Peran Sanksi Adat dalam Konflik Hak Ulayat
Konflik agraria antara masyarakat adat dan perusahaan perkebunan di Indonesia menjadi isu yang terus berulang, terkait dengan pengelolaan tanah milik bersama masyarakat hukum adat, yang dikenal sebagai hak ulayat. Di banyak daerah, tanah bagi masyarakat adat terdiri dari tanah hak milik individual dan hak milik bersama, yaitu hak ulayat yang diwariskan turun-temurun. Kasus yang terjadi antara Masyarakat Adat Dayak Simpang Dua dan PT. Mayawana Persada di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, menggambarkan bagaimana sengketa tanah ulayat dapat menimbulkan ketegangan serius antara masyarakat adat dan pihak perusahaan.
Baca juga: Sumber Hukum Adat
Pelanggaran terhadap Hak Ulayat
Hak ulayat adalah hak kolektif masyarakat adat atas tanah yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam konteks Masyarakat Adat Dayak Simpang Dua, tanah ulayat bukan hanya merupakan sumber kehidupan tetapi juga memiliki nilai spiritual dan budaya yang sangat mendalam. Tanah tersebut adalah bagian dari identitas dan warisan leluhur yang harus dilindungi dan dijaga. Konflik ini muncul ketika PT. Mayawana Persada melakukan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit di atas tanah ulayat tanpa melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan masyarakat adat atau meminta izin dari pemangku adat.
Tindakan perusahaan ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma adat dan hukum yang berlaku, serta merusak hubungan masyarakat dengan tanah mereka yang memiliki makna spiritual dan kultural. Pelanggaran ini dianggap oleh masyarakat sebagai tindakan penguncang bumi peruroh alam (perusakan alam), pemancal agong (pelecehan kepada pemimpin adat), dan pelanggar banua (pelanggaran wilayah adat).
Ketiganya mencerminkan seberapa besar pelanggaran yang dilakukan perusahaan, tidak hanya dari sisi lingkungan, tetapi juga dari sisi moral dan sosial. Masyarakat Adat Dayak Simpang Dua percaya bahwa ketika tanah ulayat mereka dirusak atau dimanfaatkan oleh pihak luar yang tidak berkepentingan dengan masyarakat adat, maka roh leluhur mereka akan marah, membawa dampak negatif pada keseimbangan alam dan kehidupan sosial mereka.
Tahapan Penyelesaian Konflik
Proses penyelesaian konflik dimulai dengan teguran lisan dari Ketua Adat Dayak Simpang Dua, yang disampaikan kepada perusahaan. Namun, teguran tersebut tidak digubris oleh PT. Mayawana Persada. Bahkan, pemerintah daerah baru merespons setelah konflik berlangsung lebih dari dua tahun. Karena jalur formal tampak tidak memberikan hasil yang memadai, masyarakat adat memilih untuk menempuh jalur musyawarah adat yang dikenal dengan nama adat Jorant Ator.
Musyawarah adat ini dilakukan pada 15 September 2022, dan menghasilkan kesepakatan berupa sanksi adat terhadap PT. Mayawana Persada. Sanksi tersebut terdiri dari denda uang sebesar 230 real (sekitar Rp46 juta), satu buah gong, dan 20 buah tajau (tempayan khas adat). Sanksi adat ini tidak hanya bernilai material, tetapi juga sarat makna simbolik. Gong melambangkan keagungan Tuhan (Jubata) dan digunakan dalam berbagai upacara adat, sementara tajau dipercaya sebagai tempat bagi roh leluhur yang terganggu akibat pelanggaran adat.
Selain itu, perusahaan diwajibkan untuk menghentikan aktivitasnya di atas tanah ulayat, membayar ganti rugi atas tanah yang telah diserahkan, dan melibatkan pihak adat serta pemerintah dalam setiap perjanjian yang akan datang. Langkah-langkah ini bertujuan untuk memulihkan keharmonisan yang terganggu dan memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat dihormati.
Baca juga: Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan Indonesia
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Konflik
Beberapa faktor yang sangat memengaruhi keberhasilan penyelesaian konflik ini adalah:
Keteguhan Masyarakat Adat
Masyarakat Dayak Simpang Dua menunjukkan keteguhan dan keberanian dalam mempertahankan hak atas tanah ulayat mereka, meskipun menghadapi intimidasi dan ancaman pelaporan kepada pihak kepolisian. Komitmen kuat ini menjadi faktor penting dalam memastikan bahwa hak-hak mereka dihargai.
Keterlibatan Pemerintah Daerah
Meskipun terlambat, keterlibatan pemerintah daerah dalam musyawarah adat memberikan legitimasi tambahan terhadap hasil yang dicapai. Dukungan pemerintah memperkuat posisi masyarakat adat dan memberikan tekanan lebih kepada perusahaan untuk menghormati keputusan adat.
Efektivitas Hukum Adat
Hukum adat yang masih hidup dan dihormati masyarakat berperan penting dalam proses penyelesaian konflik. Masyarakat adat memiliki kepercayaan kuat bahwa hukum adat mereka dapat memberikan keadilan yang lebih tepat dan relevan dibandingkan dengan sistem hukum formal yang cenderung lebih birokratis.
Kegagalan Jalur Formal
Upaya penyelesaian melalui jalur hukum negara dianggap tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi masyarakat adat. Keberhasilan jalur adat menunjukkan bahwa sistem hukum negara belum sepenuhnya mampu melindungi hak-hak masyarakat adat, sehingga mereka lebih memilih untuk menyelesaikan konflik menggunakan hukum adat sebagai bentuk keadilan restoratif.
Kesepakatan Penggunaan Hukum Adat
Kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan konflik melalui peradilan adat, yang memberi dasar hukum yang kuat dalam konteks lokal. Kesepakatan ini memperlihatkan bahwa hukum adat masih relevan dan berfungsi untuk menyelesaikan sengketa tanah di tingkat lokal.
Kesimpulan
Penyelesaian konflik tanah ulayat melalui sanksi adat, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Simpang Dua, menjadi contoh bagaimana hukum adat tetap relevan dan efektif dalam menyelesaikan konflik, meskipun hukum negara belum sepenuhnya memberikan perlindungan yang memadai. Keberhasilan penyelesaian ini didorong oleh kesadaran kolektif masyarakat adat, keterlibatan pemerintah daerah, dan penghormatan terhadap nilai-nilai lokal yang kuat.
Sanksi adat tidak hanya berfungsi sebagai hukuman tetapi juga sebagai cara untuk memulihkan keharmonisan sosial dan spiritual yang terganggu akibat pelanggaran tersebut. Namun, untuk menghindari terulangnya kasus serupa, penting bagi pemerintah untuk meningkatkan peran serta dalam mengawasi dan menangani konflik agraria secara cepat dan efektif.
Pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap perusahaan yang beroperasi di atas tanah adat dan melibatkan masyarakat adat dalam setiap perjanjian yang melibatkan tanah mereka. Sinergi antara hukum adat dan hukum negara harus terus ditingkatkan agar perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat tidak hanya bersifat simbolik, tetapi memberikan keadilan yang substansial dan berkelanjutan.
Penulis
Kelly Nuke Labartis
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya