Mahkamah Konstitusi
Salah satu kekuasaan kehakiman produk Reformasi di Indonesia yang memiliki kewenangan dalam menguji peraturan perundang-undangan, menyelesaikan sengketa hasil pemilu dan lain sebagainya memiliki keunikan dalam struktur kelembagaannya. Lembaga diberi nama Mahkamah Konstitusi ini memiliki beberapa julukan yang tentu tidak asing di telinga seperti penjaga marwah konstitusi, pengawal demokrasi, pembela hak konstitusional warga negara, dan lain sebagainya.
Dewasa ini, lembaga yang telah berdiri selama 20 tahun lebih tersebut ramai dibicarakan di kalangan masyarakat karena terdapat konflik politis didalamnya. Banyak masyarakat yang menilai buruk dan tidak percaya lagi pada lembaga yang sejatinya suci ini.
Kritikan terhadap Mahkamah Konstitusi
Tak hanya masyarakat umum, sejumlah akademisi di bidang hukum turut memberikan komentar atau kritikan yang dituangkan dalam bingkai karya tulis ilmiahnya. Berikut rangkuman beberapa kritikan dan komentar terkait lembaga Mahkamah Konstitusi oleh para akademisi :
- Hukum acara yang tidak diundangkan
Tidak seperti pengadilan lainnya yang memiliki Undang-Undang khusus terkait dengan hukum acara (proses persidangan), Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan persidangannya berpedoman pada Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). PMK sendiri merupakan regulasi yang dibuat oleh internal Mahkamah Konstitusi. Artinya, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi bisa saja sewenang-wenang membuat hukum acaranya tanpa perlibatan atau partisipasi masyakarat.
- Tidak konsisten dalam memutus perkara pengujian undang-undang
Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukkan kecenderungan yang tidak konsisten dalam memutus perkara pengujian Undang-undang (UU). Meskipun MK seharusnya menjadi pengawas independen terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif, namun keputusan-keputusan yang diambil seringkali dipengaruhi oleh faktor politik dan tekanan dari pihak-pihak tertentu.
Salah satu contoh spesifik dari kontradiksi ini adalah kasus-kasus yang melibatkan pengujian undang-undang yang secara signifikan mempengaruhi hak konstitusional warga negara. Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi dalam kasus-kasus tersebut terkesan lebih berpihak pada kepentingan politik dibandingkan memperhatikan prinsip-prinsip hukum negara.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi: Negative Legislator Menuju Positive Legislator
Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan menimbulkan keraguan terhadap keadilan lembaga tersebut. Sehingga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan tertinggi di dalam negara.
- Pengawasan hakim tidak melibatkan lembaga eksternal
Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengawasan peradilan yang tidak melibatkan pihak eksternal dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi sistem hukum. Tanpa transparansi yang memadai, sulit bagi masyarakat untuk memahami bagaimana keputusan diambil dan apa dasar hukumnya.
Hal ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan terhadap keadilan sistem hukum. Tanpa adanya mekanisme akuntabilitas yang efektif, hakim dapat bertindak bebas tanpa harus mempertanggungjawabkan keputusannya. Hal ini dapat memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan, bias atau korupsi.
Tanpa adanya badan eksternal, seperti ombudsman atau komisi independen, sulit menjamin pengawasan terhadap hakim dilakukan secara obyektif dan jujur. Oleh karena itu, dapat melemahkan legitimasi dan kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penegak hukum yang independen dan netral.
- Regulasi rekrutmen hakim belum efektif
Dengan hanya ditetapkan 3 pihak yang berwenang dalam mengusulkan calon hakim-hakim MK dapat menimbulkan kecurigaan yang tumbuh di masyarakat perihal adanya kepentingan politik suatu pihak yang dijaga.
Kecurigaan tersebut tidak hanya tumbuh secara tiba-tiba akan tetapi kecurigaan tersebut tumbuh seiring berjalannya waktu, sehingga memancing munculnya isu isu mengenai “Orang Dalam” yang membuat buruknya sistem demokrasi di mata masyarakat Indonesia.
Perkembangan isu tersebut didukung tidak adanya badan pengawas independen yang efektif dapat mengakibatkan lemahnya kontrol terhadap proses rekrutmen hakim. Tanpa pengawasan yang tepat, penyalahgunaan kekuasaan dan nepotisme dapat terjadi dalam proses seleksi peradilan, dan hal ini tidak dapat dikendalikan sehingga memudahkan pihak yang mencalonkan untuk memasukkan “orang dalam” ke dalam jajaran hakim konstitusi.
Dalam rangka mewujudkan ke-efektifan perekrutan Hakim Mahkamah Konstitusi, diperlukannya pengawasan dari lembaga yang bersifat independen. Lembaga independen ini lah yang akan bertugas mengawasi jalannya proses pencalonan Hakim Mahkamah Konstitusi tanpa adanya pengurangan jumlah pengusung calon hakim MK yang menjadi wewenang MA, DPR, PRESIDEN yang sudah di atur dalam pasal 18 ayat 1 undang-undang 24 tahun 2003.
- Rawan konflik politik
Proses seleksi hakim Mahkamah Konstitusi seringkali menjadi medan pertempuran yang tidak terlihat oleh perhatian publik. Keputusan-keputusan strategis dibuat di balik layar, di balik pintu ruang konferensi yang tertutup, dan di tengah-tengah pembicaraan yang berbisik-bisik di koridor kekuasaan. Para pelaku politik berupaya mengendalikan proses ini dengan memastikan bahwa hakim terpilih memiliki loyalitas politik yang kuat dibandingkan kekebalan hukum yang kuat.
Transparansi adalah kata yang seringkali terabaikan dalam kamus Mahkamah Konstitusi. Sedikit cahaya yang dibiarkan memasuki ruang gelap seleksi hakim, yang seringkali hanya terbatas pada sorotan terpilih media yang terkadang terpengaruh oleh kepentingan politik tertentu. Informasi yang seharusnya menjadi hak masyarakat untuk diketahui, dipelintir dan dipilih-pilih, meninggalkan kekhawatiran yang semakin mendalam akan jaminan integritas proses tersebut.
Baca juga: Paradigma Yuristokrasi dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI-2023
Dalam dunia politik, tidak ada yang aneh dengan jabatan Mahkamah Konstitusi. Kecenderungan ideologi, pengaruh partai, dan pertimbangan politik lainnya menjadi faktor yang mempengaruhi keputusan hakim. Keadilan, yang seharusnya menjadi landasan sistem peradilan, terkadang harus bersaing dengan kepentingan politik yang lebih besar. Dalam suasana yang terlalu dipolitisasi, netralitas menjadi fondasi yang rapuh.