Kewenangan Diskresi Pejabat Publik
Diskresi dalam praktik administrasi pemerintahan bukanlah konsep yang asing. Ia hadir sebagai instrumen fleksibilitas dalam pengambilan keputusan, terutama ketika hukum tertulis tidak secara eksplisit memberikan jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi pejabat publik. Dalam konteks negara hukum, diskresi menjadi pisau bermata dua: di satu sisi memberi ruang inovasi dan tanggap krisis, namun di sisi lain menyimpan potensi pelanggaran terhadap prinsip legalitas dan akuntabilitas.
Secara terminologis, diskresi merujuk pada kewenangan untuk memilih atau mengambil tindakan berdasarkan penilaian sendiri dalam batas-batas kewenangan yang dimiliki. Dalam ranah administrasi negara, diskresi muncul ketika pejabat publik dihadapkan pada kekosongan hukum, ketidakjelasan norma, atau keadaan luar biasa yang menuntut keputusan cepat. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebut diskresi sebagai keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi stagnasi pemerintahan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan demi kepentingan umum.
Ruang lingkup diskresi meliputi berbagai keputusan administratif, mulai dari pemberian izin, pengangkatan, hingga penetapan kebijakan teknis. Namun demikian, ruang ini bukan tanpa batas. Diskresi dibatasi oleh prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan nilai-nilai konstitusional, termasuk prinsip tidak merugikan hak warga negara dan menjunjung keadilan.
Baca juga: Asas Hukum Tata Usaha Negara
Dasar Hukum dan Legitimasi Diskresi di Indonesia
Secara normatif, diskresi memperoleh legitimasi dari beberapa instrumen hukum. Pasal 24 Ayat (1) dan (2) UU Administrasi Pemerintahan secara eksplisit mengatur syarat diskresi: digunakan untuk kepentingan umum, tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan tujuan diskresi, dan berdasarkan alasan yang objektif. Di samping itu, diskresi perlu dijalankan berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), seperti asas kepastian hukum, proporsionalitas, dan akuntabilitas.
Legitimasi diskresi tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam kerangka sistem hukum yang lebih besar. Dalam sistem hukum Indonesia, asas legalitas menjadi fondasi, dan diskresi diposisikan sebagai pengecualian yang diatur ketat. Sebagaimana diungkapkan Philipus M. Hadjon, diskresi dalam hukum administrasi negara hanya dapat dibenarkan sejauh memenuhi prinsip kehati-hatian dan bertanggung jawab secara yuridis.
Analisis Hukum Tata Usaha Negara terhadap Penggunaan Diskresi
Dari perspektif hukum TUN, diskresi menjadi objek yang dapat diuji oleh Pengadilan Tata Usaha Negara sejauh menimbulkan akibat hukum bagi warga negara atau badan hukum perdata. Uji yuridis dilakukan terhadap aspek formil dan materiil tindakan diskresioner. Secara formil, pengadilan menilai apakah diskresi dilakukan oleh pejabat yang berwenang dan mengikuti prosedur. Secara materiil, pengujian menyasar substansi tindakan: apakah bertentangan dengan hukum yang berlaku dan apakah menimbulkan kerugian yang tidak semestinya.
Dalam praktiknya, tidak sedikit gugatan TUN diajukan atas dasar tindakan diskresi yang dianggap melampaui kewenangan atau melanggar hak warga negara. Salah satu contohnya adalah kasus pemecatan aparatur sipil negara (ASN) yang didasarkan pada pertimbangan moral atau etik oleh pejabat atasan, tanpa dukungan peraturan teknis yang jelas.
Risiko dan Potensi Penyalahgunaan Diskresi
Diskresi membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan jika tidak dikawal secara ketat. Ketika digunakan sebagai dalih untuk menghindari hukum atau melayani kepentingan tertentu, diskresi menjelma menjadi tindakan sewenang-wenang. Dalam sektor perizinan, misalnya, terdapat kasus-kasus pemberian izin usaha yang mengabaikan ketentuan zonasi atau analisis dampak lingkungan, dengan alasan diskresi demi investasi.
Risiko ini diperparah oleh lemahnya pengawasan internal birokrasi dan rendahnya transparansi. Di titik ini, diskresi tidak lagi menjadi alat penyelamat kebijakan, melainkan instrumen dominasi kekuasaan. Dalam hal ini, keberadaan mekanisme kontrol eksternal seperti Ombudsman dan lembaga peradilan administrasi menjadi penting sebagai penjaga keseimbangan.
Rekonstruksi Model Pengawasan dan Batasan Diskresi
Membingkai ulang diskresi dalam koridor hukum administrasi negara memerlukan pendekatan struktural dan kultural. Secara struktural, dibutuhkan penguatan lembaga pengawasan yang berfungsi sebagai penyeimbang. PTUN sebagai pengadilan khusus memegang peran sentral dalam menilai batas kewenangan diskresi secara objektif dan imparsial.
Di sisi lain, pengawasan internal juga dapat ditingkatkan melalui instrumen evaluasi berkala dan pelaporan publik atas penggunaan diskresi. Pendidikan hukum administrasi dan etika birokrasi bagi aparatur negara menjadi bagian dari strategi kultural yang dapat memperkecil penyimpangan. Seperti dikemukakan Jimly Asshiddiqie, pemerintahan yang demokratis membutuhkan struktur kekuasaan yang diawasi serta budaya hukum yang hidup dalam praktik pemerintahan.
Baca juga: Konsultan Hukum
Diskresi tetap relevan dalam dinamika pemerintahan modern, terutama ketika norma hukum tidak memadai menjawab tantangan riil di lapangan. Namun, relevansi ini membutuhkan prasyarat yuridis yang kokoh dan mekanisme pengawasan yang dapat dipercaya. Hukum Tata Usaha Negara menyediakan instrumen untuk memastikan bahwa diskresi tidak berubah menjadi despotisme administratif. Menjaga keseimbangan antara kebebasan bertindak dan kepatuhan terhadap hukum adalah kunci untuk memastikan bahwa diskresi tetap berada dalam koridor yang legitim dan etis.
Referensi
Hadjon, Philipus M. (1993). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Asshiddiqie, Jimly. (2006). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
Tjandra, Huala Adolf. (2020). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Komarudin, M. (2021). “Diskresi dalam Perspektif Hukum Administrasi”. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10 No. 2.