PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Problematika Hak Ulayat Terhadap Asas Negara Dapat Mempunyai Hak Untuk Menguasai Tanah

Hak Ulayat

Problematika Hak Ulayat

Secara definisi hak ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat adat tertentu dalam wilayah teritorial yang dimiliki masyarakat adat. Sedangkan hak adalah sebuah keharusan yang harus dimiliki entah itu diambil atau tidak diambil oleh  pemilik hak. Sedangkan asas pemerintah yang berhak memiliki suatu tanah adalah asas dalam Hukum agraria yang dipunyai oleh pemerintah. Asas ini berfungsi untuk agar pemerintah itu mengembangkan dan memajukan kesejahteraan rakyatnya, artinya asas ini memiliki esensi yaitu pemerintah itu bisa mengambil hak tanah atas kita kapan saja.

Asas adalah sebuah prinsip, dalam konteks ini asas dijadikan sebuah alasan dalam bertindak bagi pemerintah. Tanah merupakan sebuah dasar teritorial bagi pemerintah, sedangkan tanah bagi masyarakat adat adalah sebuah warisan bagi nenek moyang leluhur mereka.

Dalam Undang-Undang dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 mengatur tentang “ bumi, air, udara dan kekayaan alam yang berada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” pasal ini yang menjadikan dasar fundamental bagi pemerintah guna mengambil tanah ulayat. Budi Harsono adalah guru besar Ilmu Hukum Agraria, mengatakan “  hak penguasaan atas tanah memiliki wewenang, kewajiban dan/larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu atas tanah yang di hakki”.

Selanjutnya dalam pasal 4 UUD 1945 dapat saya interprestasikan seperti:

  1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan perlarihan tanah.
  2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antar orang dan tanah.
  3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang serta perbuatan hukum yang terkait tanah.

Atas dasar dua pasal itu dapat dijadikan pemerintah menguasai hak atas tanah termasuk hak ulayat.

Sejarah Singkat hak Ulayat

Sudah saya uraikan diatas mengenai definisi hak ulayat, dapat kita ketahui bahwa hak ulayat secara garis besar adalah hak tanah yang dimiliki oleh masyarakat adat dari nenek moyang. Pada masa kerajaan-kerajaan pada dahulu, hak ulayat adalah hak  persekutuan-persekutuan  yang dimiliki oleh masayrakat adat. Namun, sejak masa kerajaan dahulu sudah memiliki budaya yaitu bahwa kepemilikan hak ulayat ini harus dikuasai oleh raja-raja. Perbuatan-perbuatan ini dilakukan dilakukan diluar pengetahuan persekutuan-persekutuan. Inilah sejarah awal mula rusaknya dan kerakusannya pemerintah-pemerintah yang sudah dilakukan pada masa dahulu.

Baca juga: Peran Sanksi Adat dalam Konflik Hak Ulayat di Wilayah Dayak Simpang Dua

Pada masa dahulu sebenarnya tidak adanya namanya hak ulayat, yang ada hanyalah tanah milik raja. Sebab, segala sesuatu yang dimiliki oleh rakyat terutama dalam hal tanah. Raffles adalah gubernur hindia-Belanda pada masa itu berpendapat bahwa tanah adalah kepunyaan raja. Pada masa itu Raffles adalah orang yabg sangat dipandang. Bedasarkan teori raffles ini bahwa tanah adalah kepemilikan raja atau juga bisa menyewakan tanah itu kepada kepala desa, sedangkan kepala desa ini menyewakan tanah kepada petani.

Memunculkan teori bernama “  landrente”. Namun teori raffles itu dapat banyak kritik. Dengan adanya teori raffles pada saat itu yang di jadikan patokan oleh raja-raja, yang menjadi korban tidak hanya hal ulayat. Namun juga hak-hak bagi pribumi. Raja menganggap perbuatan ini merupakan hasil dari refleksi pemikiran yang menghasilkan ide yaitu pengelolaan tanah.

Hak Ulayat

Pengertian hak ulayat sendiri diatur dalam pasal 3 UUPA yang mengatakan dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan pasal 2 pelaksaan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara dst. secara garis besar hak ulayat itu adalah suatu kepemilikan dari masyarakat adat yang berupa tanah ataupun lahan.

Makna dari kata masih ada dalam pasal 3 UUPA adalah:

  1. Terdapat kelompok ataupun persekutuan hukum adat yang merupakan masyarakat hukum adat itu sendiri.
  2. Terdapat wilayah yang masih dihuni oleh masyarakat adat itu sendiri, yang disadari bahwa tanah itu merupakan teritorial adat mereka.
  3. Terdapat penguasa adat yang diakui oleh masyarakat adat itu sendiri.

Artinya  secara eksistensi dari hak ulayat masyarakat Hukum adat sepanjang secara kenyataannya masih ada, ada secara masyarakatnya ada secara teritorialnya, ada secara bentuk penguasaanya. Selagi masih ada ketiga aspek yang fundamental itu maka secara eksistensi hak ulayat masyarakat adat sebenarnya masih ada dan harusnya masih diakui dan dihormati. Hal ini juga diatur dalam pasal 2 ayat (2) Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999.

Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada ini dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dan batasan-batasannya diatur serta juga dicatat dalam daftar tanah ( Pasal 5 Permen Agraria/kepala BPN No. 5 Tahun 1999). Ketika tidak ada pendaftaran tersebut hak ulayat tidak akan dihidupkan, namun kemungkinan untuk melakukan pendaftaran tentang hak ulayat masih bisa.

Baca juga: Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Modus Perampasan Tanah Rakyat?

Asas Negara Dapat Mempunyai Hak Untuk Menguasai Tanah

Asas ini diatur dalam pasal 18 UUPA ( undang-undang pokok agraria ) secara garis besar menjelaskan bahwasannya untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut. Dalam hal ini termasuk juga tanah ulayat yang dimiliki oleh masyarakat adat. Meskipun dalam hal ini juga ketika terjadi problematika nanti terdapat kompensasi yang diberikan dari yang terdampak hak ulayatnya, hal ini diatur dalam pasal 1 ayat 10 Undang-undang No. 2 2012 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum.

Dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sebenarnya negara tidak dijadikan pemilik tanah atas pengadaan hak ulayat tersebut, namun negara sebagai organisasi kekuasaan masyarakat. Makna dikuasai pun sejatinya tidak berpangkal bahwa negara adalah pengambil dan pemilik hak ulayat atas pengadaan tanah, namun negara adalah sebagai organisasi penyelenggara pemerintah guna kepentingan umum. Namun dalam masa kontemporer, asas ini dijadikan sebuah alat bagi penguasa yang otoriter terhadap agraria.

Dalam prakteknya sendiri terdapat banyak sekali masalah terhadap kasus ini,

  1. Kasus pengadaan tanah ulayat untuk pembangunan jalan tol Padang-Sicincin di Sumatera Barat menemui berbagai hambatan karena status tanah yang belum jelas, dokumen perencanaan yang kurang matang, serta kurangnya keterlibatan dan konsultasi dengan masyarakat setempat sejak awal perencanaan.
  2. Perampasan tanah ulayat Masyarakat Dayak atas pengadaan tanah untuk Pembangunan IKN
  3. Kasus tanah ulayat kutai timur yang terbaru oleh mafia tanah.

Banyak faktor yang mendasari kenapa hal tersebut dapat terjadi, seperti kurangnya kordinasi antara masyarakat adat dan pihak terkait, lalu tidak cocok antara kompensasi yang diberikan, serta masyarakat adat masih berpegang teguh untuk tidak mau melepas tanah mereka. Sebenarnya masalah hak ulayat  dan asas ini sangat kompleks, sebab berbenturan antara kepercayaan adat yang ada sebelum hukum positif dengan hukum positif itu sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *