PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Peran Lembaga Adat dalam Menangani Kasus Perkawinan di Bawah Umur: Studi Kasus di Komunitas Adat Baduy, Banten

Adat Baduy

Di tengah gemuruh perubahan zaman, modernisasi, dan derasnya globalisasi yang menyentuh hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia, keberadaan komunitas adat masih menjadi benteng terakhir pelestarian nilai-nilai lokal yang telah hidup dan berkembang sejak ratusan tahun lalu. Mereka bukan sekadar pelestari budaya atau penjaga tradisi, tetapi juga menjadi komunitas yang secara aktif menjalankan sistem sosial yang bersandar pada hukum adat. Salah satu komunitas yang hingga kini tetap memegang teguh warisan leluhur adalah masyarakat Adat Baduy yang bermukim di kawasan pedalaman Kabupaten Lebak, Banten.

Komunitas Baduy bukan hanya menarik karena gaya hidupnya yang menolak modernitas, tetapi juga karena sistem hukum adat yang mereka jalankan secara konsisten, bahkan dalam hal-hal yang cukup kompleks seperti persoalan perkawinan. Dalam konteks masyarakat luas, perkawinan anak atau perkawinan di bawah umur kerap dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak anak dan seringkali menjadi perhatian serius berbagai pihak baik dari pemerintah, lembaga perlindungan anak, maupun aktivis sosial. Namun, di wilayah adat seperti Baduy, isu ini memiliki dinamika tersendiri yang tidak bisa disamaratakan dengan pendekatan hukum positif semata.

Penanganan kasus perkawinan di bawah umur di komunitas adat tidak dilakukan melalui jalur hukum formal seperti pengadilan atau aparat penegak hukum, melainkan melalui mekanisme adat yang berlandaskan pada kearifan lokal. Lembaga adat memegang peran kunci dalam menjaga tatanan sosial dan moral masyarakat. Artikel ini mencoba menyajikan sebuah potret bagaimana lembaga adat Baduy menyikapi kasus-kasus perkawinan anak, peran para tokoh adat dalam menyelesaikannya, serta bagaimana hal tersebut berinteraksi dengan regulasi negara yang lebih luas.

Baca juga: RUU Masyarakat Adat Digantung: DPR Mempertimbangkan Atau Melupakan?

Hukum Adat Baduy dan Struktur Sosial

Komunitas Adat Baduy terbagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam merupakan kelompok yang paling ketat dalam menjalankan aturan adat, termasuk menolak segala bentuk teknologi modern, pendidikan formal, dan intervensi luar. Sedangkan Baduy Luar sedikit lebih fleksibel dalam beradaptasi dengan dunia luar, namun tetap menjaga nilai-nilai adat secara mendalam.

Sistem sosial Baduy berlandaskan pada nilai pikukuh karuhun, yaitu ajaran leluhur yang tidak boleh dilanggar. Dalam sistem ini, terdapat struktur kepemimpinan adat yang sangat kuat dan dihormati oleh seluruh masyarakat. Tokoh tertinggi disebut Pu’un, yang bertindak sebagai pemimpin spiritual sekaligus penjaga tatanan adat. Di bawahnya terdapat Jaro Tangtu dan Jaro Dangka, yang masing-masing memiliki peran dalam mengatur urusan internal dan eksternal.

Lembaga adat Baduy tidak hanya mengatur kehidupan sehari-hari seperti tata cara bertani, berpakaian, dan berinteraksi, tetapi juga mengatur urusan sosial yang lebih luas seperti perkawinan, warisan, hingga sanksi sosial. Peran tokoh adat sangat sentral karena keputusan mereka bersifat mengikat dan dihormati oleh seluruh anggota komunitas.

Perkawinan Dini dalam Perspektif Adat Baduy

Secara umum, masyarakat Baduy menikah pada usia yang relatif muda dibandingkan dengan standar hukum negara. Hal ini bukan tanpa alasan. Bagi masyarakat Baduy, kedewasaan seseorang tidak diukur dari usia kronologis, tetapi dari kesiapan mental, kematangan sikap, dan kesanggupan menjalankan peran sebagai suami atau istri dalam struktur sosial mereka.

Meski demikian, bukan berarti semua perkawinan dini dibenarkan atau diterima begitu saja. Lembaga adat memiliki mekanisme penyaringan dan penilaian yang cukup ketat. Jika terdapat seorang anak laki-laki maupun perempuan—yang dinilai belum siap secara spiritual dan sosial, maka permohonan atau rencana pernikahannya dapat ditolak atau ditunda oleh tokoh adat.

Dalam beberapa kasus, jika terjadi perkawinan tanpa sepengetahuan lembaga adat atau tanpa restu Pu’un dan Jaro, maka pernikahan tersebut bisa dianggap tidak sah secara adat. Akibatnya, pasangan tersebut akan dikenai sanksi, seperti isolasi sosial, pengucilan dari upacara adat, atau diwajibkan menjalani ritual khusus sebagai bentuk permohonan maaf kepada leluhur.

Penyelesaian Kasus oleh Lembaga Adat

Ketika terjadi pelanggaran terhadap norma-norma adat, termasuk kasus perkawinan anak yang tidak sesuai aturan, lembaga adat akan segera turun tangan. Mekanisme yang digunakan umumnya berbentuk musyawarah keluarga, yang dihadiri oleh tokoh adat, orang tua kedua belah pihak, dan sesepuh kampung.

Baca juga: Vonis Adat sebagai Pelindung Identitas Suku Dayak Pesaguan

Musyawarah ini dilakukan secara tertutup dan dijalankan dengan pendekatan kekeluargaan serta spiritualitas. Tidak ada pemaksaan atau intimidasi, tetapi lebih pada upaya membangun kesadaran bersama. Tujuannya adalah agar para pihak memahami dampak jangka panjang dari keputusan mereka dan bersedia menerima sanksi atau solusi yang ditawarkan. Uniknya, sanksi yang diberikan oleh lembaga adat lebih bersifat edukatif dan restoratif ketimbang represif. Hal ini membedakan pendekatan hukum adat dengan pendekatan hukum negara yang lebih formal dan prosedural.

Antara Hukum Adat dan Hukum Negara

Perlu dicermati bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah menetapkan batas usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi hak-hak anak dan mencegah terjadinya eksploitasi. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa penerapan hukum nasional tidak selalu efektif di wilayah adat yang memiliki sistem hukum tersendiri. Lembaga adat Baduy misalnya, lebih dipercaya oleh warganya dibanding aparat negara karena dianggap lebih memahami konteks budaya dan sosial masyarakat setempat.

Meskipun begitu, tidak berarti bahwa hukum adat sepenuhnya bertentangan dengan hukum negara. Justru, pendekatan kolaboratif antara kedua sistem hukum ini sangat dibutuhkan. Pemerintah perlu membuka ruang dialog dan kerja sama dengan tokoh adat agar prinsip perlindungan anak tetap bisa dijalankan tanpa harus menabrak norma budaya lokal.

Kesimpulan

Kasus-kasus perkawinan anak yang terjadi di komunitas adat seperti Baduy memang tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Di satu sisi, praktik tersebut bisa jadi bagian dari sistem sosial yang telah teruji selama berabad-abad. Namun di sisi lain, perlu juga ada upaya bersama untuk memastikan bahwa anak-anak tetap mendapatkan perlindungan dan hak-haknya.

Lembaga adat Baduy telah membuktikan bahwa mereka bukan hanya penjaga tradisi, tetapi juga bisa menjadi garda depan dalam memberikan penyelesaian konflik sosial secara damai dan bermartabat. Dengan pendekatan yang bijak dan kolaboratif, hukum adat dan hukum negara dapat berjalan seiring tanpa saling meniadakan. Masyarakat adat bukan musuh dari perlindungan anak, justru mereka bisa menjadi mitra strategis dalam menciptakan masa depan yang lebih adil dan berbudaya bagi generasi muda.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *