Pemilu di Indonesia
Pemilu di Indonesia adalah proses demokratis yang diadakan secara periodik untuk memilih wakil rakyat, baik di tingkat nasional maupun daerah, serta pemimpin eksekutif seperti presiden dan wakil presiden. Pemilu merupakan mekanisme yang memungkinkan warga negara Indonesia untuk berpartisipasi dalam menentukan pilihan politik mereka melalui hak suara.
Pemilu di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi Undang-Undang.
Baca juga: Politik Identitas Menjelang Pemilu 2024, Begini KUHP Baru Mengaturnya
Secara prinsip teori, pemilihan umum dilaksanakan berdasarkan teori kontrak sosial yang dipelopori oleh beberapa tokoh ternama seperti Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan Jean-Jacques Rousseau yang sudah pernah saya bahas dalam artikel tulisan yang saya tulis pada tahun 2021 di Timesindonesia.co.id yang berjudul “Theory Of Social Contract dalam Bermulanya Negara”, dimana dalam teori tersebut digambarkan terjadi dua kali kontrak sosial antar masyarakat untuk mendirikan suatu negara yang berdaulat, kontrak sosial pertama terjadi untuk menyepakati berdirinya suatu negara (Pactum Uniones) dan kontrak sosial yang kedua dilakukan untuk menunjuk perwakilan mereka untuk memimpin dan memerintah dalam negara tersebut (Pactum Subjectiones).
Teori ini kemudian mengafirmasi teori kedaulatan rakyat yang pada prinsipnya menunjukkan bahwa kedaulatan negara dipegang sepenuhnya oleh rakyat artinya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hingga akhirnya berkembang menjadi teori yang diamini oleh masyarat moderen secara umum menjadi sistem demokrasi yang sampai hari ini berdiri kokoh di berbagai negara.
Indonesia dalam Sila ke-5 Pancasilanya, memegang teguh prinsip Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, selain itu dengan tegas Indonesia juga telah menegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Artinya sejak awal Indonesia telah menegaskan bahwa NKRI merupakan negara yang memegang teguh teori kedaulatan rakyat sebagai pendirian atau prinsip dasarnya, oleh sebab itu melaksanakan pemilu merupakan suatu kewajiban untuk menjamin kedaulatan rakyat tersebut tetap eksis.
Asas umum dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum “Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil” yang kemudian lebih dikenal dengan singkatan asas luber jurdil, namun tidak ada yang dapat memastikan bahwa asas tersebut dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya dalam pelaksanaan pemilu.
KPU dan Bawaslu sebagai lembaga yang melaksanakan dan mengawasi jalannya pemilu tidak menutup kemungkinan untuk berpihak ke petahana yang sedang berkuasa, karena bagaimanapun terpilihnya ketua KPU dan Bawaslu tidak akan terlepas dari kontrak-kontrak politik yang dapat terjadi antar politisi yang sedang berkuasa, begitu juga dengan sektor-sektor lain dalam hal penegakan hukum di Indonesia.
Baca juga: Dimana Ruang Pemuda dalam Penyelenggaraan Pemilu?
Peran Pengacara Dalam Proses Pemilu
Advokat sebagai salah satu Aparat Penegak Hukum (APH) sebagai profesi yang terhormat (Officium Nobile) dalam melaksanakan tugas profesinya, seorang pengacara perlu mempertahankan kebebasannya dengan berpegang teguh pada nilai-nilai kehormatan dan kepribadian advokat.
Nilai-nilai tersebut melibatkan integritas, kemandirian, menjaga kerahasiaan, dan mempraktikkan keterbukaan, semuanya bertujuan untuk mencegah timbulnya perilaku yang tidak pantas dan menjaga sikap yang terhormat.
Satu hal yang membedakan Pengacara sebagai penegak hukum dengan penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, dan hakim adalah bahwa status penegak hukum yang disandang oleh advokat adalah bebas mandiri, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat diatur bahwa Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.
Status penegak hukum yang bebas dan mandiri inilah yang menjadikan advokat dapat menjadi, pengawas dan pengontrol secara independen dan memastikan bahwa berjalannya proses pemilu berjalan dengan luber jurdil, selain itu hak imunitas yang dimiliki oleh advokat dapat menjadi tameng bagi seorang advokat untuk melakukan tindakan dan langkah hukum secara profesional apabila terjadi pelanggaran terhadap proses pelaksanaan pemilu di Indonesia.