Perdebatan mengenai peran hakim dalam penemuan hukum tidak hanya berkutat pada dikotomi antara la bouche de la loi dan law maker, tetapi juga menyentuh isu legitimasi, kepastian hukum, dan keadilan. Dalam sistem Eropa Kontinental, idealisasi hakim sebagai penerap undang-undang secara ketat dihadapkan pada realitas bahwa interpretasi hukum tidak pernah sepenuhnya bebas nilai. Bahkan dalam penerapan metode interpretasi yang “objektif” seperti interpretasi gramatikal, hakim tetap dihadapkan pada pilihan dan diskresi yang dapat mempengaruhi hasil akhir.
Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana hakim dapat menjaga legitimasi putusan mereka ketika melakukan penemuan hukum, terutama dalam kasus-kasus yang kompleks atau kontroversial. Teori discretion (diskresi) oleh H.L.A. Hart mengakui bahwa undang-undang seringkali memiliki open texture (tekstur terbuka) yang memungkinkan hakim untuk mengisi kekosongan hukum atau menyelesaikan ambiguitas. Namun, Hart menekankan bahwa diskresi hakim harus dibatasi oleh prinsip-prinsip hukum dan moralitas yang relevan.
Di sisi lain, dalam sistem Anglo-Saxon, peran hakim sebagai law maker diakui secara eksplisit melalui doktrin preseden. Namun, kebebasan hakim dalam menciptakan hukum juga diimbangi oleh prinsip-prinsip seperti stare decisis dan ratio decidendi yang bertujuan untuk menjaga konsistensi dan prediktabilitas putusan. Meskipun demikian, interpretasi dan penerapan preseden tetap melibatkan elemen subjektivitas dan diskresi hakim.
Dalam sistem Eropa Kontinental, hakim memulai proses penemuan hukum dengan mengidentifikasi undang-undang yang relevan dengan kasus yang dihadapi. Setelah itu, hakim melakukan interpretasi terhadap undang-undang tersebut. Beberapa metode interpretasi yang umum digunakan meliputi:
- Interpretasi Gramatikal: Menafsirkan undang-undang berdasarkan makna harfiah dari kata-kata yang digunakan.
- Interpretasi Sistematis: Menafsirkan undang-undang dengan mempertimbangkan posisinya dalam keseluruhan sistem hukum, serta hubungannya dengan undang-undang lain yang relevan.
- Interpretasi Historis: Menafsirkan undang-undang dengan melihat latar belakang sejarah pembentukannya, termasuk maksud dan tujuan pembuat undang-undang.
- Interpretasi Teleologis: Menafsirkan undang-undang dengan mempertimbangkan tujuan sosial yang ingin dicapai oleh undang-undang
Setelah melakukan interpretasi, hakim menerapkan undang-undang yang telah ditafsirkan tersebut pada fakta-fakta kasus. Hakim harus memastikan bahwa fakta-fakta kasus sesuai dengan unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan undang-undang. Jika terdapat kekosongan hukum (rechtsvacuum), hakim dapat menggunakan analogi (analogie) atau argumentasi a contrario untuk mengisi kekosongan tersebut.
Di Indonesia, sebagai negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, proses penemuan hukum dilakukan oleh hakim dengan mengacu pada undang-undang, yurisprudensi, doktrin hukum, dan hukum adat. Dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk mengadili perkara yang diajukan dengan dalih hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Pasal ini menegaskan kewajiban hakim untuk melakukan penemuan hukum jika terdapat kekosongan hukum.
Adapun Yurisprudensi Mahkamah Agung memiliki peran penting dalam memberikan pedoman bagi hakim di pengadilan yang lebih rendah. Putusan- putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dijadikan sebagai acuan dalam menyelesaikan kasus-kasus yang serupa. Doktrin Hukum yang dikembangkan oleh para ahli hukum juga memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses penemuan hukum di Indonesia. Hakim seringkali merujuk pada doktrin hukum. untuk membantu mereka dalam menafsirkan undang-undang dan menyelesaikan masalah-masalah hukum yang kompleks.
Dalam sistem Anglo-Saxon, hakim memulai proses penemuan hukum dengan menganalisis preseden yang relevan dengan kasus yang dihadapi. Preseden adalah putusan-putusan pengadilan sebelumnya yang memiliki kesamaan fakta dan isu hukum dengan kasus yang sedang diperiksa. Hakim harus mengidentifikasi ratio decidendi (alasan yang mendasari putusan) dari preseden tersebut, yang merupakan prinsip hukum yang mengikat.
Jika terdapat preseden yang mengikat, hakim wajib untuk mengikuti preseden tersebut dalam menyelesaikan kasus yang dihadapi. Namun, jika tidak terdapat preseden yang mengikat, hakim memiliki kebebasan untuk mengembangkan hukum baru dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan, kebijakan publik, dan perkembangan sosial. Hakim juga dapat membedakan kasus yang dihadapi dari preseden yang ada (distinguishing) jika terdapat perbedaan signifikan dalam fakta-fakta atau isu hukum.
Dalam sistem Anglo-Saxon, hakim memiliki peran yang lebih aktif dalam menciptakan hukum. Mereka tidak hanya menerapkan hukum yang sudah ada, tetapi juga mengembangkan hukum baru melalui putusan-putusan mereka. Hal ini memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam menyelesaikan kasus-kasus yang kompleks dan unik. Proses penemuan hukum dalam sistem Eropa Kontinental dan Anglo-Saxon memiliki perbedaan dalam penekanan dan metode, tetapi keduanya bertujuan untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum. Sistem Eropa Kontinental menekankan pada penerapan undang-undang secara sistematis dan logis, sementara sistem Anglo-Saxon menekankan pada pengembangan hukum melalui preseden dan prinsip-prinsip keadilan.
Baca juga: Kualitas Putusan dan Profesionalitas Hakim dalam Memutus Perkara Wakaf di Indonesia
Singkatnya, proses penemuan hukum dalam sistem Eropa Kontinental dan Anglo-Saxon mencerminkan perbedaan mendasar dalam filsafat hukum dan struktur kelembagaan. Sistem Eropa Kontinental, yang mengandalkan undang-undang sebagai sumber hukum utama, menekankan kepastian hukum melalui interpretasi yang sistematis dan logis oleh hakim. Sementara itu, sistem Anglo-Saxon memberikan peran yang lebih besar kepada hakim dalam menciptakan hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang mengikat sebagai preseden. Kedua pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dengan sistem Eropa Kontinental unggul dalam kepastian hukum, tetapi kurang fleksibel, dan sistem Anglo-Saxon unggul dalam fleksibilitas, tetapi berpotensi menimbulkan ketidakpastian.
Dalam konteks Indonesia, yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, peran yurisprudensi, doktrin hukum, dan hukum adat menunjukkan adanya upaya untuk mengintegrasikan elemen-elemen dari kedua sistem. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan landasan hukum bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum jika terdapat kekosongan atau ketidakjelasan hukum, menegaskan pentingnya peran hakim dalam mewujudkan sistem hukum yang adil, responsif, dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
Referensi
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia Press, 2012.