Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu momen krusial yang ditunggu-tunggu dalam pesta demokrasi Indonesia. Momen Pemilu bukan hanya menyoal pada bagaimana memilih pemimpin yang berkualitas untuk suatu daerah, tetapi juga mencerminkan bagaimana jalannya prinsip demokrasi di Indonesia. Namun layaknya Pemilu yang lalu-lalu, salah satu isu yang sering dipolitisasi untuk memenangkan calon tertentu dan menyerang calon lain adalah dengan penggunaan sentiment Suku, Agama, dan Ras (SARA) sebagai instrumen politik. Penggunaan isu SARA dalam kontestasi Pemilu dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan menciptakan perpecahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Baca juga: Pernyataan Yusril Ihza Mahendra Mengenai Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu Presiden
SARA ibarat pedang bermata dua. Disatu sisi, keberagaman SARA menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya dan multikultural. Sementara disisi lain, jika tidak dikelola dengan baik, SARA dapat menjadi pemicu konflik sosial dalam masyarakat. Jelasnya dampak negative ini, tidak membuat isu ini turut dibawa oleh para calon pemimpin dan partainya untuk meraup dukungan politik. Politisasi SARA tidak hanya berpotensi menciptakan perpecahan dalam masyarakat, tetapi juga merusak nilai-nilai persatua yang tertuang dalam sumpah pemuda, yang seharusnya dijadikan sebagai dasar persatuan.
Larangan mengenai penggunaan politik SARA dalam kampanye secara jelas diatur dalam Pasal 69 huruf b UU No. 17 Tahun 2019 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang yang kurang lebih berbunyi sebagaimana berikut. “Dalam kampanye dilarang: menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon Gubernur, Calon Bupati, Calon Walikota, dan/atau Partai Politik”. Lalu Pasal 69 b Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 23 Tahun 2018 menyatakan bahwa “Pelaksana, Peserta, dan Tim Kampanye Pemilu dilarang untuk melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Selanjutnya dalam Pasal 69 c PKPU yang sama menyebutkan bahwa setiap calon dilarang untuk menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam datanya menyebutkan bahwa politisasi Suku, Agama, Ras, dan Golongan merupakan salah satu isu yang krusial dan umum terjadi dalam pemilu. Berdasarkan data yang diperoleh, terdapat beberapa provinsi yang rawan akan terjadi politisasi SARA. Daerah paling rawan yaitu DKI Jakarta yang memperoleh 100 poin (skor maksimal), selanjutnya diikuti dengan Maluku Utara dengan 77,16 poin, kemudian diurutan ketiga yaitu sebanyak 14,81 poin adalah D.I Yogyakarta. Papua Barat di posisi keempat dengan 14,81 poin, diurutan kelima yaitu Jawa Barat dengan 12,35 poin, dan yang keenam yaitu Kalimantan Barat dengan 7,14 poin (Databoks, 2023).
Bahaya Politisasi SARA Dalam Pemilu
Bahaya penggunaan instrumen SARA dalam pemilu bukan hanya dalam skala kecil. SARA dapat mengganggu kehidupan jangka panjang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertama, politisasi SARA merusak sendi-sendi kehidupan dan persatuan Indonesia sebagai NKRI. Instrumen SARA yang seharusnya dapat menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang kaya dan berbudaya malah akan menjadi belati yang memecah belah masyarakat. Ketika isu SARA dipolitisasi untuk meraih dukungan Suku, Agama, Ras, dan Golongan tertentu, akan terjadi rasa curiga satu sama lain antar masyarakat yang berbeda tersebut. Pola semacam ini tidak hanya berdampak terhadap Pemilu tetapi juga merembes kepada kehidupan sosial politik yang kacau balau.
Kedua. Politisasi SARA merusak demokrasi. Salah satu syarat agar suatu negara diakui sebagai negara demokrasi yaitu adanya pemilihan umum yang bebas dan adil. Selaras dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pemilu haruslah didasarkan pada asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Demokrasi memungkinkan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dengan bebas dan sesuai dengan hati Nurani untuk memilih pemimpin berdasarkan kapabilitas, rekam jejak, visi dan misi. Namun, Ketika SARA dipolitisasi, pilihan masyarakat akan menjadi terdistorsi oleh faktor emosional dan identitas, bukan berdasarkan visi dan misi.
Hal di atas mengakibatkan bahaya Ketiga, yaitu ketidakpuasan masyarakat terhadap pemimpin. Ketika para calon pemimpin dalam kampanye menggunakan SARA sebagai alat politik, mereka cenderung tidak focus pada visi misi perubahan apa yang akan mereka bawa kepada daerah tersebut, tetapi lebih focus pada upaya untuk mempertahankan dukungan kelompok. Hal ini berpontensi memperburuk ketimpangan sosial daerah tersebut.
Keempat, politisasi SARA akan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah dan partai politik. Ketika masyarakat merasakan dampak dari proses yang mengutamakan politik identitas, bukan kualitas calon, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap insitusi dan Lembaga yang seharusnya menjamin Pemilu yang bersih dan berkejujuran, seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam jangka Panjang hal ini berdampak pada kurangnya partisipasi masyarakat dalam Pemilu yang selanjutnya. Kelima, Politisasi SARA dapat memperburuk radikalisasi dan esktremisme dalam hal agama dan ideologi. Hal ini membahayakan visi bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea kedua, yaitu menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan Makmur.
Upaya Melawan Politisasi SARA untuk Pemilu Yang Lebih Baik
Untuk meningkatkan demokrasi dalam pemilihan umum (pemilu), setidaknya ada 7 faktor menurut Joko J. Prihatmoko dalam bukunya yang berjudul Mendemokratiskan Pemilu Dari Sistem Sampai Elemen Teknis, ia menyebut ketujuh faktor ini sebagai faktor prakondisi demokrasi local, yang terdiri atas: pertama, kualitas DPR/D yang baik. Kedua, sistem rekrutmen DPR/D yang kompetitif, selektif, dan akuntabel. Ketiga, partai yang berfungsi. Keempat, pemilih yang kritis dan rasional. Kelima, kebebasan dan konsistensi pers. Keenam, LSM yang solid dan konsisten. Ketujuh, keberdayaan masyarakat madani (civil society). Namun pada praktik di lapangan, prakondisi ini masih belum memadai untuk menopang demokrasi.
Baca juga: Peran Penting Pengacara Dalam Proses Pemilu
Oleh karena itu ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memastikan Pemilu berlangsung sesuai dengan asas pemilu yang tercantum dalam pasal 22E UUD 1945 dan bebas dari politiasi SARA, yaitu:
Pertama, penerapan regulasi yang ketat dan tegas. Pasal 28E ayat (2) dan 28I ayat (2) UUD 1945 menjamin kebebasan berpendapat dan hak untuk mendapat perlindungan serta terbebas dari segala bentuk diskriminasi. Selain itu, sudah banyak Pasal dalam UU Pemilu maupun UU Pilkada yang melarang perihal penggunaan SARA dalam kampanye. Oleh karena itu, pihak-pihak yang bertanggungjawab atas Pemilu harus memastikan aturan tersebut dipatuhi setiap calon dan partai politik serta penerapan sanksi tegas dan mengikat.
Kedua, pengawasan jalannya Pemilu yang ketat oleh setiap pihak terkait baik organisasi pemerintahan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pengawasan dan pelaporan kecurangan Pilakda oleh masyarakat.
Ketiga, Pendidikan politik dan hukum kepada masyarakat. Edukasi mengenai bagaimana mengggunakan hak pilih yang bijak, memilih secara rasional, dan edukasi betapa pentingnya suara mereka untuk pembangunan jangka panjang daerah mereka. Pendidikan politik dapat dilakukan dengan kolaborasi antara pemerintah, pers, partai politik, LSM, dan warga masyarakat. Dalam hal ini, Pendidikan politik memang merupakan kewajiban partai politik berdasarkan pasal 34 ayat (3a) UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
Keempat, peran pers untuk meningkatkan literasi politik masyarakat melalui pemberitaan yang objektif dan menyeluruh tentang perkembangan para calon kepala daerah, rekam jejak, visi misi, serta informasi partai politik mereka. Pers juga memainkan peran krusial dalam menyediakan ruang diskusi dan berbagi opini antar masyarakat, penyebaran informasi dapat dilakukan melalui apa saja seperti televisi, radio, koran, dan lain-lain. Hak setiap orang untuk memperoleh informasi tercantum dalam Pasal 28F UUD 1945.
Respon (1)