Belum lama ini telah terjadi fenomena kotak kosong dalam pemilihan umum kepala daerah dibeberapa daerah di Indonesia. Terdapat peningkatan dalam kotak kosong, yaitu terdapat pada 37 daerah. Fenomena tersebut menjadi suatu topik yang menarik untuk dicermati. Apa sebenarnya penyebab adanya pilihan kotak kosong dan apakah pilihan tersebut menjadi solusi yang terbaik atau menjadi petaka dalam pemilu di negara ini.
Baca juga: Pesta Politik Tanpa Politisasi Sara: Upaya Menuju Pemilu Sehat dan Berdemokratis
Konseptualisasi Kotak Kosong dalam Pemilu
Kotak kosong ini muncul ketika hanya terdapat satu pasangan calon dalam pemilu sehingga kondisi ini membuat pilihan antara memilih paslon tersebut atau memilih opsi kotak kosong. Kotak kosong ini merupakan salah satu alternatif bagi masyarkat untuk menyampaikan ketidaksetujuan terhadap calon tunggal. Adanya fenomena ini tidak terlepas dari terbentuknya koalisi besar di satu daerah yang mendukung satu pasangan calon tunggal sehingga hanya sedikit ruang bagi calon lain untuk maju dan juga hal ini mengisyaratkan keterbatasan partai politik dalam mempersiapkan para kadernya untuk maju dan bersaing dalam pilkada (Dewi Anggraini:2024)
Juan Linz dalam tulisannya yang berjudul The Breakdown of Democratic Regimes (1978) disebutkan bahwa peran dan perilaku politikus bisa memperkuat atau mengancam demokrasi. Fenomena kotak kosong ini seakan mengamini adanya penegasian terhadap hak politik masyarkat dalam mencalonkan diri menjadi penyelenggara negara. Dengan begitu hal ini dianggap suatu bentuk kemunduran demokrasi sebab kotak kosong ini mengamini adanya calon tunggal, sekaligus menegasikan adanya hak politik masyarakat berupa berpartisipasi dalam menyelenggarakan negara. Apalagi kotak kosong ini tidak diatur secara eksplisit dalam UU. Meskipun tidak ideal akan tetapi memilih kotak kosong dianggap sebagai hak politik yang sah.
Hilangnya Marwah Demokrasi
Sayangnya dengan adanya fenomena munculnya kotak kosong tersebut menjadi minimnya pilihan kompetitif sehingga menyebabkan pemilih tidak memiliki pilihan yang sesuai sehingga menjadi enggan untuk memberikan suara dan memilih kotak kosong. Padahal pemilu dianggap menjadi tolak ukur dan penerapan yang nyata dalam proses pelaksanaan demokrasi, salah satunya menggunakan hak pilih masyarakat untuk memilih calon pemimpin daerahnya.
Namun apabila kotak kosong lebih banyak dipilih, calon tunggal dianggap kalah maka pemerintahan tidak dapat dijalankan oleh calon yang telah ada. Selanjutnya pemerintah pusat akan menunjuk seorang penjabat sementara untuk memimpin sampai pemilihan ulang diadakan lagi, hal ini selaras dengan adanya aturan dalam pasal 54D UU No 10 tahun 2016. Adanya kekosongan kekuasaan tersebut dapat berdampak serius pada stabilitas pemerintahan daerah, karena pejabat sementara tidak memiliki legitimasi yang sama dengan pemimpin yang terpilih melalui proses pemilu langsung.
Baca juga: Konfigurasi Politik Hukum Dinasti Politik
Teori politik menurut Robert Dahl dalam karyanya Democracy and its critics(1989) menekankan bahwa demokrasi bukan hanya tentang mekanisme pemilihan, tetapi tentang keterlibatan terus-menerus warga dalam pengambilan keputusan. Sehingga teori ini menjadi relevan dengan keadaan politik di Indonesia saat ini, dimana konsep kotak kosong menjadi simbol yang kuat dan mengkhawatirkan karena tidak hanya merusak esensi persaingan elektoral tetapi juga mengikis kepercayaan publik, serta masyarakat kehilangan hak politik. Yang mana inti dari teori demokrasi adalah adanya pemerintahan yang mendapat kekuasaannya dari kesepakatan mereka yang diperintah. Presiden Abraham Lincoln menyatakan bahwa prinsip kesepakatan bersama tersebut sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”(Stephenson, 2001:16).
Kaderisasi Partai Politik
Adanya fenomena pemilu kotak kosong menjadi cerminan ketidakpuasan pemilih terhadap calon yang ada dan kondisi politik yang tidak memberikan pilihan yang kompetitif serta tingginya biaya politik. Salah satu pilkada yang dimenangkan oleh kotak kosong yaitu pada pilkada kota Makassar pada tahun 2018 dengan mencapai suara 53,2% unggul dari paslon tunggal. Sehingga dari kasus tersebut perlu adanya penguatan kaderisasi partai, dimana dengan adanya program pelatihan dan pendidikan bagi kader partai dapat membantu partai dalam mencetak calon-calon pemimpin yang berkualitas dan siap berkontribusi serta berkompetisi dalam pemilu.
Kaderisasi partai politik merupakan proses penting dalam mempersiapkan calon pemimpin yang berkualitas, yang mencakup identifikasi bakat, pelatihan, dan pendidikan politik. Proses ini dimulai dengan seleksi ketat untuk menemukan individu dengan kompetensi dan integritas yang sesuai dengan nilai-nilai partai. Selanjutnya, kader mengikuti pelatihan yang mencakup pengetahuan politik dan keterampilan komunikasi, serta pengalaman lapangan melalui partisipasi aktif dalam kegiatan politik. Namun, banyak partai di Indonesia masih menghadapi tantangan dalam kaderisasi, seperti minimnya partai politik dalam memberikan fasilitas khusus terhadap kadernya dalam mekanisasi menjalankan pemerintahan daerah.
Pengembangan program kaderisasi ini dapat mencakup berbagai aspek kepemimpinan, strategi kampanye, dan etika politik, sehingga nantinya kader partai siap untuk mewakili kepentingan rakyat. Dengan demikian nantinya setiap partai dapat mencalonkan kader partainya untuk memimpin di suatu daerah karena kader partai telah mendapatkan penguatan kaderisasi partai politik, sehingga nantinya diharapkan tidak terdapat lagi fenomena kotak kosong dan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu sebab adanya kontestasi pemilihan yang kompetitif.
Penulis
Nur Alfi Rahmayanti
Asisten Peneliti Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (PUSKOLEGIS) dan Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya