PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Berdasarkan Asas Lex Favor Reo, Ferdy Sambo Tidak Dapat Dieksekusi Mati?

Ferdy Sambo

Daftar Isi

Kasus yang menyita perhatian publik sejak pertama kejadian adalah kasus pembunuhan yang dilakukan terhadap Brigadir Joshua Hutabarat dalam beberapa bulan yang lalu dengan skenario sangat dramatis yang khas dengan corak drama penegakan hukum yang Ke-Indonesiaan banget (dalam arti yang seluas-luasnya dan sesempit-sempitnya). Kasus pembunuhan ini sebenarnya merupakan the oldest sosial problem (problem sosial yang sudah lama sering terjadi).

Drama tersebut akhirnya sampailah pada episode yang sangat dinanti-nanti oleh para penonton, yaitu pembacaan putusan yang sudah dilakukan pada tanggal 13,14, dan diakhiri pada tanggal 15 Februari 2023 dengan vonis yang sangat memuaskan bagi netizen dan masyarakat umum, walaupun vonis putusan tersebut masih menuai pro dan kontra, dalam konteks hukum pidana keadilan itu sekaligus juga merupakan ketidak adilan bagi pihak terpidana, keadilan itu subjektif dan sangat bergantung pada sudut pandang manusianya.

Baca juga: Hukum Pidana: Pengertian, Jenis, Tujuan, Fungsi, dan Teori Pemidanaan

Di luar pembahasan adil dan tidak adil, yang menjadi menarik untuk dibahas adalah pada saat hakim menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap Ferdy Sambo, apakah kemudian vonis ini dapat dieksekusi melihat adanya KUHP baru yang mengatur teknis pelaksanaan hukuman mati yang dapat dilakukan hanya dengan percobaan hukuman selama sepuluh tahun penjara dan diganti menjadi hukuman seumur hidup apabila si narapidana telah berkelakuan baik.

Secara mendasar, dalam KUHP lama atau dalam bahasa aslinya disebut Wetboek van Strafrecht (WvS), paradigma keadilan yang digunakan di dalamnya adalah paradigma keadilan balas dendam (keadilan retrebutif), paradigma ini merupakan paradigma yang cukup kuno dan konvensionl dalam sistem hukum pidana, tidak heran demikian terjadi karena memang KUHP lama ini merupakan KUHP yang dibuat oleh Belanda yang diberlakukan melalui asas konkordansi (hukum yang berlaku di negara asal, diberlakukan juga di negara jajahan) dimana pengesahannya terdapat dalam lembaran negara (Staatsblad) Nomor 732 pada tahun 1915 dan mulai diberlakukan secara efektif pada tanggal 1 Januari 1918 di Indonesia atau Hindia-Belanda.

Namun belakangan dirasa bahwa paradigma lama yang digunakan dalam sistem hukum pidana konvensional ternyata tidak memberikan angka prestitius dalam menjalankan fungsi pemidanaan yang sesungguhnya yaitu terbentuknya rasa aman bagi masyarakat, justru paradigma lama ini bahkan menyebabkan penjara-penjara menjadi over kapasitas dan menyebabkan tahanan menjadi lebih pandai lagi dalam menjalankan perbuatan pidananya setelah keluar dari tahanan, sehingga timbullah suatu paradigma baru dalam sistem pemidanaan modern yaitu keadilan korektif (mencegah pelaku untuk mengulangi perbuatan tindak pidananya), keadilan restoratif (pemulihan terhadap korban), dan keadilan rehabilitatif (rehabilitasi keadaan korban dan pelaku), dimana kemudian pada akhirnya ketiga paradigma ini diadopsi oleh Indonesia dalam KUHP Nasional yang baru saja disahkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 yang akan diberlakukan secara efektif tiga tahun sejak diundangkan.

Semenjak Indoensia merdeka sebenarnya kita sudah mulai meninggalkan sistem crime control model dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) kita, dimana sistem ini dinilai sangat tidak manusiawi karena menggunakan asas persumtion of guilty (asumsi praduga bersalah) dalam mencari kebenaran, sehingga proses penyidikan dan penyelidikannya dilakukan dengan cara menyiksa tersangka (Inquisatorial system), peradilan pidana kita hari ini lebih dekat dengan due process model dengan proses yang lebih manusiawi dan melindungi hak asasi tersangka (accuisatoria; system) dengan konsep asasnya yakni asas praduga tidak bersalah (persumtion of innocence).

Nah, dalam proses hukum terbunuhnya Brigadir Jhosua Hutabarat, yang menyeret Sambo CS sebagai terpidana, sudah merupakan cerminan dari sistem criminal justice system yang accuisatorial system atau due process model dengan proses yang lebih manusiawi dan melindungi hak asasi tersangka yang menempatkan posisi tersangka sebagai orang yang tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan (persumtion of innocence), terbukti dari awal persidangan Sambo CS diberikan hak yang sama rata dengan penuntut umum (procecuting attorney) untuk menyampaikan pembelaan sekaligus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.

Konsekuensi dari proses due process model adalah proses hukum yang agak cukup lama karena masing-masing pihak diberikan hak sama untuk melakukan pembelaan, kebenaran yang akan ditemukan dalam dunia hukum adalah kebenaran dengan sistem adversary methode (sistem pertarungan) inilah yang kita sebut sebagai peradilan jujur yang tidak memihak (fair trial).

Hari ini pertarungan itu telah dinilai oleh Majelis Hakim, Sambo CS seberapapun hebatnya melakukan pembelaan dan pembuktian terutama seberapapun hebatnya memiliki “backingan” tetapi fakta persidangan telah membuktikan bahwa dirinya dinyatakan bersalah dan divonis dengan hukuman mati. Tetapi yang menjadi mengejutkan adalah ekspresi Sambo yang tidak menunjukkan ketakutan sama sekali pada saat vonis dibacakan, menjadi tanda tanya besar bagi publik.

Baik, disini penulis akan memberikan pendapat sedangkal  pengetahuan yang dipelajari penulis selama belajar ilmu hukum dengan analisis sebagai berikut:

  1. Ferdy Sambo merupakan seorang jendral kepolisian yang memiliki pengalaman dan pengetahuan ilmu hukum yang cukup memadai (dengan latar belakang sarjana dan master hukumnya), jadi dia mengetahui bahwa vonis pada peradilan tingkat pertama ini bukan akhir dari episode perjalanan hidupnya, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa masih sangat terbuka luas untuk diambil oleh Sambo seperti Banding, Kasasi, bahkan Peninjauan Kembali yang masih membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mencapai akhir season dari proses persidangan ini.
  2. Bahwa yang menjadi perdebatan yang banyak dibicarakan adalah tentang pemberlakuan Pasal 100 KUHP baru bagi Sambo dimana ketentuan pelaksanaan hukuman matinya tidak dapat serta merta dilaksanakan kecuali telah dilakukan percobaan hukuman penjara selama sepuluh tahun dan apabila berkelakuan baik dan terpuji maka diganti dengan hukuman penjara seumur hidup.

Terhadap pembahasan poin yang kedua diatas, yang menjadi poin dasar yang harus digaris bawahi adalah tentang locus et tempus delicti (tempat dan waktu terjadinya perkara pidana), dalam KUHP lama diatur tentang asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1), dimana pasal ini selalu dikaitkan dengan asas non-retroaktif (undang-undang tidak boleh berlaku surut). Pada tempat dan waktu terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh Sambo CS, konstruksi hukum yang berlaku positif adalah masih KUHP lama, maka KUHP baru tidak dapat berlaku surut untuk menolong Sambo dari hukuman mati.

Namun yang menjadi persoalan adalah pada Pasal 1 ayat (2) KUHP lama menyatakan bahwa Bilamana ada perubahan dalam undang-undang sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan jadi apabila terjadi perubahan terhadap undang-undang setelah terdakwa melakukan perbuatan pidananya, maka yang diterapkan adalah undang-undang yang lebih menguntungkan, sehingga dalam kasus ini tentu saja yang lebih menguntungkan terhadap terpidana Ferdy Sambo adalah KUHP yang baru tersebut, sehingga sebetulnya ayat ini menjadi penghambat dalam pelaksanaan eksekusi mati terhadap Sambo.

Baca juga: Hukum Pidana

Pasal 1 Ayat (2) dalam KUHP lama ini sering dikenal dengan sebutan asas lex favor rei, ia menjadi pengecualian tersendiri sehingga dapat memberlakukan hukum secara mundur dan terlepas dari asas legalitas plus asas non-retroaktif (undang-undang tidak berlaku surut) sekaligus terhadap locus et tempus delicti tadi, namun yang harus menjadi catatan adalah:

  • KUHP yang baru masih belum berlaku saat ini di Indonesia dan akan diberlakukan tiga tahun mendatang atau tepatnya pada tahun 2026 nanti.
  • Putusan Vonis mati terhadap Ferdy Sambo telah dibacakan oleh Hakim, sekalipun terbuka untuk melakukan upaya hukum, namun kecil kemungkinan upaya hukum ini akan menjadi incracht van gewijsde atau berkekuatan hukum tetap sampai pada tahun 2026 nanti. Sementara salah satu syarat untuk memberlakukan ayat (2) tersebut adalah hukum baru yang dianggap menguntungkan atau meringankan terdakwa tersebut sudah harus berlaku dan harus dimuat klausulnya di dalam putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap (BHT).

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah mungkin upaya hukum yang dilakukan Sambo tidak akan incracht atau berkekuatan hukum tetap (BHT) hingga tahun 2026, saya lihat selama pengalaman di lapangan itu rasanya tidak mungkin, lalu jika proses hukum sudah incracht tahun 2025 bagaimana mungkin hakim (baik dalam tahap Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung) akan memberlakukan KUHP baru dalam klausul putusannya sementara nyata-nyata KUHP tersebut masih belum bisa diterapkan hingga tahun 2026 nantinya.

Baca juga: Pengertian Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah)

Jika misalkan dalam hitungan paling lambat sekalipun, proses hukum ini akan incrahct pada akhir tahun 2025, lalu kemudian Sambo belum juga dieksekusi hingga tahun 2026 dimana pada tahun 2026 tersebut KUHP baru telah berlaku, maka Sambo harus tetap dieksekusi mati jika klausul putusannya yang sudah incracht pada tahun 2025 tersebut tetap memvonis Sambo dengan hukuman mati, karena pemberlakuan Pasal 1 ayat (2) KUHP lama tersebut tidak diukur dari waktu kapan terpidana tersebut akan dieksekusi, tetapi diukur dari kapan putusan pidana mati tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang incracht. Soal eksekusi itu hanya urusan teknis, tetapi pada pokoknya perintah Pengadilan yang sudah inkracht harus tetap dipatuhi dan dijalankan.

Maka kesimpulannya adalah asas lex favor reo tadi dapat menghalangi terjadinya hukuman mati terhadap Sambo dengan catatan KUHP baru yang dapat menguntungkan Sambo tersebut sudah berlaku sebelum putusan Sambo Berkekuatan Hukum Tetap (BHT).

Tulisan ini saya tutup dengan adagium “Sallus Pupoli Suprema Lex Esto” Keselamatan dan Keamanan Rakyat adalah hukum tertinggi. (Cicero)

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *