Komunitas Gay di Aceh
Hukuman cambuk di depan umum kembali berlangsung di Banda Aceh. Kali ini, dua terpidana yang merupakan pasangan sesama jenis (gay) atau liwath di hukum sebanyak 85 dan 80 kali cambukan, di kurangi masa penahanan yang sudah mereka jalankan. Kedua terpidana terbukti bersalah sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh.
Di tengah kebudayaan Aceh, yang terkenal dengan nilai agama dan adat yang kuat, terdapat fenomena yang jarang dibicarakan secara terbuka, yaitu keberadaan pasangan sesama jenis (gay) atau yang disebut dalam tradisi Aceh sebagai “liwath.” Meskipun tidak diakui secara resmi oleh hukum syariah Aceh, praktik liwath masih ada dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai adat, ajaran agama, dan realitas sosial di lapangan saling bertentangan. Ruang untuk diskusi tentang liwath di Aceh memberikan kesempatan untuk berbicara tentang peran identitas seksual dalam konteks budaya dan agama lokal.
Baca juga: Peran Sanksi Adat dalam Konflik Hak Ulayat di Wilayah Dayak Simpang Dua
Apa yang dilakukan oleh kedua terpidana itu tentu melanggar ketentuan yang sebagaimana yang diatur dalam pasal 63 ayat (1) Qanun No. 6 tahun 2014 tentang hukum jinayah, yang didalamnya mengatur ancaman hukuman bagi pelaku jarimah Musahaqah. Di dalam pasal tersebut termaktub ketentuan yang mengatur tentang Jarimah yaitu tindakan yang dilarang dalam syariat islam yang meliputi Khamar (Minuman keras), Maiisir (judi), Khalwat (mesum), Ikhtilath (berciuman dan bermesraan), Zina (melakukan setubuh tanpa ada nya ikatan pernikahan), Pelecehan seksual, Pemerkosaan, Liwath (gay), Musahaqah (lesbian), Qadzaf (menuduh orang melakukan zina). Qanun Jinayat memberlakukan kebijakan hukum cambuk sebagai keseriusan Pemerintahan Daerah dan masyarakat Aceh untuk melaksanakan syariat islam secara utuh.
Sanksi Adat
Selain digolongkan kriminalisasi, perbuatan yang dilakukan oleh kedua terpidana tersebut juga dapat dikategorikan sebagai pidana adat yang memuat adanya sanksi adat. Berbagai komunitas adat, tak terkecuali di Aceh sendiri pun yang mengacu pada adat istiadat dan tradisi turun temurun yang kental dengan ketentuan Al-Qur’an dan Hadist. Pelaku kejahatan yang sudah melanggar syariat islam juga harus siap di hukum cambuk sebagai bentuk penegakan syariat islam, yang juga di saksi kan oleh ribuan masyarakat di Aceh. Hukuman ini bertujuan menimbulkan efek jera dan mencegah pelaku tindak pidana mengulangi perbuatannya. Dalam situasi tertentu keluarga terpidana juga di bebani tanggung jawab terhadap kesalahan individu.
Oleh karena itu, sanksi sosial ini tidak hanya berlaku untuk pelaku kejahatan, tetapi juga untuk orang-orang yang dekat dengannya dan yang memiliki hubungan darah dengannya. Bagaimanapun, kesalahan yang dilakukan oleh anggota keluarga harus ditanggung bersama. Sejak lama, prinsip kebersamaan telah masuk ke ruang privasi. Ini adalah beberapa perbedaan antara hukum pidana adat dan konvensional. Hal ini sangat individualistis dan banyak dipengaruhi oleh perspektif Barat. Komunalisme dianggap sebagai bagian integral dari kehidupan manusia dalam budaya Timur. Akibatnya, ruang sosial biasanya lebih dominan daripada ruang personal.
Agama dan kebajikan digunakan secara luas sebagai dukungan untuk perlakuan yang bias terhadap pertemuan LGBT. Pemahaman agama, khususnya agama Ibrahim (Yahudi, Kristen dan Islam) memiliki dasar pemikiran yang sama untuk menolak LGBT, khususnya kisah Sodom dan Gomoroah pada zaman Nabi Luth. Sebagai terjemahan, tuntutan pemecatan tidak dapat dilihat sebagai fakta yang tidak dapat dipalsukan.
Pada gilirannya, banyak penyelidikan tarsir dengan pemahaman semantik, otentik, dan relevan telah melacak implikasi yang berbeda dari kisah Nabi Luth. Disiplin yang Tuhan ungkapkan kepada Nabi Luth adalah bentuk ketidaksenangan Tuhan terhadap cara berperilaku kebiadaban seksual “homoseksualitas” yang diperkirakan akan mempermalukan laki-laki di siang bolong.
Baca juga: Kelompok Minoritas LGBT di Aceh dalam Perspektif Keagamaan dan Kebangsaan
Tradisi hukuman cambuk, yang telah lama menjadi bagian dari budaya Aceh, menunjukkan keteguhan masyarakat dalam menjaga standar agama dan adat istiadat. Setiap pelanggaran memiliki kontak dengan tubuh yang dihukum, meninggalkan bekas merah yang seolah-olah mengingatkan kepada hukuman dan konsekuensi dari setiap pelanggaran. Meskipun keras dan menyakitkan, hukuman ini dianggap sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas praktik agama, menyeimbangkan keadilan dan kearifan lokal di kota.
Aceh merupakan daerah yang memiliki otonomi khusus dalam urusan pemerintahan daerahnya. Hal ini telah diatur dalam Pasal 1 Ayat 2 UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota, maka akan diatur dan diurus sendiri oleh pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Dalam praktiknya, hukum adat di Aceh dalam menyelesaikan tindak pidana memiliki dasar yang sangat kuat terhadap sejarah yang berlaku dan hukum Islam yang juga berlaku di dalam wilayah Aceh. Peraturan yang berlaku di dalam masyarakat sendiri merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Aceh yang berfungsi menegakkan ketertiban di dalam wilayahnya. Peraturan tersebut dikenal keras dan mengutamakan efek jera bagi orang yang melakukan tindak pidana, tanpa memperhatikan hak asasi yang dimiliki pelaku tindak pidana tersebut sebagai manusia.
Dengan demikian, hukum adat Aceh memiliki penyelesaian yang bertentangan dengan kriminologi. Dalam hukum adat Aceh, hukuman yang dapat menimbulkan efek jera yang diterima oleh pelaku tindak pidana lebih diutamakan untuk mencegah niat untuk melakukan tindak pidana lainnya. Dari sudut pandang kriminologi, timbulnya efek jera juga diutamakan, tetapi tetap memperhatikan pemberlakuan HAM. Penjatuhan hukuman bagi pelaku tindak pidana dapat menimbulkan efek jera namun masih belum cukup untuk mencegah niat untuk melakukan tindak pidana lainnya.
Penulis
Maya Puspitaningsih
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya