PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Modus Perampasan Tanah Rakyat?

Pengadaan tanah

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

Proyek Tol Probolinggo-Banyuwangi (Probowangi) yang tengah dikebut pembangunannya kembali menyulut polemik. Sejumlah warga yang terdampak proyek ini mengeluhkan ganti rugi yang dianggap tidak layak, bahkan ada yang dipaksa meninggalkan tanah mereka dengan dalih kepentingan umum. Dalam berbagi aksi protes, masyarakat menuntut transparansi dan keadilan dalam proses ganti rugi, namun pemerintah tetap bersikukuh dengan keputusan yang dianggap mengabaikan hak-hak warga.

Hingga Maret 2025, progres pembebasan lahan untuk proyek Tol Probowangi masih carut-marut. Berdasarkan laporan terbaru, baru 64 bidang tanah yang telah dibayar, sementara ratusan (170 bidang tanah)  lainnya masih dalam tahap negosiasi yang tidak jelas dan cenderung merugikan warga. Fakta ini menunjukkan bahwa proyek infrastruktur seringkali dijalankan dengan ambisi pemerintah, tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang menghancurkan kehidupan masyarakat kecil.

Kasus ini bukan sekadar proyek pembangunan, melainkan pola sistematis perampasan tanah rakyat. Pemerintah menggunakan Undang-Undang sebagai tameng legalisasi penggusuran, dengan mengatasnamakan kepentingan umum. Namun, pertanyaannya: kepentingan umum siapa? Rakyat atau segelintir elite yang menikmati proyek ini?

Baca juga: Hak dan Perlindungan Tanah Adat di Indonesia

Dalih Menggusur Rakyat

Pengadaan tanah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Regulasi ini memberikan dasar hukum bagi pemerintah untuk mengambil tanah rakyat dengan kompensasi yang seharusnya “layak dan adil.” Namun, dalam praktiknya, UU ini lebih sering menjadi alat perampasan daripada perlindungan bagi warga yang terdampak.

Dalih kepentingan umum kerap digunakan untuk mempercepat proyek-proyek besar seperti jalan tol, bandara, hingga kawasan industri. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, proyek-proyek ini lebih banyak menguntungkan segelintir pihak, bukan rakyat secara luas. Tanah yang dirampas dari warga, sering kali dijual kembali atau dikelola oleh perusahaan swasta dengan harga yang jauh lebih tinggi. Masyarakat yang telah lama tinggal di kawasan tersebut justru menjadi korban karena kehilangan tanah mereka tanpa alternatif yang layak. Tak jarang mereka dipaksa menerima ganti rugi yang jauh dari harga pasar, bahkan ada yang diintimidasi agar segera menyerahkan tanahnya.

Perampasan Tanah Secara Legal

Ganti rugi dalam pengadaan tanah seharusnya menjadi bentuk kompensasi atas hak yang hilang. Namun, realitasnya jauh dari kata adil. Banyak warga mengeluhkan bahwa harga yang ditentukan oleh pemerintah sangat rendah dibandingkan harga pasar. Dalam beberapa kasus, appraisal tanah dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan pemilik tanah secara aktif dalam proses penilaian. Ini bukan sekadar ketidakadilan, melainkan perampasan secara legal.

Lebih dari itu, aspek non-materi seperti kehilangan mata pencaharian, perpecahan komunitas, dan dampak psikologis akibat penggusuran sama sekali tidak diperhitungkan. Tanah bagi masyarakat bukan hanya sekadar aset, tetapi juga memiliki nilai historis, sosial, dan budaya yang tidak bisa diukur dengan uang. Dalam banyak kasus, ketika warga kehilangan tanahnya, mereka juga kehilangan sumber penghidupan dan jaringan sosial yang telah dibangun bertahun-tahun.

Kapitalisasi Tanah Rakyat

Ketimpangan dalam penentuan ganti rugi hanya salah satu dari banyaknya bentuk ketidakadilan dalam pengadaan tanah. Persoalan utama yang harus ditanyakan adalah siapa yang sebenarnya diuntungkan? Rakyat atau segelintir pengusaha dan elit politik?

Tanah yang dibeli murah dari masyarakat mendadak bernilai tinggi setelah proyek infrastruktur berjalan. Tanah yang dulunya milik rakyat, kini berubah menjadi lahan bisnis yang menguntungkan bagi investor dan pemegang proyek. Ini bukan pembangunan berkeadilan, tetapi kapitalisasi besar-besaran atas tanah rakyat.

Baca juga: Polemik Pembentukan Kementerian Masyarakat Hukum Adat

Yang lebih parah, partisipasi masyarakat dalam proyek ini hanya sebatas formalitas. Pemerintah mengadakan konsultasi publik sekadar untuk menggugurkan kewajiban, bukan untuk mendengarkan aspirasi rakyat. Mereka yang berani menolak atau mempertahankan haknya justru dihadapkan pada tekanan hukum, kriminalisasi, bahkan intimidasi fisik. Negara telah berubah menjadi alat bagi korporasi untuk mengusir rakyat dari tanah mereka sendiri. Hal inilah yang kemudian menjadikan masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk menegosiasikan ganti rugi yang lebih adil. (Afkaar Naufal Rahman, Arman Tjoneng: 2024)

Pengadaan Tanah yang Berkeadilan

Untuk mewujudkan pengadan tanah yang berkeadilan, maka Pemerintah harus membuka data appraisal tanah secara transparan dan melibatkan masyarakat dalam menentukan nilai ganti rugi yang sesuai dengan harga pasar. Proses konsultasi publik juga harus benar-benar menjadi bahan pertimbangan, bukan sekedar formalitas yang kemudian menguntungkan pemerintah.

Selain itu, kompensasi bagi warga terdampak harus adil dan manusiawi, dengan mempertimbangkan relokasi yang layak, jaminan pekerjaan, serta dampak sosial dan psikologis. Perlindungan hukum bagi masyarakat terdampak pun harus diperkuat agar mereka yang memperjuangkan haknya tidak terintervensi.

Di sisi lain, perlu adanya audit independen terhadap proyek-proyek infrastruktur yang menggunakan tanah rakyat guna memastikan bahwa proyek tersebut benar-benar bertujuan untuk kepentingan umum, bukan untuk menguntungkan segelintir elite. Pengadaan tanah harus menjadi instrumen kesejahteraan, bukan alat pemiskinan dan perampasan aset rakyat.

Penulis

Muhamad Irsyad Hanafi

Peneliti Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (PUSKOLEGIS) & Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *