PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Kesadaran Beretika dalam Bingkai Konstitusi

Etika

“Law floats in a sea of ethics”

~ Earl Warren, Chief Justice of United States (1953 – 1969)

Etika dan hukum, dua keberadaan yang acap kali dipertentangkan. Manakah yang lebih tinggi di antara keduanya? Apakah hukum yang dipaksakan mengikat karena dipersenjatai dengan sanksi-sanksi? Ataukah etika yang dengan nilai-nilai luhurnya mengikat hati nurani?

Pertanyaan sederhana dan mendasar tersebut akan menemui deadlock atau jalan buntu jika kita hanya melihat keduanya pada posisi yang berjenjang. Posisi yang berjenjang tersebut maka mau tidak mau akan membentuk persepsi kita bahwa salah satu dari keduanya pasti lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Tidak ada yang salah dengan persepsi tersebut. Hanya saja persepsi ini tidak akan memberikan kita solusi ketika kita dihadapkan pada pilihan, apakah akan menaati hukum ataukah etika.

Baca juga: Rekonstruksi Teori Konstitusi Perspektif Filsafat Ilmu

Beretika, Berhukum, dan Bernegara

Negara yang menjadi naungan kita bernapas saat ini dibangun di atas landasan hukum yang kuat. Kuat karena ditopang dengan nilai yang sejalan dengan ciri khas bangsa kita. Adalah Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-nilai yang berakar dari bangsa Indonesia. Coba saja seandainya nilai-nilai yang diambil untuk membangun negara ini adalah nilai-nilai liberal dan sekuler, hampir dapat dipastikan umur negara ini tidak lebih lama daripada umur jagung.

Berbicara tentang nilai, kita tidak mungkin lepas dari etika. Etika sebagaimana yang dikutip dari KBBI merupakan ilmu untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Rasa sungkan kita untuk memanggil orang tua dengan nada tinggi merupakan bentuk dari penerapan etika ini. Tentu penerapan dalam skala kecil. Namun, bagaimana jika dalam skala yang lebih luas lagi? Negara contohnya, sebagai wadah yang menampung individu warga negaranya secara kolektif.

Warga negara tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai etika yang dipegang olehnya. Negara memang mampu memaksakan kehendaknya dengan menerapkan hukum secara paksa kepada warga negara. Namun, hal itu tentu menimbulkan konfrontasi secara besar-besaran. Apalagi jika hukum yang diterapkan sudah jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Contohnya saja pemberian izin terhadap penjualan minuman keras di Kota Jogja. Lihatlah bagaimana penolakan sengit dari masyarakat karena minuman keras sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi di Kota Pelajar ini. Ini setidaknya menunjukkan bahwa hukum tidak boleh bersimpangan dengan nilai dan etika di masyarakat.

Sebagaimana contoh kecil di atas, nilai-nilai yang diambil untuk membangun negara ini juga memengaruhi pembentukan hukum. Hukum yang terbentuk dari ide dan kebiasaan kultur-sosial sangat dipengaruhi corak warnanya oleh nilai-nilai tersebut. Oleh karenanya pantas saja dikatakan oleh Earl Warren bahwa hubungan hukum dengan etika adalah seperti perahu yang berlayar di samudera luas.

Bahkan dalam bukunya Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Asshiddiqie mengatakan bahwa hukum tidak dapat tegak jika air samudera etika tidak mengalir. Ia juga menggambarkan etika memiliki cakupan yang lebih luas daripada hukum. Sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Namun, sesuatu yang melanggar hukum sudah pasti melanggar etika (2015: 232).

Keserasian antara penerapan etika dan hukum harus selalu diupayakan. Jika kehilangan salah satunya, maka penerapan etika atau hukumnya akan menjadi pincang. Beretika dan berhukum harus dibingkai indah dalam satu wadah, yaitu bernegara.

Konstitusi dan Pancasila, Sumber Etika Bernegara        

Merujuk pada Teori Kontrak Sosial, Riyanto menjelaskan dalam bukunya Teori Konstitusi bahwa konstitusi terbentuk dari perjanjian yang mengikat pemerintah atau negara dengan warga negara. Dengan adanya ikatan perjanjian tersebut, maka seluruh tata kelola negara harus melalui persetujuan warga negara (2000: 146). Mulai dari pengaturan wewenang lembaga negara, pembentukan peraturan perundang-undangan, bahkan amandemen konstitusi harus melalui persetujuan warga negara.

Baca juga: TEORI ETIKA LINGKUNGAN, LENGKAP

Dari pernyataan tersebut, kita dapat melihat betapa sentralnya kedudukan konstitusi dalam kehidupan bernegara. Di dalamnya terkandung kesepakatan tertinggi warga negara dari setiap elemen masyarakat. Dengan demikian, maka sudah seyogianya setiap kandungan konstitusi itu dipatuhi dan diejawantahkan oleh setiap warga negara juga pemerintah tanpa terkecuali.

Sebagai pedoman bernegara, konstitusi harus dipahami sebagai wadah yang menampung berbagai sumber nilai etika dan hukum. Namun pada kenyataannya, konstitusi hanya dipahami sebagai sumber hukum bukan sumber etika. Pemahaman ini perlu diluruskan karena konstitusi mengandung nilai etika yang salah satunya bersumber dari agama.

Nilai ketuhanan yang bersumber dari agama merupakan spirit konstitusi Indonesia, UUD 1945. Mulai dari pembukaan yang mencantumkan nilai ketuhanan tersebut, juga sampai pada pasal-pasalnya yang mengatur soal jaminan hak beragama dan berkeyakinan. Keadilan yang dirumuskan dalam agama juga menjadi roh UUD 1945 dan tujuan bernegara yaitu mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jika kita tarik dan peras nilai-nilai etika konstitusi tersebut, kita akan menemukannya dalam tiap butir Pancasila. Butir-butir Pancasila mengandung nilai etika tertinggi di negara ini karena dirumuskan para pendiri bangsa dengan menampung berbagai aliran dan gagasan. Aliran dan gagasan yang beragam atau plural tersebut dikompromikan dan diperas hingga akhirnya lahirlah lima butir falsafah negara yang kita anut sampai detik ini.

Sebagai falsafah negara, Pancasila menjiwai norma-norma etika dan hukum. Norma etika dan hukum baik yang tertuang dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan di bawahnya harus selaras dengan roh Pancasila. Penghayatan terhadap roh Pancasila dapat membantu kita sebagai warga negara dalam membaca norma etika dan hukum.

Membaca norma etika dan hukum harus dengan kacamata yang seimbang, tidak berat sebelah. Sebagaimana yang dijelaskan di awal, tidak ada kedudukan berjenjang antara etika dan hukum. Pentingnya keseimbangan antara etika dan hukum perlu selalu ditekankan karena pandangan yang menitikberatkan salah satunya tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman saat ini (2015: 231).

Menjadi Warga Negara yang Beretika

Sebagai generasi yang menikmati hasil perjuangan para pendiri bangsa ini, tidaklah pantas bagi kita jika tidak menjadi warga negara yang beretika. Etika bernegara yang dirumuskan dalam Pancasila dan konstitusi harus selalu menjadi pedoman sebagai bentuk penghormatan terhadap peninggalan para pendiri bangsa. Spirit Pancasila dan konstitusi yang mengandung nilai-nilai etika tidak boleh luput dari perhatian. Pancasila dan konstitusi harus selalu ditegakkan karena keduanya mengandung sumber etika dan hukum tertinggi bangsa dan negara ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *