PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Dinamika Hukum Waris Adat dalam Sistem Kekerabatan Matrilineal di Minangkabau

Adat

Dinamika Hukum Waris Adat

Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai salah satu kelompok etnis di Indonesia yang mempertahankan sistem kekerabatan matrilineal yang menarik garis kekerabatan dari garis keturunann ibu. Prinsip ini memiliki arti yang berhubungan dengan pewarisan, yang dimana seorang anak akan mendapatkan warisannya menurut garis si ibu. Di dalam garis ini juga memiliki sebuah pengertian tentang kesinambungan dalam pewarisan, yang mana seorang anak akan mendapatkan warisannya menurut garis dari si ibu. Warisan dilaksanakan dalam bentuk sebuah harta peninggalan, yang mana diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya.

Di hukum waris Minangkabau ini yang berhak untuk mengurus dan menggunakan harta pusaka adalah marga dari nenek atau ibunya, tetapi dengan syarat tidak boleh menjual atau menghibahkan atau memberikan harta tersebut kepada siapapun kecuali atas persetujuan atas semua keluarga dalam marga tersebut. Mereka hanya diberikan wewenang untuk mengkontrol atau melihat hasil atau buah dari warisan. Buah dan hasil lainnya sajalah yang bisa dijual atau disumbangan kepada siapa saja.

Di dalam hukum waris adat Minangkabau ini penghasilan dari seorang laki-laki dapat membantu anak dan istrinya ketika ia meninggal, dengan harta peninggalannya dapat menebus, membeli, membangun rumah untuk anak dan istrinya. Ketika meninggal harta yang ditinggalkan akan dikembalikan kepada kerabat-kerabatnya yang berjenis kelamin perempuan.  Sistem ini tidak hanya menjadi fondasi sosial-budaya, tetapi juga memengaruhi praktik hukum waris adat yang unik. Berdasarkan studi kasus dan sumber-sumber terkini, dinamika hukum waris adat di Minangkabau mencerminkan interaksi kompleks antara tradisi, agama, dan modernitas.

Baca juga: WARISAN DIBAGIKAN SEBELUM MENINGGAL, BOLEHKAH? BERIKUT PENJELASANNYA

Sistem Matrilineal dan Konsep Harta Pusaka

Dalam hukum adat Minangkabau, harta warisan dibagi menjadi dua kategori yaitu yang pertama adalah Harta Pusaka Tinggi dan Harta Pencaharian (Harta Bersama). Harta Pusaka Tinggi adalah harta komunal turun-temurun yang dikelola oleh mamak kepala waris (paman dari garis ibu). Harta ini tidak boleh diperjualbelikan atau dialihkan ke luar kaum, sebagaimana diatur dalam musyawarah adat 1953 dan seminar hukum adat 1968. Pepatah adat menyebut, “dijual tidak dimakan beli, diagadai tidak dimakan sando”, menegaskan sifat sakral harta ini. Sedangkan Harta Pencaharian (Harta Bersama) adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, diwariskan menurut hukum faraidh (Islam) dengan pembagian 50% untuk suami/istri dan 50% untuk anak-anak.

Kedua jenis harta ini menunjukkan dualisme hukum: harta pusaka tinggi diatur secara adat, sedangkan harta pencaharian tunduk pada prinsip Islam. Hal ini menciptakan dinamika ketika terjadi sengketa, terutama saat harta pribadi bercampur dengan harta komunal.

Peran Mamak Kepala Waris dan Tantangan Modern

Mamak kepala waris bertanggung jawab mengelola harta pusaka tinggi dan menjadi penengah dalam sengketa waris. Namun, posisi ini kerap diuji dalam kasus-kasus kontemporer. Misalnya, dalam Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 27/Pdt.G/2017/PN Bts, majelis hakim mengakui kewenangan mamak kepala waris untuk menguasai harta pusaka, tetapi juga menegaskan bahwa sengketa harus diselesaikan melalui Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebelum diajukan ke pengadilan.

Kasus ini mengungkap ketegangan antara otoritas adat dan hukum negara, di mana pengadilan formal kadang mengambil alih peran lembaga adat. Di sisi lain, generasi muda Minangkabau mulai mempertanyakan relevansi sistem matrilineal. Sebagian memilih sistem parental (bilateral) yang membagi warisan secara setara antara anak laki-laki dan perempuan, terutama untuk harta pencaharian. Pergeseran ini dipicu oleh faktor ekonomi dan mobilitas sosial, di mana perempuan tidak lagi sepenuhnya bergantung pada harta pusaka.

Interaksi Hukum Adat dan Hukum Islam

Meski hukum adat dominan, pengaruh Islam tidak dapat diabaikan. Dalam kasus pembagian harta pencaharian, banyak keluarga di Minangkabau menggunakan hukum faraidh, seperti yang terjadi di Kelurahan Tegal Sari III, Medan. Namun, konflik muncul ketika harta pusaka tinggi diklaim oleh pihak luar kaum, seperti suami yang mengajukan gugatan atas harta istrinya.

Fenomena ini menunjukkan tarik-menarik antara kepentingan individu dan komunal. Selain itu, praktik wasiat (hibah) untuk kemenakan atau pihak di luar kaum mulai diterima, meski terbatas pada sepertiga harta pencaharian. Adaptasi ini menjadi bukti fleksibilitas hukum adat dalam merespons perubahan sosial.

Studi Kasus dan Implikasi Sosial

Contoh nyata dinamika ini terlihat pada sengketa harta pusaka tinggi di Batusangkar. Keluarga penggugat mengklaim kepemilikan tanah adat, sementara tergugat (anggota kaum lain) menolak dengan alasan harta tersebut milik komunal. Pengadilan memutuskan bahwa mamak kepala waris berwenang penuh atas harta pusaka, tetapi juga menyarankan penyelesaian melalui KAN.

Putusan ini menguatkan posisi adat, sekaligus mengakui peran negara sebagai arbitrase akhir. Di daerah urban seperti Medan, interaksi antarbudaya mempercepat perubahan. Sebagian masyarakat menerapkan pembagian waris berdasarkan kesepakatan keluarga, mengabaikan ketentuan adat murni. Hal ini mencerminkan erosi nilai matrilineal di tengah arus modernisasi.

Kedudukan Harta Pusaka dalam Waris Minangkabau

Harta pusaka merupakan harta yang diwariskan dari nenek moyang kepada keluarga atau keturunanyaku, dan dapat disebut juga sebagai harta warisan. Di Minangkabau, harta pusaka memiliki status legal tinggi dan diakui di bawah hukum adat. Harta pusaka di Minangkabau diwakili dengan sebuah simbol warisan yang disebut tanduak. Tanduak adalah sebuah simbol yang menunjukkan bahwa harta itu telah diturunkan secara turun-temurun dan bahwa semua keturunan harus menghormati hak-hak harta pusaka.

Baca juga: Tantangan Hukum Adat: Aksi Solidaritas Merauke Tolak Proyek Strategis Nasional

Di Minangkabau, harta pusaka dianggap sebagai warisan spiritual, bukan hanya sekedar harta. Konon, harta pusaka adalah sebuah simbol dari sebuah tradisi yang harus dijaga dan dihormati. Harta Pusaka dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo pusako. Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak secara material seperti sawah, ladang, rumah gadang, ternak, dan sebagainya. Sedangkan, Pusako merupakan sesuatu milik kaum yang diwarisi turun temurun baik yang tampak maupun yang tidak tampak.

Oleh karena itu, di Minangkabau terdapat dua kata kembar yang memiliki arti sangat berbeda sako dan pusako. Sako merupakan gelar pusaka yang sedang dipakai dan dijalankan kewajibannya oleh kaum yang bersangkutan. Gelar pusaka yang dipegang oleh salah satu keponakan laki-laki dari kaum itu, yang memiliki garis keturunan dari kaum ibu. Sako merupakan miliki kaum secara turun temurun menurut sistem materilineal yang tidak berbentuk material seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat kepadanya. Sedangkan, Pusako adalah warisan yang diterima secara turun temurun oleh kaum yang memiliki garis keturunan ibu. Pusako merujuk kepada segala kekayaan materi atau harta benda seperti hutan, tanah, sawah, ladang, tambak, rumah, emas, perhiasan, uang, dan sebagainya.

Kesimpulan

Hukum waris adat Minangkabau terus berevolusi, menyeimbangkan tradisi matrilineal dengan tuntutan zaman. Meski harta pusaka tinggi tetap dipertahankan sebagai simbol identitas, hukum pencaharian semakin dipengaruhi oleh prinsip Islam dan hukum nasional. Tantangan ke depan adalah memastikan keberlangsungan sistem adat tanpa mengabaikan keadilan bagi generasi muda yang menginginkan pembaruan. Kolaborasi antara lembaga adat, agama, dan negara menjadi kunci untuk menyelesaikan sengketa secara harmonis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *