Pengertian Hukum Adat
Van Vollenhoven melihat bahwa hukum adat adalah peraturan yang berlaku bagi bumi putera yang idenya mengandung sanksi dan tidak dikodifikasi.
Sedangkan dalam seminar hukum adat pada januari 1975 di Yogyakarta hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang dibeberapa hal mengandung unsur agama.
Ubi Societas Ibi Ius yang berarti ada masyarakat disitu maka ada hukum, adagium dari Cicero dapat menjelaskan proses terbentuknya hukum termaksud diantaranya adalah hukum adat.
Menurut Soepomo dalam bukunya berjudul hukum adat, hukum adat adalah sesuatu yang hidup karena dia mewakilkan perasaan hukum dari rakyat yang nyata sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus berkembang seperti halnya hidup itu sendiri.
Van Vollenhoven berpandangan bahwa hukum adat selalu berkembang dan maju terus dan keputusan-keputusan adat menimbulkan hukum adat.
Soerojo Wignjodipoero melihat bahwa hukum adat telah terbentuk bila peraturan dalam masyarakat dianggap pantas diterapkan dalam kehidupan masyarakat dan mengikat bagi masyarakat dan apabila peraturan tersebut dilanggar maka fungsionaris hukum dapat mempertahankan peraturan yang dilanggar dengan melakukan penegakan hukum.
Ter Haar berpandangan bahwa segala tingkah laku adat diakui sebagai peraturan dalam hukum adat jika pernah dipertahankan secara konkret oleh suatu penetapan dari petugas hukum.
Baca juga: Hukum Pidana: Pengertian, Jenis, Tujuan, Fungsi, dan Teori Pemidanaan
Hukum Adat dan Agama
Teori Van Den Berg dan Salmon Keyzer ”Reception in Complexu” yaitu teori penerimaan keseluruhan dimana menurut teori ini adat suatu golongan masyarakat adalah konsepsi keseluruhan dari agama yang dianut dari masyarakat itu.
Ter Haar melihat bahwa ada hukum adat yang tidak dipengaruhi oleh hukum agama seperti hukum waris Minang, oleh sebab itu pengaruh agama dan hukum agama terhadap hukum adat pada masing-masing masyarakat adat tidak sama satu sama lain.
Van Vollenhoven berpandangan bahwa hukum adat meresapi hukum agama dalam bidang-bidang tertentu seperti hukum keluarga, hukum waris, hukum perkawinan, dan hukum wakaf.
Terlepas dari pandangan para ahli dapat dikatakan bahwa agama dan tradisi merupakan 2 unsur yang mempengaruhi adat istiadat.
Hukum Adat di Indonesia
Secara filosofis berlakunya hukum adat identik dengan Pancasila, dimana Pancasila mengambil unsur-unsur seperti musyawarah mufakat yang mana dalam hukum adat unsur-unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dalam hukum adat.
Hukum adat memenuhi rasa keadilan di masyarakat dimana hukum adat itu berlaku dan hukum adat itu juga mendatangkan ketertiban di masyarakat dimana hukum adat itu berlaku.
Secara sosiologis hukum adat berlaku karena sebagai hukum yang hidup dan mencerminkan cita-cita hukum Indonesia, hukum adat tetap dipatuhi oleh masyarakat yang mengikuti hukum adat tersebut.
Sejarah Hukum Adat di Indonesia
Berdasarkan landasan yuridis hukum adat di Indonesia maka dapat dibagi menjadi 2 era yaitu ketika zaman kolonial dan zaman kemerdekaan.
Pada zaman kolonial Belanda hukum adat diakui dengan keberadaan pasal-pasal seperti pasal 130 Indische Saatregering (IS), pasal 131 IS ayat 2 sub B yang menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi golongan bumi putra dan timur asing namun dengan pembatasan bahwa jika kepentingan sosial dan/atau kepentingan umum mendesak maka dapat ditentukan hukum baru bagi mereka, selain itu terdapat juga pasal 75 RR dimana pada orang bumi putra berlaku hukum perdata eropa jika Ia tunduk secara sukarela pada hukum perdata eropa.
Baca juga: Hukum Perdata Menurut Para Ahli
Dasar hukum peradilan adat pada masa Belanda sama dengan peradilan gubernemen, dimana peradilan gubernemen mengadili atas nama raja/ratu Belanda, sedangkan peradilan adat tidak, Saatblad 1932 Nomor 80 mengatur tentang susunan, kedudukan, kekuasaan mengadili, hukum materil, dan hukum acara badan peradilan adat.
Yang menjadi ciri khas pada masa penjajahan Belanda adalah banyaknya lembaga peradilan yang bergerak pada bidang adat yang masing-masing mempunyai aspek tersendir.
Seperti misalnya peradilan adat yang telah dijelaskan sebelumnya, peradilan desa yang mengadili berdasarkan hukum adat setempat dan tidak berwenang untuk menjatuhkan putusan berjenis hukuman, peradilan swapraja yang diselenggarakan atas nama swapraja seperti yang terdapat pada kadipaten paku alaman dan pada swapraja Pontianak.
Pada masa penjajahan Jepang pemerintahan Hindia Belanda berada di bawah militer Jepang, bagi Jepang tujuan mereka adalah untuk menjaga kepentingan Jepang selama perang dunia berlangsung dan setelah Hindia Belanda menyerah pada 8 maret 1942, pada 1 April 1942 dikeluarkan undang-undang nomor 1 tahun 1942 atau dikenal dengan Osamu Sirei.
Pada Osamu Sirei pasal 3 menyatakan bahwa peraturan pada masa kolonial Belanda masih berlaku jika tidak bertentangan dengan peraturan dari pemerintah Jepang, dilakukan beberapa perubahan pada organisasi peradilan yaitu penghapusan perbedaan antara pengadilan gubernemen dan bumi putera, hakim pergolongan dihapuskan, penghapusan pengadilan residentiegerecht, kewenangan raad van justitie dan Hoggerechtshof dihapus dan dilakukan perubahan nama atas badan pengadilan, untuk area diluar Jawa dan Madura kondisi ini berlaku pada dikeluarkannya Timo Seirei Otsu Nomor 40 Tahun 1943 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1944.
Setelah Indonesia merdeka dan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Dasar 1945 utamanya pasal 18 B ayat 2, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam Undang-Undang, dan pasal 28 I ayat 3 dimana identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman,
Terdapat beberapa Undang-Undang penting yang bersinggungan dengan hukum adat seperti Undang-Undang Darurat nomor 1 tahun 1951 dimana sesuai pasal 1 ayat 2, Undang-Undang ini menyatakan segala peradilan swapraja dihapus dan segala pengadilan adat kecuali pengadilan Islam dihapus.
Pada Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 hak ulayat masyarakat adat diakui sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan yang lebih tinggi,.
Selain itu terdapat juga Undang-Undang lain yang menguatkan eksistensi hukum adat seperti Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dalam pasal 5 ayat 1 mewajibkan hakim dan hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti, dan memahami hukum dan rasa keadilan yang berlaku di masyarakat dan pasal 50 ayat 1 Undang-Undang ini mewajibkan hakim memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan tertentu atau sumber hukum tidak tertulis untuk dijadikan sebagai dasar mengadili.
Baca juga: Mantan Koruptor Sebagai Caleg dalam Pemilu: Hak Siapa yang Dirampas?
Asas gotong royong, asas tolong menolong, asas musyawarah, asas perwakilan, dan permusyawaratan merupakan asas universal dalam hukum adat.
Sifat dari hukum adat adalah status yang selalu mempertahankan nilai leluhur, dinamis karena hukum adat cepat mengikuti perkembangan zaman, dan elastis dimana hukum adat selalu menyesuaikan dengan keadaan-keadaan unik.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa hukum adat akan selalu ada dalam bentuk-bentuk tertentu sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat disetiap daerah di Indonesia.
Sumber Referensi
Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dr. Bambang Daru Nugroho, S.H., M.H., Hukum Adat dan Kearifan Lokal, Bandung: Unpad Press, 2016.
Dr. Bambang Daru Nugroho, S.H., M.H., Dinamika Hukum Adat, Bandung: Yayasan Pendidikan Nasional Bandung, 2016.
Dewi Wulansari, Hukum Adat di Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama, 2010.
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Penerbit Toko Gunung Agung, 1983.
Otje Salma Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung: Alumni Bandung, 2002.
- Iman Sudiyat, Asas-Asas Hkum Adat Bekal Pengantar I, Yogyakarta: Liberty, 1981.
Dr. Bahder Johan Nasution, S.H.,M.Hum, Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Universitas Jambi: Jurnal Inovatif, Volume VII Nomor III, September 2014.