PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Menyusun Argumentasi Hukum di Era Artificial Intelligence (AI)

Argumentasi Hukum Adalah

Hukum berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Soerjono Soekanto[1] menyatakan bahwa hukum lahir, berkembang dan bahkan musnah senantiasa berinteraksi dengan lingkungan sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.

Hukum senantiasa beriringan dengan perkembangan masyarakat, tak terkecuali apabila di tengah masyarakat terdapat perkembangan teknologi. Saat ini perkembangan teknologi yang pesat sedikit banyak merubah hukum dalam menciptakan ketertiban.

Salah satu kemajuan terbesar dalam dunia teknologi adalah perkembangan Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence atau AI). AI telah mengubah cara kita bekerja, berkomunikasi, berinteraksi dengan lingkungan, dan bahkan mempengaruhi tatanan sosial, hukum dan ekonomi.

Baca juga: Regulasi Hukum Terhadap Teknologi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) di Indonesia

Saat ini, AI telah digunakan untuk mendukung proses peradilan di beberapa negara. Di Amerika Serikat, AI dalam sebuah sistem yang bernama “Correctional Offender Management Profiling for Alternative Sanctions” atau COMPAS membantu memberikan pertimbangan hukum kepada hakim dalam memutus sebuah perkara pidana [2].

Bahkan di Australia pada tahun 2021, perkembangan AI lebih jauh lagi hingga adanya pengakuan sebagai inventor atau subjek hukum. Sementara itu, di Eropa untuk saat ini kecerdasan buatan dianggap belum memiliki kepribadian hukum, sebab kecerdasan buatan tidak memiliki litigasi untuk melakukan ganti rugi namun tanggung jawab harus dilaksanakan oleh orang yang berkaitan atau menjalankan langsung kecerdasan buatan tersebut, sehingga tidak dapat diakui sebagai suatu entitas[3].

Perkembangan AI dan dampaknya yang signifikan ini memantik berbagai diskusi hingga muncul sebuah pertanyaan yang penting untuk dijawab bahwa apakah Artificial Intelligence dalam tingkat tertentu dapat dikatakan sebagai subjek hukum? seberapa luas dan akuratnya AI dalam menciptakan keadilan di ruang persidangan? hingga apakah AI memiliki tanggung jawab pidana?.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya bukanlah hal yang baru, sebab, di Eropa sendiri pada tahun 2012 melalui proyek yang dinamakan RoboLaw menghasilkan laporan akhir yang memuat pedoman pengaturan robotika. Laporan tersebut berisi pentingnya membuat kerangka hukum yang kuat untuk perkembangan robot di Eropa terutama dalam hal etika penerapan[3].

Kedudukan Hukum Artificial Intelligence di Indonesia

Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence atau AI) telah mengubah lanskap teknologi dan bisnis secara global. Di Indonesia, sebagai negara dengan populasi besar dan ekonomi yang berkembang pesat, penerapan AI telah menjadi sorotan utama. Meskipun perkembangan AI telah memberikan manfaat yang signifikan, muncul pula pertanyaan tentang kedudukan hukum AI di Indonesia.

Di Indonesia diskusi tentang  AI dan pengaruhnya terhadap hukum belum banyak berkembang bahkan Indonesia sendiri belum memiliki aturan yang jelas yang mengatur tentang AI. Regulasi yang berkaitan dan dekat tentang teknologi kecerdasan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian disebut “UU ITE”.

Dalam Pasal 1 Nomor 5 UU ITE menerangkan bahwa Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa AI adalah sistem elektronik, sebab teknologi tersebut cara kerjanya yakni mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menampilkan, hingga mengirimkan suatu data informasi elektronik.

Selain itu, AI juga dapat digolongkan sebagai agen elektronik yang sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Angka 8 UU ITE bahwa Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu informasi elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.

Agen elektronik merujuk pada perusahaan atau entitas yang beroperasi sebagai perantara atau perwakilan dalam proses transaksi elektronik. Agen elektronik ini bertindak sebagai perantara yang memfasilitasi transaksi elektronik antara pihak-pihak yang terlibat[2].

Sehingga konsekuensi legal penetapan AI sebagai agen elektronik di Indonesia adalah bahwa seluruh kewajiban hukum serta tanggung jawabnya melekat pada penyedia perangkat AI itu sendiri.

Walaupun untuk saat ini, AI belum diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kecocokan serta kesamaan arti AI sebagai agen elektronik dapat ditemukan dalam Pasal 1 Angka 8 UU ITE.

Meskipun ada beberapa regulasi yang relevan, masih ada tantangan hukum yang perlu diatasi dalam mengatur AI di Indonesia. Diantaranya adalah ketidakjelasan hukum dimana ketiadaan undang-undang AI yang spesifik dapat menciptakan ketidakjelasan hukum, terutama dalam hal tanggung jawab hukum ketika terjadi kerugian akibat AI.

Selain itu, Kecerdasan Buatan menghadirkan tantangan baru yang mungkin memerlukan perubahan dalam hukum yang ada untuk mengakomodasi isu-isu seperti etika penggunaan AI, kebijakan privasi, dan keamanan siber.

Sementara itu, AI telah berkembang begitu cepatnya sehingga penting bagi pemerintah untuk memperhatikan secara khusus regulasi tentang AI di Indonesia.

Menurut Mikhail Batin dan Alexey Turchin[4], kemampuan kecerdasan buatan dimasa depan dapat setara bahkan mengungguli kecerdasan manusia jika telah masuk dalam kategori level Artificial General Intelligence, mengacu pada sistem kecerdasan buatan masa depan yang menunjukkan perilaku cerdas dan canggih layaknya manusia di berbagai tugas kognitif. Berdasarkan hal tersebut tentu jika tidak dibarengi dengan aturan yang tegas dan jelas maka akan tercipta kekacauan di tengah masyarakat.

Baca juga: Asas Retroaktif dalam Penyusunan Argumentasi Hukum

Argumentasi Hukum dan Artificial Intelligence

Dalam era yang didominasi oleh perkembangan teknologi, kecerdasan buatan (AI) telah menjadi salah satu inovasi paling mendalam yang telah mengubah hampir setiap aspek kehidupan kita. Tak hanya pada bidang teknologi informasi, tetapi juga berdampak signifikan pada sistem hukum. Perkembangan Artificial Intelligence (AI) adalah fenomena yang menghadirkan berbagai tantangan hukum yang perlu diatasi.

Perkembangan AI telah menghadirkan sejumlah perubahan besar dalam lanskap dunia hukum baik praktek maupun konseptual. Salah satu dampak utamanya adalah kemampuan AI dalam menganalisis dan mengelola data. Dalam bidang hukum, hal ini berarti kemampuan untuk mengidentifikasi preseden hukum, memprediksi hasil kasus, dan memproses dokumen hukum dengan lebih efisien.

  • Tanggung Jawab AI

Hingga saat perkembangan AI saat ini, Indonesia belum menyatakan AI dapat berlaku sebagai entitas pemegang hak dan kewajiban atau subjek hukum. Namun, AI lebih dipandang sebagai agen elektronik dengan mengacu Pasal 1 Ayat 8 UU ITE. Artinya bahwa segala tanggung jawab yang menimpa AI adalah tanggung jawab penggunanya.

Sehingga jika dilihat dari Pasal a quo, maka yang bertanggung jawab jika AI membuat kesalahan atau merugikan seseorang adalah penggunanya sekaligus apabila terjadi kesalahan pemrosesan AI jika digunakan untuk menegakkan keadilan.

Sebagai contoh penggunaan teknologi  AI untuk penerapan e-tilang yang saat ini marak digencarkan oleh pemerintah Indonesia. Dengan menggunakan teknologi Closed-Circuit Television (CCTV) dan juga dibantu dengan proses sistem termutakhir, penegak hukum dapat dengan mudah menemukan pelanggar lalu lintas yang tidak patuh dengan rambu-rambu sekaligus dengan bukti-buktinya.

Hal tersebut tentu menjadi problematik ketika pengendara itu mengalami kejadian diluar dari sesuatu yang wajar misalnya ada ambulance yang hendak melintas sehingga perlu menerobos lampu merah sehingga pengendara yang ada di depannya harus ikut maju dan sedikit melewati garis batas zebra cross.

Hal semacam itu tentu seperti teknologi CCTV yang sekedar menangkap layar itu tidak mampu memahami dan hanya mampu menegakkan peraturan hukum formal semata. Padahal hukum harusnya dibuat tidak sekedar menegakkan peraturan namun keadilan[5].

Sehingga dalam kasus ini tentu petugas pengguna CCTV tersebut memiliki kewajiban etik guna melakukan pemrosesan kasus dengan menggunakan hati nuraninya untuk menegakkan keadilan, alih-alih sekedar menegakkan peraturan semata.

  • Privasi dan Perlindungan Data

Perkembangan AI yang masif tersebut tidak sekedar memunculkan perdebatan terkait tanggung jawab hukumnya, namun penggunaan AI juga melibatkan pengumpulan dan pengolahan besar-besaran data pribadi. Pengolahan data adalah komponen sentral dalam perkembangan dan implementasi teknologi AI.

Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang mulai berlaku pada tahun 2020 itu menjadi peraturan yang relevan. Namun, implementasi UU PDP dalam praktiknya masih menimbulkan sejumlah tantangan, terutama dalam hal penggunaan data untuk melatih model AI.

Teknologi AI, seperti algoritma pembelajaran mesin, seringkali memerlukan akses ke data sensitif, termasuk informasi pribadi dan demografis. Hal ini dapat menyebabkan risiko privasi, seperti akses tidak sah, penyalahgunaan data, dan bias yang tidak diinginkan dalam pengambilan keputusan AI.

Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu (Maret 2023), dimana Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan yang mengklaim pihaknya memiliki big data yang berisi aspirasi publik di media sosial untuk pemilu 2024[6]. Tentu, hal tersebut sangat riskan terjadinya penyalahgunaan data oleh negara untuk kepentingan kekuasaan.

Sehingga muncul sebuah pertanyaan apakah negara berhak menguasai data privasi warga negaranya?. Padahal menurut Michael[7] dalam perspektif negara hukum modern sesuatu yang privat itu dipisahkan dari negara.

Privat tidak bisa diklaim sebagai bagian dari negara karena sifatnya yang terbatas. Privat merupakan hak terkecil yang dimiliki seorang manusia untuk mempertahankan kehidupannya.

  • AI sebagai Asisten Keadilan

Dibalik perdebatan yang muncul saat ini, penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk mendukung persidangan adalah perkembangan yang menarik dalam hukum yang dapat meningkatkan efisiensi, keadilan, dan keandalan proses peradilan. AI adalah asisten penegak keadilan.

Penggunaan AI dalam persidangan dapat mempercepat proses hukum, mengurangi biaya, dan meningkatkan akurasi dalam pengambilan keputusan hukum. AI dapat digunakan untuk membantu penegak hukum untuk membuat argumentasi hukum dengan jauh lebih mudah, cepat dan akurat.

Dengan algoritmanya, AI dapat membantu seseorang membuat argumentasi hukum yang logis dan rasional serta berlandaskan peraturan perundang-undangan dengan lebih cermat, tentu dengan sifat penggunaanya yang berkaitan dengan administratif seperti panitera dan sekretaris.

Peran seperti hakim, jaksa dan pengacara untuk saat ini belum dapat digantikan oleh teknologi Artificial Intelligence karena sangat berkaitan dengan penalaran serta harus melihat dari berbagai aspek untuk memberikan sebuah keputusan terutama pertimbangan hati nurani seseorang dalam menegakkan keadilan.

Argumentasi hukum oleh hakim merupakan salah satu dasar yang penting dalam menjadi penentu tercapainya nilai dari sebuah putusan hakim yang terkandung keadilan dan juga terkandung suatu kepastian hukum, lainnya itu juga mengandung kemanfaatan untuk para pihak yang bersengketa karenanya argumentasi hukum oleh hakim ini harus dilaksanakan bagus, teliti dan cermat[8]

Meskipun tidak menutup kemungkinan di masa mendatang AI memiliki perasaan dan mampu berpikir secara mandiri, namun untuk saat ini tidak bisa kita percayakan sepenuhnya keputusan kepada teknologi, sebab sekarang AI lebih cocok sebagai asisten keadilan.

Referensi

[1] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 24th ed. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.

[2] R. G. S. Julito, “Kedudukan Teknologi Artificial Intelligence Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia,” Skripsi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Surabaya, 2023.

[3] M. Shodikin, Subjek Hukum Sungai Bengawan Solo (Urgensi dan Perluasan Subjek Hukum Internasional), 1st ed. Yogyakarta: Jejak Pustaka, 2023.

[4] M. Batin and A. Turchin, “Kecerdasan Buatan Dalam Perpanjangan  Kehidupan: Dari Pembelajaran Mendalam Ke Superintelligence,” Journal Informatica, vol. 41, 2017.

[5] M. Mahfud, “Mahfud MD : Hakim Haru Tegakkan Keadilan Bukan Hanya Hukum,” Kabar24, Aug. 26, 2021. Accessed: Sep. 28, 2023. [Online].

[6] Rahma Harbani, “Mengenal Big Data, Istilah yang Disinggung Luhut dalam Klaim Tunda Pemilu,” detikedu, Mar. 18, 2023. Accessed: Sep. 28, 2023. [Online]. UM,” ,” Jurnal Hukum Magnum Opus – Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, vol. 3, no. 2, Aug. 2020.

[7] T. Michael and S. Boerhan, “Negara Dan Eksistensinya Dalam Privasi Subjek Hukum,” ,” Jurnal Hukum Magnum Opus – Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, vol. 3, no. 2, Aug. 2020.

[8] A. P. B. Pratama, I. Suseno, and E. Prsetyawati, “Argumentasi Hukum Oleh Hakim Dalam Menilai Bukti Hukum Yang Diajukan Penggugat,” Jurnal Hukum Magnum Opus – Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, vol. 4, no. 1, Oct. 2021, doi: 10.22437/ujh.2.1.169-192.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *