PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Algoritma Mesin dan Keadilan dalam Putusan Hakim

Hakim

Dalam berkembangnya waktu, mesin mulai merebut pekerjaan manusia satu persatu. Di masa lalu saja bisa kita lihat bahwa pemeriksa ejaan serta mesin pencari dianggap oleh khalayak luas sebagai teknologi informasi yang cerdas. Dan di saat ini, adanya fitur pengenalan wajah juga diberlakukan guna memeriksa wisatawan di bandar udara. Tak ketinggalan, Google Maps memberikan informasi terkait tujuan kita, seperti daftar rumah makan yang tutup, hingga informasi harga hotel penginapan. Lebih jauh lagi, gadget di waktu sekarang bisa dengan mudah menjawab pertanyaan lisan maupun tertulis yang dijawab melalui jawaban lisan maupun tertulis dengan cepat. Dengan begitu, maka tidak heran jika muncul anggapan dan juga klaim bahwa mesin bisa menyingkirkan segala jenis peran manusia.

Baca juga: Menyusun Argumentasi Hukum di Era Artificial Intelligence (AI)

Tidak bisa dipungkiri, mesin memang memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, hal ini dilihat dari keefektifannya dan juga daya efisiennya yang tinggi. Atas berkembangnya teknologi tersebut, Indonesia sendiri semakin beranjak dan melihat potensi yang ditawarkan oleh algoritma mesin tersebut. Walaupun implementasi algoritma mesin di Indonesia belum secara penuh terealisasi, akan tetapi potensi yang ditawarkan cukup menjanjikan. Terlebih dengan maraknya penggunaan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang memberikan banyak manfaat dalam memudahkan pekerjaan. Kecerdasan buatan memang tak bisa ditangkis untuk dikatakan sebagai alat revolusioner di era sekarang ini, karena kecerdasan buatan bekerja dengan sistem algoritma serta teknik machine, deep learning, dan natural language processing dalam membuat program yang mampu mengambil keputusan, menerjemahkan bahasa, serta mengerjakan tugas tanpa bantuan dari manusia. Dari cara kerja artificial intelligence (AI) sendiri kita bisa tahu bahwa kecerdasan buatan akan lebih rapih dan tersistematis dalam mengambil keputusan. David Winter dalam tulisannya yang berjudul “AI Errors VS Human Errors” membeberkan bahwa margin kesalahan kecerdasan buatan lebih kecil daripada margin kesalahan manusia. Hal ini dikarenakan sifat manusia yang terkadang bias dalam menilai sesuatu menurut dirinya, sedangkan kecerdasan buatan hanya bias terhadap algoritma yang sudah konkrit.

Walaupun margin kesalahan kecerdasan buatan lebih kecil dibandingkan manusia dan mesin secara berkembangnya waktu mulai mengambil peran manusia di segala sektor. Dengan begitu, hal tersebut juga memunculkan pertanyaan di sektor hukum terkait profesi hakim yang dapat digantikan oleh kecerdasan buatan. Melihat cara kerja kecerdasan buatan yang didasari oleh algoritma, kecerdasan buatan sendiri tidak bias menurut dirinya sendiri dalam mengambil keputusan, sebab kecerdasan buatan bekerja dengan sistem algoritma. Sedangkan manusia sering kali bias dalam mengambil keputusan, hal ini karena manusia tidak jarang dipengaruhi oleh psikologisnya dan lingkungannya. Dalam hal ini, kecerdasan buatan akan bekerja lebih rapih dan tersistematis. Potensi perkembangan teknologi sendiri sebenarnya telah diimplementasikan satu persatu di dalam sektor hukum Indonesia. Misalnya, Mahkamah Agung dan empat lingkungan peradilan di seluruh Indonesia sendiri telah menggunakan teknologi. Terlebih, di Mahkamah Agung sudah mempunyai Smart Majelis yang merupakan aplikasi robotika berbasis artificial intelligence (AI) yang berfungsi dalam memilih majelis hakim secara otomatis, dengan memanfaatkan pelbagai faktor seperti pengalaman, kompetensi, beban kerja hakim, serta mempertimbangkan jenis perkara yang nantinya diadili agar para hakim yang ditunjuk mempunyai kompetensi yang sesuai dengan perkara yang ditangani. Dari implementasi tersebut menunjukkan bahwa artificial intelligence (AI) telah memasuki ranah administrasi di sektor hukum. Setelah memasuki ranah administrasi di sektor hukum, maka juga tak heran ketika mencuat persoalan dalam memasuki ranah putusan hakim. Pertanyaan yang kian muncul ialah terkait peranan hakim yang bisa digantikan oleh kecerdasan buatan.

