Asas Retroaktif dan Argumentasi Hukum
Asas retroaktif dalam hukum mengacu pada pemberlakuan peraturan hukum untuk mengatur peristiwa hukum yang terjadi sebelum peraturan tersebut diberlakukan. Namun tidak semua peristiwa hukum menggunakan asas tersebut.
Penggunaan asas retroaktif dalam hukum sangat tergantung pada konteksnya dan peraturan hukum yang bersangkutan. Dalam kasus-kasus tertentu penggunaan asas retroaktif patut untuk diperlakukan seperti dalam peristiwa hukum yang dikategorikan sebagai extra ordinary crimes seperti kejahatan terorisme, genosida, korupsi tingkat tinggi hingga serangan cyber yang mengganggu keamanan dan pertahanan negara.
Baca juga: Berdasarkan Asas Lex Favor Reo, Ferdy Sambo Tidak Dapat Dieksekusi Mati?
Penggunaan asas retroaktif dalam hukum yang sangat tergantung pada konteksnya tersebut sama halnya dengan penyusunan argumentasi hukum. Dimana menurut Donald Neil MacCormick argumentasi hukum bisa tergantung dimana ia diletakkan (berdasarkan konteksnya).
Lebih lanjut, Neil menerangkan bahwa hukum sebagai argumentasi artinya hukum adalah hasil dari proses argumentasi yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan hukum, termasuk hakim, pengacara, dan pihak yang bersengketa. Argumentasi ini melibatkan interpretasi teks hukum, preseden hukum, dan prinsip-prinsip hukum yang relevan.
Pada pandangan tersebut maka argumentasi hukum sebetulnya dalam konkritnya dapat berlaku asas retroaktif namun dalam koridor konteks tertentu yakni dalam kategori extra ordinary crimes.
Meskipun hukum diberlakukan surut ini sebetulnya sedikit menyimpang atas asas legalitas dan kepastian hukum, namun dalam konteksnya yakni kejahatan luar biasa maka keadilan harus ditegakkan setegak-tegaknya.
Sebagaimana dijelaskan Ronald Dworkin bahwa kepastian hukum tidak boleh menjadi tujuan akhir dalam hukum. Sebaliknya, keadilan adalah prinsip yang harus diutamakan, bahkan jika itu menghasilkan keputusan yang tidak selalu konsisten atau pasti.
Dalam pandangan Dworkin, kepastian hukum yang mutlak dapat mengorbankan keadilan, dan hakim harus memastikan bahwa hukum diterapkan dengan memperhatikan nilai-nilai keadilan yang mendasari hukum.
Argumentasi Hukum
Argumentasi Hukum berasal dari kata argumentieren (Belanda) atau argumentation (Inggris) yang dalam perkembangannya dimaknakan sebagai argumentasi hukum atau nalar hukum. Akar kata “argumentum” sendiri berasal dari kata “argue,” yang berarti “membuktikan” atau “mengemukakan alasan.”
Jadi, argumentasi hukum mengacu pada proses mengemukakan argumen atau bukti dalam konteks hukum untuk memahami, memutuskan, atau mempengaruhi suatu masalah hukum. Akar kata ini mencerminkan sifat dasar argumentasi hukum yang didasarkan pada penalaran dan bukti hukum untuk mencapai tujuan hukum tertentu.
Argumentasi hukum sendiri digunakan dalam beberapa tahapan proses hukum, seperti pembuatan undang-undang, litigasi (pengadilan), dan penentuan hukum oleh lembaga-lembaga seperti pengadilan tinggi atau mahkamah konstitusi.
Ini melibatkan berbagai elemen, seperti interpretasi hukum, analisis fakta, perbandingan dengan presiden sebelumnya, dan penerapan asas-asas hukum yang relevan untuk mencapai kesimpulan yang sesuai dengan norma hukum yang berlaku.
Menurut Ronald Dworkin berpendapat bahwa argumentasi hukum melibatkan upaya pencarian prinsip-prinsip hukum yang terbaik yang sesuai dengan norma-norma hukum.
Sementara, Robert Alexy menjelaskan bahwa argumentasi hukum merupakan aktivitas linguistik yang terjadi dalam berbagai situasi berbeda dari ruang sidang hingga ruang perkuliahan untuk mewujudkan kebenaran normatif yakni pernyataan yang berkaitan dengan norma dan prinsip hukum.
Baca juga: Pemilu 2024: Partai Politik Perlu Dibenahi Demi Mewujudkan Negara Demokrasi
Argumentasi hukum merupakan suatu keterampilan ilmiah (ars) yang bermanfaat untuk dijadikan pijakan oleh para ahli hukum dalam mendapatkan dan memberikan solusi hukum. Argumentasi Hukum dapat digunakan untuk membentuk peraturan yang rasional dan acceptable.
Sehingga sanksinya dapat menimbulkan efek jera bagi masyarakat hukum yang tidak taat hukum. Peraturan hukum yang dibentuk dengan ketentuan yang rasional dan memenuhi rasa keadilan dapat menumbuhkan kesadaran hukum dan kepercayaan masyarakat.
Penguasaan dan implementasi yang baik terhadap argumentasi hukum dalam setiap aktivitas oleh para praktisi hukum dapat digunakan sebagai parameter untuk membedakan antara praktisi hukum yang berdebat yuridis dan berdebat kusir.
Menurut Ery Agus menuliskan bahwa terdapat beberapa prinsip utama dalam menyusun argumentasi hukum yang memiliki kualitas dan dapat dipertanggungjawabkan, diantaranya:
- Kepatuhan terhadap Hukum
Argumentasi hukum harus selalu mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini melibatkan referensi yang akurat terhadap undang-undang, peraturan, preseden, dan prinsip-prinsip hukum yang relevan. Setiap argumen harus didasarkan pada norma hukum yang berlaku.
- Logika dan Rasionalitas
Argumentasi hukum harus logis dan rasional. Argumen harus memiliki alur yang jelas, dengan premis-premis yang mendukung kesimpulan hukum yang diinginkan. Kebijakan atau interpretasi hukum yang diusulkan harus dapat dijustifikasi secara logis.
- Jelas, Lugas dan Tegas
Argumentasi hukum harus jelas dan mudah dimengerti oleh pihak yang membacanya. Hindari penggunaan bahasa yang rumit atau ambigu. Gunakan struktur yang teratur dan logis dalam penyajian argumen.
- Konsistensi
Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
- Etika Hukum
Dalam membangun argumentasi hukum, prinsip-prinsip etika hukum harus diperhatikan. Ini termasuk menjaga integritas dan profesionalisme dalam praktik hukum serta menghormati hak-hak dan keadilan.
Sementara itu, asas retroaktif adalah prinsip hukum yang berkaitan dengan pemberlakuan suatu peraturan atau undang-undang secara mundur atau ke belakang dalam waktu.
Dalam Black’s Law Dictionary dikatakan Retroactive adalah extending in scope or effect to matters that have occured in the past.
Di indonesia istilah yang dekat dan sering dipergunakan adalah ‘berlaku surut’.
Terdapat dua jenis asas retroaktif:
- Retroaktif yang Menguntungkan: Dalam beberapa kasus, peraturan atau undang-undang retroaktif dapat diberlakukan untuk memberikan manfaat atau hak kepada individu atau entitas yang sebelumnya tidak memiliki hak atau manfaat tersebut. Ini dapat terjadi dalam konteks perubahan perpajakan yang mengurangi beban pajak retroaktif atau penghapusan sanksi retroaktif dalam hukum pidana.
- Retroaktif yang Merugikan: Dalam kasus lain, peraturan retroaktif dapat diberlakukan untuk mengenakan kewajiban atau sanksi yang tidak ada sebelumnya pada tindakan yang telah dilakukan atau transaksi yang telah terjadi. Ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar prinsip keadilan, terutama jika individu atau entitas telah bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku saat itu.
Asas retroaktif sebenarnya bertentangan dengan asas legalitas dan dalam hukum pidana berlaku asas yang berbunyi nullum delictum noela poena sine praevia sine lege poenali (Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan).
Di Indonesia 2 (dua) aturan yang berkaitan dengan larangan memberlakukan surut suatu peraturan perundangan, yaitu dalam Pasal 28 i UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Baca juga: Asas Legalitas dalam Hukum Pidana
Namun dalam penerapan asas retroaktif di Indonesia terdapat pengecualian seperti termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yakni tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crimes. Seperti yang pernah terjadi di Indonesia yakni kasus Bom Bali yang cukup menggemparkan pada 12 Oktober 2002 lalu yang kemudian pada 18 Oktober presiden menerbitkan Perpu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang pada Pasal 46 menyatakan bahwa peraturan tersebut dapat diperlakukan surut.
Referensi
Aditya Yuli Sulistyawan.”Argumentasi Hukum”. Penerbit Yoga Pratama. Semarang. 2021
Anis Widyawati. “Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia”. Jurnal Pandecta. Vol. 6 No. 2. Juli 2011.
Black’s Law Dictionary.
Buku Ajar Penalaran dan Argumentasi Hukum. Fakultas Hukum Universitas Udayana. Denpasar. 2016.
Edy Faishal Muttaqin. “Argumentasi Hukum Ditinjau Dari Aspek Ilmu Hukum dan Aspek Hukum Islam”.
Ery Agus Priyono dan Kornelius Benuf. “Kedudukan Legal Opinion Sebagai Sumber Hukum”.
Jurnal Suara Hukum. Vol 2. No. 1. Maret 2020.