PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Rekonstruksi Teori Konstitusi Perspektif Filsafat Ilmu

Konstitusi

Urgensi Rekonstruksi Konsep Konstitusi

Kata rekonstruksi terbentuk dari kata “re” yang berarti “ulang” dan “construct” yang berarti “membangun”. Jika digabungkan kata rekonstruksi berarti membangun ulang sesuatu yang sudah dibangun. Rekonstruksi memiliki perbedaan dengan konstruksi karena proses konstruksi sejatinya membentuk dari awal. Salah satu faktor yang melatarbelakangi dilakukannya konstruksi ulang tersebut adalah memberikan warna baru dari bangunan yang telah dikonstruksikan sebelumnya.

Baca juga: Kritik Historis UUD 1945 Perspektif Konstitusionalisme

Dalam tulisan ini, penulis memilih konstitusi sebagai objek yang hendak dikonstruksikan ulang. Alasan sederhananya adalah konstitusi tidak jarang hanya diartikan sebagai “UUD” atau “UUD 1945”. Penulis melihat bentuk simplifikasi atau penyederhanaan ini termasuk kategori “berlebihan” yang mungkin saja merupakan bias dari simpang siurnya penggunaan terminologi ini. Di antara implikasi simplifikasi ini adalah kekeliruan dalam menyimpulkan fakta hukum, seperti mengatakan bahwa negara yang tidak memiliki UUD sebagai negara yang tidak berkonstitusi dan mengatakan bahwa konstitusi hanya terbatas apa yang diatur dalam UUD.

Di samping itu, penulis juga mendapati keganjilan dalam teori-teori yang membahas konstitusi. Keganjilan ini dapat terjadi karena beberapa hal yang akan penulis jabarkan di bawah. Penulis merasa jika celah tersebut tidak diberikan tambalan baik bersifat temporal maupun permanen, maka teori-teori tersebut akan runtuh dengan sendirinya. Buntut akhirnya adalah, konstitusi yang “dibangun” di atas teori-teori tersebut akan kehilangan ruhnya atau bahkan runtuh.

Sebelum membahas lebih jauh, definisi konseptual mengenai konstitusi harus “dipaparkan secara jelas terlebih dahulu. Pendekatan yang penulis tawarkan dalam memahami konstitusi secara komprehensif meliputi pendekatan linguistik dan pendekatan tiga cabang filsafat ilmu. Pendekatan linguistik menarik asal usul kata yang akan dibahas dengan melihat makna asli kata tersebut dibentuk. Sementara pendekatan tiga cabang filsafat ilmu terdiri dari pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

Konstruksi Linguistik Konsep Konstitusi

Melalui pendekatan linguistik, konstitusi harus ditarik dari akar katanya yaitu “constituer” yang berasal dari bahasa Perancis. Kata ini sendiri memiliki beberapa pengertian yang pada intinya berkaitan dengan “membentuk sesuatu” (Riyanto, 2000, p. 17). Apabila dipahami dalam konteks ketatanegaraan, maka konstitusi merupakan sesuatu yang membentuk negara. Oleh karenanya material utama terbentuknya negara adalah konstitusi dan tanpanya negara tidak dapat terbentuk.

Konsep konstitusi secara linguistik membedakan antara konstitusi dengan hukum dasar atau undang-undang dasar. Seperti contohnya, bahasa Belanda membedakan antara “constituetie” dan “grondwet” dan bahasa Jerman juga membedakan antara “verfassung” dan “grundgesetz”. Penggunaan istilah yang pertama memang cenderung dengan pengertian konstitusi sebagaimana yang dijelaskan di atas. Sementara itu, istilah kedua lebih condong digunakan untuk menyebutkan undang-undang dasar sebagai hukum tertulis (Asshiddiqie, 2022, pp. 95 – 96). Oleh karenanya melalui pendekatan linguistik, dapat ditarik konklusi bahwa konstitusi tidak sama dengan undang-undang dasar.

Konstruksi Konstitusi Perspektif Ontologis

Selanjutnya adalah menggunakan pendekatan tiga cabang filsafat ilmu. Yang pertama adalah pendekatan ontologi. Ontologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan hakikat atau intisari dari sesuatu tersebut. Pertanyaan terhadap sesuatu “yang ada” tersebut bersifat universal dan tidak dibatasi oleh sekat tertentu (Jurdi, 2024, pp. 28 – 30). Menerapkan pendekatan ini dalam mengkonsepsikan konstitusi akan membawa pada suatu titik yaitu konstitusi diposisikan sebagai sesuatu yang memiliki konsep universal.

Universalitas konsep ini akan membawa pada pertanyaan berikutnya, yaitu apa yang ada di dalam konstitusi secara universal. Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam berbagai literatur dengan berbagai redaksi. Namun jika kita merujuk pada historisitas terbentuknya konstitusi, maka akan ditemukan fakta bahwa apa yang terkandung dalam konstitusi merupakan pengaturan jaminan hak asasi manusia dan permasalahan kenegaraan (Riyanto, 2000, p. 148). Namun, tesis ini mempunyai antitesisnya tersendiri, yaitu tidak semua konstitusi mengatur kedua aspek tersebut secara kumulatif.

Kandungan esensial yang secara konkret diatur oleh setiap konstitusi adalah yang kedua, yaitu permasalahan kenegaraan. Jika melihat dari tinjauan historis, kita akan menemukan konstitusi yang secara ontologis mengatur soal kenegaraan namun mengabaikan pengaturan jaminan hak asasi manusia. Ini karena menurut pandangan penulis, jaminan hak asasi manusia lebih condong ke arah konstitusi dalam pengertian aksiologis yang akan dikaji pada pembahasan tersendiri. Konstitusi Jerman pada saat dikuasai oleh rezim Nazi merupakan contoh konstitusi yang hanya berorientasi pada aspek ontologisnya, yaitu pengaturan kenegaraan.

Baca juga: Mahkamah Konstitusi: The Guardian of Constitution

Konstruksi Konstitusi Perspektif Epistemologis

Tinjauan berikutnya adalah dari segi epistemologis, yaitu meninjau sesuatu dari sisi prosedural. Epistemologi sendiri membahas tiga aspek utama; yaitu alat, hasil, dan locus. Alat berfungsi sebagai media yang membentuk proses tersebut dari awal sampai akhir. Hasil merupakan produk yang lahir dari proses tersebut. Sementara locus merupakan tempat keberadaan alat dan hasil dari suatu proses (Jurdi, 2024, p. 41).

Dari segi aspek alat, konstitusi dibentuk oleh lembaga yang berwenang yaitu Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR) jika melihat ketatanegaraan Indonesia. Dalam menjalankan wewenang dan tugasnya, MPR memiliki Badan Pekerja dan Panitia Ad Hoc yang menyusun rumusan konstitusi. Rumusan konstitusi tersebut bersumber dari gagasan, ide, teori, dan nilai-nilai yang menjadi bahan terbentuknya konstitusi. Bahan-bahan tersebut diolah melalui proses perdebatan yang terjadi dalam tubuh internal MPR dan menghasilkan sesuatu yaitu konsensus atau kesepakatan.

Hasil konsensus tersebut dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis yaitu UUD 1945 dan Naskah Komprehensif. UUD 1945 merupakan locus terjadinya konsensus karena setiap pasal dan ayatnya sudah disepakati dalam Sidang Tahunan MPR, utamanya pada 1999 – 2002 pada saat amandemen konstitusi. Sementara Naskah Komprehensif merupakan locus yang merekam setiap proses pembentukan konstitusi tersebut dan disusun ke dalam 10 buku yang diterbitkan guna menjaga otentisitas historis.

Konstruksi Konstitusi Perspektif Aksiologis

Tinjauan terakhir yaitu dari perspektif aksiologis. Aspek aksiologis sebagai cabang ketiga filsafat ilmu berfokus pada tujuan dan nilai guna atau manfaat dari sesuatu. Tanpa tujuan yang berdaya guna, maka sesuatu tersebut malah akan mendatangkan kemudaratan dan bukannya kemaslahatan (Jurdi, 2024, pp. 54 – 55). Konstitusi yang hanya mengatur perihal kenegaraan tanpa mengatur kemaslahatan warga negaranya dapat dikatakan sebagai konstitusi yang tidak memiliki tujuan.

Tujuan negara yang dibentuk oleh konstitusi adalah memberikan perlindungan maksimal kepada warga negaranya. Tanpa ada perlindungan tersebut, untuk apa dibentuknya negara melalui konstitusi? Tidak akan ada gunanya negara dibentuk dengan konstitusi jika warga negara tidak mendapatkan jaminan perlindungan tersebut. Tujuan asli dibentuknya negara yaitu menjamin hak-hak asasi manusia tidak boleh luput dari perhatian negara.

Demi mewujudkan cita-cita tersebut, konstitusi menegaskan aturan mengenai penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Di samping itu, pengaturan mengenai kenegaraan diperketat dan dibatasi agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Kekuasaan pemerintahan negara yang diberikan oleh konstitusi juga harus dibatasi agar tidak ada landasan legitimasi tindakan kesewenang-wenangan tersebut. Pembatasan tersebut mau tidak mau harus dilakukan oleh konstitusi karena konstitusi itu sendiri yang memberikannya. Dengan dibatasinya kekuasaan tersebut, maka tindakan pemerintahan negara yang sewenang-wenang tersebut dinilai tidak sah secara hukum karena tidak sesuai dengan konstitusi (McIlwain, 1947, p. 2).

Baca juga: Mahkamah Konstitusi: Sebuah Kritikan Akademis

Konklusi

Dengan pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis, penulis merumuskan konstruksi baru dari konstitusi yang tidak terbatas pada undang-undang dasar sebagai hukum tertulis. Konstitusi mau tidak mau harus memenuhi tiga unsur, yaitu pertama, dasar terbentuknya suatu negara; kedua yang melalui prosedur dan oleh lembaga yang berwenang; ketiga mengandung norma yang memberikan jaminan hak asasi manusia dan pembatasan kekuasaan. Ketiga unsur ini harus dipenuhi secara kumulatif karena jika satu unsur saja tidak terpenuhi, maka tidak dapat disebut konstitusi.

Referensi

Asshiddiqie, J. (2022). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Depok: Rajawali Pers.

Jurdi, F. (2024). Logika Konstitusi. Yogyakarta: Litera.

McIlwain, C. (1947). Constitutionalism: Ancient and Modern. New York: Liberty Fund

Riyanto, A. (2000). Teori Konstitusi. Bandung: YAPEMDO.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *