Setelah Indonesia merdeka, hukum adat mengalami perubahan status menjadi lebih netral, meskipun tetap dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan. Para ahli hukum Barat memiliki pemahaman yang keliru terhadap hukum adat, menganggapnya dapat dipahami melalui dokumen tertulis atau disistematisasi seperti hukum Barat. Akibat pemahaman dengan paradigma barat tersebut, maka hukum adat dipahami secara salah dengan segala akibat-akibat yang menyertai, yang akan secara nyata dalam perkembangan selanjutnya di masa kemerdekaan.
Perlembagaan Indonesia sebelum amandemen tidak secara eksplisit menyebutkan pengakuan atau penggunaan istilah undang-undang adat. Namun, apabila dikaji dengan teliti, terdapat rumusan yang mengandungi nilai dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang merangkumi falsafah hidup Pancasila, mencerminkan identiti bangsa yang hidup dalam nilai, pemikiran, dan undang-undang adat. Fasal 29 ayat (1) Negara berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, Fasal 33 ayat (1) Ekonomi diatur sebagai usaha bersama berasaskan prinsip kekeluargaan. Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam hukum adat.
Pada awal pembentukan negara, konstitusi seperti RIS dan UUDS 1950 telah memberikan landasan bagi pengakuan hukum adat dalam sistem peradilan nasional. Hal ini tercermin dari kewajiban hakim untuk mencantumkan hukum adat sebagai dasar putusan, serta adanya perintah kodifikasi hukum yang mencakup hukum adat. Namun, pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 kembali berlaku tanpa penegasan eksplisit mengenai hukum adat. Perubahan signifikan terjadi setelah amandemen UUD 1945, di mana Pasal 18D ayat 2 secara tegas mengakui dan menghormati keberadaan hukum adat dan hak-hak tradisional masyarakat adat. Pengakuan ini diperkuat dengan lahirnya UU No. 4 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang menggantikan undang-undang warisan Orde Baru dan memberikan ruang lebih luas bagi pemberdayaan masyarakat adat.
Pergeseran paradigma ini menandai babak baru dalam pengakuan dan perlindungan hukum adat di Indonesia. Dari yang semula terpinggirkan, hukum adat kini mendapatkan tempat yang lebih kuat dalam sistem hukum nasional. Hal ini sejalan dengan semangat reformasi yang mengedepankan penghargaan terhadap keberagaman budaya dan hak-hak masyarakat adat. Meskipun demikian, tantangan dalam implementasi pengakuan ini masih ada, terutama dalam harmonisasi antara hukum adat dan hukum nasional, serta perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam.
Baca juga: Tinjauan Hukum Adat dan Konflik Sosial: Kawin Lari (Silariang) di Sulawesi Barat
Setelah reformasi tepatnya Pada tanggal 4 Mei 1999 telah diundangkan UU No. 4 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Dengan berlakunya undang-undnag ini dinyatakan tidak berlaku lagi dua buah undang-undang yang menjadi sendi kebijakan Pemerintah Orde Baru yaitu: 1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan 2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa.
Semangat reformasi menghendaki perubahan undang-undang agar otonomi daerah lebih luas dan pemberdayaan masyarakat adat beserta lembaga adatnya, seperti Runggun, Kerapatan Adat Nagari, dan Dalihan Natolu, dapat terwujud. Secara konsep, peraturan baru ini menunjukkan kemajuan dibandingkan sebelumnya. Namun, realisasinya belum sepenuhnya sesuai dengan aspirasi Kongres Masyarakat Adat. Di sisi lain, konsep penguasaan negara atas sumber daya alam telah menjadi instrumen yang menghilangkan kedaulatan masyarakat adat.
Konsep penguasaan negara atas sumber daya alam ini, yang diimplementasikan melalui berbagai undang-undang, telah menggerus hak-hak masyarakat adat. Akibatnya, terjadi ketidaksesuaian antara harapan reformasi dan kenyataan di lapangan. Masyarakat adat belum mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak yang optimal, terutama terkait dengan pengelolaan sumber daya alam yang secara tradisional menjadi wilayah mereka.
Seperti yang terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Pokok Agararia, Undang-Undang No. 5 tahun 1967, Undang-Undang No. 11 tahun 1967, Pemegang Hak Menguasai Negara adalah pemerintah Pusat yang pada prakteknya telah mengeluarkan keputusan-keputusan yang membuka peluang bagi terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Kongres Masyarakat Adat Nusantara ini pada pokoknya menggugat posisi Masyarakat Adat terhadap negara. Posisi Masyarakat Adat terhadap negara harus ditata ulang. Pengingkaran terhadap kedaulatan masyarakat adat akan dengan sendirinya melemahkan kekuasaan negara.
Keputusan Kongres Masyarakat Adat No. 02/KMAN/1999 tanggal 21 Maret 1999 tentang Deklarasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berisi: Bahwa dideklarasikan tanggal 17 Maret sebagai hari kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara:
1) Adat adalah sesuatu yang bersifat luhur dan menjadi landasan kehidupan Masyarakat Adat yang utama;
2) Adat di Nusantara ini sangat majemuk, karena itu tidak ada tempat bagi kebijakan negara yang berlaku seragam sifatnya;
3) Jauh sebelum negara berdiri, Masyarakat Adat di Nusantara telah terlebih dahulu mampu mengembangkan suatu sistem kehidupan sebagaimana yang diinginkan dan dipahami sendiri. Oleh sebab itu negara harus menghormati kedaulatan Masyarakat Adat ini;
4) Masyarakat Adat pada dasarnya terdiri dari mahluk manusia yang lain oleh sebab itu, warga Masyarakat Adat juga berhak atas kehidupan yang layak dan pantas menurut nilai-nilai sosial yang berlaku. Untuk itu seluruh tindakan negara yang keluar dari kepatutan kemanusiaan universal dan tidak sesuai dengan rasa keadilan yang dipahami oleh Masyarakat Adat harus segera diakhiri;
5) Atas dasar rasa kebersamaan senasib sepenanggungan, Masyarakat Adat Nusantara wajib untuk saling bahu-membahu demi terwujudnya kehidupan Masyarakat Adat yang layak dan berdaulat.
Pada masa kini, hukum adat telah mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah Indonesia dan diterima oleh masyarakat luas sebagai bagian dari sistem hukum yang sah. Keberadaannya diakui berdampingan dengan hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hukum adat, yang berasal dari tradisi dan praktik masyarakat Indonesia, sempat mengalami perubahan dan bahkan penggantian oleh hukum kolonial Belanda pada masa penjajahan. Namun, setelah kemerdekaan, hukum adat kembali diakui dan digunakan dalam penyelesaian berbagai masalah, khususnya yang berkaitan dengan tanah. Namun, masih terdapat berbagai tantangan yang perlu diatasi untuk memastikan implementasi pengakuan dan perlindungan hukum adat yang efektif.
Baca juga: Pengertian Hukum Adat
Referensi
Bushar Muhammad. Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta : PT Pradnya Paramita, 1977.
Kusumadi Pudjosewojo. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Soerjono Soekanto. Pokok Pokok Hukum Adat. Bandung: Alumni , 1981.
Soerojo Wignjodipoero. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: PT Gunung Agung, 1995.