Flasback pada UUD 1945 pada tujuh dekade yang lalu tertuang dalam alenia ke-4 bahwa diciptakannya pemerintahan Indonesia salah satunya untuk memajukan kesejahteraan umum. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut program demi program diciptakan di negeri katulistiwa ini salah satunya mendorong pertumbuhan ekonomi dengan praktek pertambangan.
Pertambangan mulai digalakkan di Indoenesia sebagai jalan menuju Indonesia menjemput kesejateraannya dengan macam jenis tambang dari batu bara di Kalimantan Selatan, tambang emas grasberg di Freeport Papua, tambang nikel di Morowali-Sulawesi Tenggara, tambang timah di Bangka Belitung, hingga tambang bauksit di Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat.
Baca juga: Etika Pertambangan: Tanggung Jawab terhadap Lingkungan dan Kesejahteraan Masyarakat
Pertambangan ini memberikan daya peningkatan terhadap ekonomi Indonesia sebagaimana dilansir dari laman Detik.com(18/10) bahwa Data Kementerian ESDM dalam APBN 2023 menyebut PNBP yang dihasilkan sektor minerba mencapai Rp 173 Triliun, sekitar 58% dari total PNBP sektor ESDM (Rp 300 Triliun). Angka yang sangat menarik dan fantastik membuat bangga dan jumawa akan program hilirisasi.
Kendati demikian, turut serta memutar balikkan tujuan utamanya dampak lingkungan selalu mengiringi kegiatan tambang. Kerusakan-demi keruskan terus menerpa lokasi sekitar dan manusianya seakan menjungkir balikkan kehidupan masyarakat lokal beserta ekonomi, dan kesehatannya.
Sebagaimana dilansir dari Film Kutukan Nikel Vol.2, tercatat adanya dampak lingkungan yang mengakibatkan hilangnya mata pencarian para nelayan di laut sekitar Dsn. Kurisa Ds,. Fatufia Kec. Bahodopi Kab, Morowali Sulawesi Tengah. Awalnya laut ini menjadi tempat pencarian para nelayan di sana, namun setelah adanya dampak lalu Lalang kapal pengangkut tanah menuju PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) untuk dikelola, laut ini yang semula banyak ikan sehat yang menjadi tangkapan para nelayan malah berkurang drastis, sehingga mengancam mata pencarian masyarakat sekitar.
Selain itu terdapat temuan menurut www.voaindonesia.com (01/02) “Limbah Tailing Freeport Rusak Lingkungan, Hancurkan Kehidupan” Freeport Rusak Lingkungan di mana limbah sisa aktivitas tambang tersebut terbawa melalui sungai-sungai di Mimika bahkan ke laut dan ini dirasakan oleh di tiga distrik di Kabupaten Mimika, yaitu Mimika Timur Jauh, Jita dan Agimuga.. Tersebut yang nyatanya berdampak buruk pada Masyarakat tapi dalam kenyataan lain Freeport tidak bersedia membangun jembatan di atas sungai yang dipenuhi limbah tailing untuk kelangsungan aktivitas masyarakat. Tidak berhenti di situ, dampak limbah Freeport menyebabkan anak-anak mengalami gatal-gatal, sementara orang tua mereka tidak mampu membawanya ke rumah sakit.
Faktor kerusakan dan Teknis seharusnya:
Dari fakta yang ditemukan di atas tentunya sangat bertolak belakang dari pada tujuan utama pengelolaan tambang., tambang yang dikelola semula untuk menumbuhkan ekonomi Indonesia menuju sejahtera, malah berbalik mneghilangkan sumber kehidupan dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Dari sini dilema antara pertambangan ini sebenarnya untuk kesejahteraan malah runyam dan menyiksa. Dari sini penulis perlu menyoroti sebelah mana letak kesalahan senhingga terjadi berbagai kerusakan lingkungan akibat pertambangan dan bagaimana solusinya:
Lalai dan Kurangnya Tanggung Jawab perusahaan
Dalam berbagai kegiatan produksi MINERBA banyak terjadi kerusakan terhadap lingkungan yang puncaknya berdampak buruk pada masyarakat. Hal ini disebabkan perusahaan sering ditemukan lalai akan dampak lingkungan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang disebabkannya dan ini melanggar prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan.
Seharusnya kalau merujuk pada Bab II Bagian I UU N0. 32 Tahun 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat kelestarian, berkelanjutan, dan adil terhadap semua pihak yang terdampak. Prinsip ini mencakup penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan pemberdayaan masyarakat lokal. Asas tersebut menuntut perusahaan sebagai pemegang Izin Usahah Pertambangan untuk tidak hanya berfokus pada keuntungan, tetapi juga mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan masyarakat.
Dijelaskan pula dalam PP No. 78 Tahun 2010 Reklamasi Dan Pascatambang; ” Pasal 2 (1) Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi wajib melaksanakan reklamasi. (2) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang. (3) Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan eksplorasi. (4) Reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan pertambangan dengan sistem dan metode: a. penambangan terbuka; dan b. penambangan bawah tanah.”
Dengan demikian perusahaan harus menyediakan fasiltas untuk menampung limbah dan tidak membiarkan bekas lubang akibat tambang mengangah begitu saja, sehingga keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam, kesejahteraan masyarakat, dan pelestarian lingkungan untuk masa depan akan berjalan mulus tanpa ada dosa yang ditinggalkan.
Kurangnya Ethos Pemerintah dalam Penegakan Hukum
Di sorotan lain upaya penegakan hukum masih absurd dan membiarkan perusahaan lalu lalang lengah akan kerusakan lingkungan, Hal ini menunjukkan inkonsistensi pemerintah dalam melindungi lingkungan. Kurangnya evaluasi mendalam melalui AMDAL, pengabaian hak masyarakat lokal, dan eksplorasi tambang di kawasan seperti kasus-kasus yang terjadi di Freeport, PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) Kab, Morowali Sulawesi Tengah, dan perusahaan tambang WITA Kalimantan Selatan seolah-olah dilihat baik-baik saja.
Dianalis lebih dalam penegakan hukum lingkungan dipengaruhi sejak diformulasikannya Undang-undang, dari sana mulai masuk berbagai kepentingan politis dari berbagai pihak, mulai dari kalangan industrialis, penguasa ataupun masyarakat. Sebagai contoh UUPLH yang dibenturkan dengan UU CIPTAKER terkait penyusunan AMDAL dan partisipasi masyarakat. Bersumber dari tulisan ”Amdal Yang Kehilangan Jiwa: Kritik Terhadap Pengaturan Amdal Pada Uu Cipta Kerja” (26/10/2020) UU Ciptaker dalam pasal 29 menghapus keberadaan Komisi Penilai Amdal(KPA) diganti dengan Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat bertugas untuk membentuk Tim Uji Kelayakan yang isinya instansi lingkungan hidup, instansi teknis terkait, pakar di bidang pengetahuan dengan jenis usaha, pakar di bidang pengetahuan terkait dampak kegiatan, dan di sana tidak melibatkan masyarakat yang terkena dampak dan organisasi lingkungan hidup.
Padahal pada dasarnya partisipasi masyarakat harus diikutsertakan dalam urusan negaranya, lebih-lebih soal lingkungannya. Selain itu berbibacara soal lingkungan terdapat asas tanggung jawab negara yang tentunya dengan asas ini negara yang direpresentasikan oleh pemerintah harus mencegah dilakukannya pemanfaat sumber daya alam yang berpotensi menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan baik secara penal artinya pencegahan secara yuridis ataupun refresif yaitu tindakan yang dilakukan untuk menanggulangi suatu perbuatan yang telah terjadi.
Kurang menerlibatkan masyarakat dalam keputusan
Persoalan di atas tidak stop di situ saja, hal tersebut bepengaruh terhadap transparansi dan pengikutsertaan masyarakat terdampak. Hal ini membuka peluang kepentingan politik para pengusaha, investor bahkan politisi untuk merampas kekayaan yang dimiliki masyarakat dan diambil keuntungannya, karena pada kenyataannya alibi kemajuan ekonomi yang digaungkan pemerintah menciptakan kesenjangan di masyarakat sekitar tambang dan keuntungan dinikmati hanya segelintir orang.
Baca juga: Korupsi di Sektor Tambang Timah Indonesia
Seyogyanya, secara teoritis adanya partisipasi publik dalam Amdal didukung oleh dua pendekatan yaitu pendekatan substantif dan prosedural. Pendekatan pertama dimensi substantif yang berbicara kualitas AMDAL dan pemenuhan hak atas partisipasi sebagai bagian kelompok yang mempunyai hak atas lingkungan hidup baik dan sehat. Selanjutnya dimensi prosedural dalam hal ini berkaitan dengan masyarakat harus ikut andil dalam pengambilan keputusan serta mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup, dan ini yang dimaksud asas partisipatif dalam UU. No. 32 Tahun 2009. Di Undang-undang tersebut juga dijelaskan pada Pasal 26:
- Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat.
- Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.
- Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
- yang terkena dampak;
- pemerhati lingkungan hidup; dan/atau
- yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.
- Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal. sehingga dengan begini praktenknya bersih dari tokenisme yang dilakukan pejabat negara dan investor.
Dengan seperti ini praktek tokenisme tidak akan terjadi dan citizen control benar-benar terealisasi dalam usaha pertambangan.