke Depan
Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR menetapkan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. RUU ini diusulkan masuk prolegnas prioritas 2025 oleh tiga anggota DPR: Sulaeman Hamzah, Martin Manurung dan Rudianto Lallo. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dan Dewan Perwakilan Daerah juga mengusulkan agar RUU Masyarakat Adat masuk prioritas untuk disahkan tahun depan.
Baca juga: Perjalanan Panjang RUU TPKS Hingga Disahkan Menjadi Undang-Undang
Empat belas tahun mandeknya pembahasan RUU Masyarakat Adat adalah cermin ketidakseriusan negara dalam memenuhi hak-hak konstitusional masyarakat adat. Ketika regulasi yang diharapkan untuk melindungi mereka justru terus ditunda, negara tengah mempertontonkan wajah ketidakadilan. Empat belas tahun adalah waktu yang terlalu panjang untuk menunggu pengakuan. Dalam rentan waktu itu, generasi baru masyarakat adat telah lahir sebagian mungkin telah meninggalkan adat karena melihatnya tak memiliki tempat dalam sistem negara. Jika RUU Masyarakat Adat terus dibiarkan mengendap, maka negara secara tidak langsung mendorong punahnya peradaban-peradaban lokal yang seharusnya menjadi kekayaan bangsa.
Sudah saatnya negara berhenti bermain-main dengan nasib masyarakat adat. Pengesahan RUU ini bukan hanya soal keadilan, tapi juga soal merawat masa depan Indonesia yang plural, adil, dan berdaulat. Jika terus dibiarkan, keterlambatan ini berpotensi menghilangkan warian budaya dan peradapan lokal yang menjadi identitas bangsa. Sudah saatnya bertindak nyat, bukan sekedar janji belaka.
Penulis
Mohammad Hikmal Akbar
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Tidak selamanya masyarakat Adat memiliki Hutan Adat dan adanya hutan Adat karena adanya masyarakat adat.