Gustav Radbruch sendiri telah merumuskan tiga nilai dasar yang harus dicapai dalam implementasi hukum, yakni: nilai keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan kepastian hukum (rechtssicherheit). Konsepsi tiga nilai dasar yang digagas oleh Gustav Radbruch sendiri telah diakomodir di dalam sistem hukum Indonesia. Ahmad Rifai dalam karyanya yang berjudul “Penemuan Hakim oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif” memaparkan bahwa Mahkamah Agung RI sendiri sudah menentukan bahwa putusan hakim harus mempertimbangkan pelbagai aspek yang bersifat filosofis, sosiologis, dan yuridis. Ketika tiga sifat tersebut dilekatkan, maka keadilan yang hendak dicapai dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim meliputi keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan masyarakat (social justice). Keadilan moral dan keadilan masyarakat sendiri dalam hal ini sebenarnya sudah tersirat di dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Baca juga: Hadirnya Teknologi AI: Tantangan dan Perhatian Bagi Perusahaan

Adanya ketiga pertimbangan hakim dalam menentukan putusan (filosofis, sosiologis, dan yuridis). Maka, sukar ketika menyatakan bahwa kecerdasan buatan bisa menggantikan peranan hakim dalam pengadilan. Hal ini disebabkan karena cara kerja kecerdasan buatan yang dilandasi dengan algoritma membuat artificial intelligence (AI) tak bisa mempertimbangkan dalam membuat keputusan. Berbeda dengan hakim yang sebagai manusia, ia memiliki kemampuan mempertimbangkan. Ketika kecerdasan buatan tak memiliki kemampuan mempertimbangkan, maka artificial intelligence (AI) hanya bisa menyentuh ranah yuridis saja, dan tak bisa menyentuh ranah filosofis dan sosiologis. Dengan kata lain, artificial intelligence (AI) hanya akan bisa mampu mengerjakan tugas kepastian hukum, namun tak mampu mengerjakan keadilan dan kemanfaatan dalam hukum. Ketika mencoba memaksakan kecerdasan buatan untuk mengambil peran hakim dalam pengadilan, maka bias algoritma akan menguasai penuh peradilan. Dan ketika bias algoritma masuk di peradilan, maka hal ini akan dengan mudah memunculkan ketidakadilan dalam mengambil keputusan, seperti diskriminasi rasial atau gender. Diskriminasi tersebut lahir karena kecerdasan buatan tak bisa menyentuh sisi filosofis dan sosiologis dalam pengambilan keputusannya.

Walaupun tak bisa menggantikan peranan hakim di pengadilan karena dapat menimbulkan diskriminasi. Namun ketika digali dengan teliti, kecerdasan buatan juga sebenarnya memiliki potensi dalam membantu mengurangi kesenjangan rasial di sistem peradilan. Karena manusia sering kali ceroboh dalam mengambil keputusan, di sini kecerdasan buatan yang memiliki lebih rendah margin kesalahan daripada manusia sendiri dapat membantu seorang hakim dalam mengkroscek faktor yuridis yang sudah hakim rancangkan. Dengan bantuan algoritma mesin, maka bisa dipastikan artificial intelligence (AI) bisa menjawab pertanyaan hakim di faktor yuridis. Dengan demikian, hakim yang sebagai manusia juga bisa mengurangi margin kesalahannya dalam mengambil keputusan. Ketika kecerdasan buatan ini bisa diimplementasikan dengan baik untuk membantu hakim dalam mengambil keputusan, maka di sini algoritma menunjukkan potensinya dalam mengurangi kesenjangan rasial dalam sistem peradilan.

Dengan demikian, peranan hakim dalam peradilan memang tak bisa digantikan oleh kecerdasan buatan. Namun, kecerdasan buatan bisa membantu hakim dalam mengkroscek faktor yuridis. Dari sini kita juga bisa tahu bahwa walaupun kecerdasan buatan juga memiliki dampak buruknya, namun kecerdasan buatan juga memiliki potensi dan manfaat yang besar. Dari sini telah terang bahwa sudah menjadi tugas kita semua untuk bisa survive di era teknologi dengan cara menggali potensi dan manfaat yang ada di dalam kecerdasan buatan. Ketika potensi dan manfaatnya sudah tergali dengan teliti dan tepat, maka kolaborasi antara dunia hukum dan dunia teknologi merupakan suatu keniscayaan. Sebab hal itu akan membawa perubahan yang positif di dalam dunia hukum.

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *