PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

RUU Masyarakat Adat Digantung: DPR Mempertimbangkan Atau Melupakan?

Masyarakat adat

Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat. Dalam Pasal 18B ayat (2) tertuang, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya.” Pasal ini memberikan posisi konstitusional kepada masyarakat adat dalam hubungannya dengan negara. Kehadiran masyarakat adat merupakan suatu kenyataan sejarah yang tidak dapat dihindari atau disangkal oleh pemerintah. Pemerintah daerah diberi kewenangan untuk regulasi terkait penentuan keberadaan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan ada di masyarakat. Sejak era reformasi, masyarakat hukum adat di seluruh Indonesia banyak melakukan penuntutan terhadap pengakuan kembali hak-hak mereka yang telah dirampas secara paksa atau dengan cara lain oleh pemerintah maupun kelompok-kelompok tertentu.

Namun, meskipun masyarakat adat sudah dikonstitusikan, bukan berarti kehidupan mereka berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Sejauh ini, masyarakat adat masih terancam, mulai dari ketidakpastian hak atas tanah yang sering kali dirampas oleh negara dan korporasi dengan alasan kepentingan umum, kriminalisasi terhadap pembela hak, hingga korban jiwa akibat kelalaian hukum dalam mengaturnya.

Baca juga: Kawin Tangkap di Sumba dalam Perspektif Hukum Adat: Warisan Budaya atau Pelanggaran Hak Asasi?

Dilansir dari laman tempo.co (Maret 2025), sekitar 2,8 juta hektare tanah adat telah dirampas oleh negara dan korporasi, dengan 121 kasus perampasan wilayah adat yang berdampak pada 140 komunitas masyarakat adat. Lebih jauh lagi, data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang juga dilansir dari laman tempo.co (Maret 2025), menyebutkan bahwa masyarakat adat menghadapi 110 konflik pertanahan pada Januari hingga Maret 2025. Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, mengungkapkan bahwa faktor terbesar terjadinya konflik tersebut adalah sektor perkebunan skala besar dalam tiga bulan terakhir. Selain itu, kawasan pertambangan serta proyek infrastruktur dan energi dalam skema Proyek Strategis Nasional (PSN) turut menjadi penyebab. Data ini menunjukkan bahwa masyarakat adat masih menghadapi banyak ancaman dan ketidakamanan yang seharusnya menjadi perhatian negara.

Masyarakat Adat

Untuk mengatasi hal ini, sejak 2009 Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat telah diajukan. RUU ini dirancang untuk menjadi payung hukum bagi masyarakat adat, mengingat berbagai konflik yang mengancam hak-hak mereka, sehingga keberadaannya diharapkan dapat menjadi jaminan bagi kelangsungan kesejahteraan masyarakat adat. Namun, hingga kini RUU ini belum juga disahkan dengan berbagai pertimbangan dan hambatan, meskipun masyarakat sangat membutuhkan pengesahan Undang-Undang ini. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk menggali lebih dalam alasan mengapa RUU ini masih digantung setelah tiga periode DPR, serta memberikan beberapa solusi terkait muatan perundang-undangan ini.

Substansi RUU Masyarakat Adat

RUU tentang Masyarakat Adat merupakan langkah signifikan dalam pengakuan dan perlindungan hak-hak konstitutif masyarakat tradisional di Indonesia. Sebagai aktivis hukum, sangat penting untuk memahami substansi RUU ini, yang mencakup berbagai aspek, mulai dari pengakuan, perlindungan, hingga pemberdayaan masyarakat hukum adat yang telah lama terabaikan.

Secara prinsip, RUU ini berpijak pada adagium ubi jus ibi remedium, yang berarti di mana ada hak, di situ ada perlindungan. Dalam konteks ini, RUU menekankan pentingnya pengakuan formal atas keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) sebagai kelompok dengan kearifan lokal yang luhur, yang memiliki hak-hak yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara. Pengakuan ini dimulai dengan proses yang sistematis, yakni identifikasi, verifikasi, dan validasi yang harus dilakukan oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat. Sesuai dengan Pasal 4, negara secara tegas mengakui eksistensi MHA yang memenuhi kriteria tertentu, yang menegaskan pentingnya pendekatan berbasis bukti dalam pengakuan.

Pelindungan menjadi salah satu substansi penting dari RUU ini, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 20 dan Pasal 21, di mana negara berkewajiban memberikan jaminan atas hak-hak MHA. Dalam merumuskan pelindungan ini, fokus diberikan kepada Wilayah Adat, yang dianggap sebagai entitas komunal dan tidak dapat dipindahtangankan. Hal ini menciptakan landasan hukum yang kuat untuk mengatur penggunaan sumber daya alam dan pengelolaan lingkungan sesuai dengan adat istiadat masyarakat tersebut. Dalam konteks ini, adagium salus populi suprema lex esto, yaitu kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi, sangat relevan, menunjukkan bahwa setiap kebijakan yang diambil harus bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat hukum adat.

Dalam hal pemberdayaan, RUU ini mencakup mekanisme yang jelas untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan MHA melalui kebijakan dan program yang dihasilkan dari kedudukan hukum yang jelas. Pasal 35 secara khusus menyoroti kewenangan Pemerintah Pusat untuk menyusun kebijakan pemberdayaan yang efektif, memastikan bahwa anggaran dan sumber daya dialokasikan untuk program-program yang mendukung perkembangan masyarakat hukum adat. Diskusi mengenai pemberdayaan ini harus mempertimbangkan aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik, sehingga MHA tidak hanya mendapatkan pengakuan, tetapi juga kesempatan yang setara dalam partisipasi pembangunan.

RUU ini juga mengatur sistem informasi yang terintegrasi, sebagai upaya untuk mempermudah pendataan dan pemantauan hak-hak MHA. Dengan adanya data yang akurat dan sistematis, akan tercipta transparansi dalam pengelolaan sumber daya yang menjadi hak masyarakat ini. Hal ini sejalan dengan prinsip transparansi adalah inti dari akuntabilitas.

Namun, meskipun RUU ini telah menyusun banyak pasal untuk mengatur pengakuan hak-hak MHA, tantangan dalam implementasinya tetap ada. Di lapangan, konflik antara hukum adat dan hukum nasional sering kali menjadi penghalang dalam pelaksanaan hak-hak MHA. Oleh karena itu, ketentuan transisi dalam Pasal 55 memberikan harapan kepada MHA yang telah diakui sebelumnya untuk tetap mendapatkan pengakuan meskipun RUU ini baru berlaku.

Dengan segala substansi dan rumusan pasal-pasal yang ada, RUU ini menandai sebuah kemajuan penting dalam perjalanan kesejahteraan masyarakat hukum adat di Indonesia. Melalui pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka, RUU ini berusaha menciptakan keseimbangan antara modernisasi dan keberlanjutan budaya lokal, sebuah langkah progresif yang seharusnya mendapatkan dukungan penuh dari semua pemangku kepentingan. Keadilan bagi MHA adalah keadilan bagi bangsa, karena keberagaman budaya adalah salah satu kekayaan tak ternilai bangsa Indonesia.

Fakta Digantungnya RUU Masyarakat Adat

Meskipun RUU ini sudah lama diajukan, sekitar empat belas tahun, RUU ini tak kunjung menemui titik terang di balai legislatif. Dengan alasan dan kebutuhan hukum di masyarakat yang jelas, RUU ini masih menjadi RUU yang digantungkan dengan berbagai alibi sebagai alasan. Memang terdengar aneh jika dibandingkan dengan RUU TNI yang disahkan secara terburu-buru.

Dilansir dari voaindonesia.com (November 2021), menurut Ketua Panitia Kerja RUU Masyarakat Hukum Adat, Willy Aditya, salah satu hal yang membuat RUU ini tidak pernah disahkan dalam rapat paripurna DPR adalah karena tidak ada kemauan politik, baik dari Presiden maupun DPR. Padahal tujuh fraksi sudah sepakat untuk melanjutkan RUU ini sebagai hak inisiatif DPR hasil pleno Badan Legislatif, sementara dua fraksi menolak.

Selain itu, menurut Willy, sebagai Ketua Panitia Kerja RUU Masyarakat Hukum Adat, pengesahan RUU ini akan menjadi hambatan bagi pembangunan dan investasi. Dikhawatirkan juga akan bertabrakan dengan pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja. Pada praktiknya, korporasi-korporasi besar sebenarnya yang mencemaskan keberadaan undang-undang tersebut, terbukti dari pencaplokan tanah adat oleh perusahaan tertentu.

Pakar Hukum Agraria dan Hukum Adat, Dr. Aartje Tehupeiory, membenarkan perlunya mengesahkan RUU Masyarakat Hukum Adat untuk menjaga kelestarian budaya, adat istiadat, dan tanah adat. Memang selama ini sudah ada regulasi yang mendorong pemerintah daerah untuk mengeluarkan peraturan yang mengakui eksistensi masyarakat hukum adat, namun regulasi itu berbenturan dengan investasi, terutama setelah adanya Undang-Undang Cipta Kerja.

Baca juga: Mewariskan Kearifan Lokal: Studi Kasus Bagaimana Hukum Adat Bali Menyelesaikan Sengketa Tanah di Era Modern

Jelas secara politik, RUU Masyarakat Adat pastinya akan mengurangi kelicinan perizinan usaha akibat adanya UU Cipta Kerja, di mana dalam UU ini, seperti yang disebutkan sebelumnya dalam artikel di laman pinterhukum.or.id (Desember 2024), Pasal 29 menghapus keberadaan Komisi Penilai Amdal (KPA) dan diganti dengan Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat, yang bertugas membentuk Tim Uji Kelayakan yang berisi instansi lingkungan hidup, instansi teknis terkait, pakar dalam bidang pengetahuan usaha, serta pakar terkait dampak kegiatan. Dalam mekanisme ini, masyarakat yang terkena dampak dan organisasi lingkungan hidup tidak dilibatkan.

Dengan demikian, ketika RUU ini disahkan, tentu kepentingan korporasi dan politik dalam berusaha akan menurun, tidak semudah sebelumnya. Dari sini, seharusnya pemerintah sudah menampakkan kepentingannya dengan cepat mengesahkan UU Cipta Kerja, padahal RUU Masyarakat Adat sudah jauh diajukan namun tak kunjung disahkan.

Menyoal dari Sudut Muatan dalam UU Pembentukan Perundang-Undangan

Menyoal dari sudut pandang muatan dalam UU Pembentukan Perundang-Undangan, keberadaan RUU Masyarakat Adat yang mencakup pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat hukum adat, yang telah lama terabaikan, sesungguhnya merupakan turunan langsung dari Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya.” Bunyi Undang-undang tersebut menegaskan bahwa sudah seharusnya negara memperhatikan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat tanpa harus menunggu permintaan atau desakan yang panjang. Ini menjadi penting karena selama ini masyarakat adat telah mengalami berbagai ketidakadilan, mulai dari perampasan tanah oleh negara maupun korporasi dengan dalih kepentingan umum, hingga minimnya perlindungan hukum terhadap hak-hak mereka.

Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat adat harus menunggu lebih dari belasan tahun untuk memperoleh kepastian hukum, meskipun di tengah-tengah itu banyak kebijakan yang secara sengaja atau tidak sengaja terlihat mengabaikan hak-hak mereka. Bahkan, sejumlah Undang-Undang yang disahkan seringkali tidak mempertimbangkan secara mendalam dampaknya terhadap kehidupan dan eksistensi masyarakat adat. Dalam konteks ini, RUU yang mengatur tentang masyarakat adat sebenarnya merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak, yang seharusnya sudah dipenuhi jauh sebelum ini.

Dari sudut pandang normatif, Pasal 10 Ayat (1) Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan bahwa materi muatan yang harus diatur dalam undang-undang adalah mengenai pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat, yang tercantum pada poin (e). Dalam hal ini, pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat adat yang diatur dalam RUU tersebut menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditunda lebih lama lagi. Hal ini mengindikasikan bahwa negara, melalui lembaga legislatif, seharusnya bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat adat yang telah lama terabaikan.

Adalah kewajiban negara untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat diakomodasi dalam sistem hukum yang berlaku, agar tidak ada lagi ketidakadilan yang terjadi. Pemenuhan kebutuhan hukum ini bukan sekadar formalitas, melainkan suatu langkah nyata dalam melindungi dan memberdayakan masyarakat adat, yang telah menjadi bagian integral dari keberagaman bangsa Indonesia. Undang-Undang yang disahkan harus bisa memberi kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan yang lebih baik bagi masyarakat adat, mengingat sejarah panjang ketidakadilan yang mereka alami.

Penyusunan undang-undang terkait masyarakat adat harus memperhatikan secara serius substansi materi yang dapat menampung hak-hak tradisional mereka serta menjamin keberlanjutan dan kesejahteraan hidup mereka dalam menghadapi dinamika zaman dan perkembangan ekonomi, sosial, serta politik yang terus berubah. Oleh karena itu, jika negara benar-benar mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, maka langkah konkret melalui pengesahan RUU ini sangat diperlukan untuk menciptakan jaminan hukum yang lebih jelas dan terstruktur bukan malah ditunda berlama-lama seolah-olah dilupakan.

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *