PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Paradigma Yuristokrasi dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI-2023

Putusan MK

Paradigma Yuristokrasi

Fenomena dunia pada awal abad ke-21 adalah adanya ketergantungan kepada pengadilan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan moralitas, kebijakan publik, dan kontroversi-kontroversi politik. Melalui instrumen judicial review.

Pengadilan terus dijadikan alat untuk dihadapkan dengan kepentingan-kepentingan permasalahan masyarakat yang berkaitan permasalahan multidimensional seperti hak kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, hak privasi, hak reproduksi, hingga permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan publik seperti sistem peradilan pidana, perdagangan dan bisnis, pendidikan, imigrasi, tenaga kerja, perlindungan lingkungan, pembatasan dana kampanye, dan kebijakan afirmasi.

Wewenang untuk mengadili polemik politik telah mengubah pengadilan menjadi sebuah lembaga politik. Peristiwa ini terjadi karena menurut Hirschl, Hukum Tata Negara merupakan bentuk lain dari politik. Ahli-ahli hukum menyebutnya dengan istilah “political judicialization” atau “judicialization of politics”.

Baca juga: Pengertian Ilmu Hukum

Neal Tate mendefinisikan “judicialization of politics” sebagai “infusion of judicial decision-making and of court like procedures into political arenas where they did not previously reside”.

Kajian tentang yuristokrasi adalah sebuah kajian yang panjang, dan dalam perkembangannya, mengalami perubahan makna dan konteks. Dalam bukunya yang berjudul “Republica”, Plato secara konsepsional merumuskan sebuah harapan, adanya sekelompok elite, yang memiliki kebijaksanaan dan kecerdasan sistemik, guna diandalkan untuk menjadi pengelola dari sebuah organisasi yang bernama Negara.

Kelompok elit itu kemudian dinamakan yuristokrat. Sekelompok elit, yang memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan di bidang ilmu hukum, yang dengan modalitas berharga itu, bertransformasi menjadi “the philosopher king”. Sistem yang mengandalkan para yuris di dalam mengelola negara itu, kemudian disebut yuristokrasi. Sehingga pada awaalnya istilah yuristokrasi adalah istilah yang positif pemaknaanya.

Namun seiring perkembangannya, yuristokrasi mengalami pergeseran yang cukup signifikan yakni umum digambarkan sebagai kekuasaan kelompok yuris, atau para hakim, yang pada dasarnya merupakan manifestasi dari kedaulatan lini yudikatif, dalam membajak fungsi legislasi, yang seharusnya menjadi kewenangan dari lini legislatif.

Menurut pandangan Ran Hirschl dalam bukunya yang berjudul “Towards Juristocracy: The Origins and Consequences of the New Constitutionalism”, sebuah kajian mendalam tentang peran yang semakin meningkat dari lembaga-lembaga yudisial dalam keputusan politik, terutama dalam konteks konstitusionalisme modern.

Hirschl membahas bagaimana kekuasaan hakim dan badan peradilan di banyak negara telah berkembang menjadi kekuatan yang signifikan dalam menentukan kebijakan publik.

Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI-2023

Kaitannya dengan Putusan MK No. 90, maka jelas bahwa seharusnya pasal 169 huruf (q) UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Yang berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh tahun)” secara konsisten diputus oleh MK sebagai pasal yang bersifat open legal policy, sebagaimana yang dilakukan MK pada putusan-putusan sebelumnya yang sejenis.

Namun memang, banyak yang beranggapan bahwa pengecualian yang dilakukan oleh MK pada Putusan MK No. 90 tersebut disinyalir guna memuluskan langkah politik dari Gibran guna melanggeng sebagai salah satu partisipan pada Pemilihan Presiden 2024 yang akan datang.

Secara konstitusional, memang benar bahwa norma hukum pada dasarnya tidak bisa berlaku hanya pada satu individu saja (Gibran). Namun, apa yang dilakukan oleh MK dengan menempuh jalan yang berbalik arah dengan tidak menyatakan bahwa pasal 169 merupakan pasal yang bersifat terbuka, menyebabkan MK melanggar Asas pelampauan wewenang oleh lembaga negara, yang dalam bahasa Latin disebut “ultra vires.” Frasa ini secara harfiah berarti “melampaui kekuasaan” atau “di luar kekuasaan.”

Konsep “ultra vires” mengacu pada tindakan atau keputusan lembaga pemerintah atau badan hukum yang melebihi atau tidak sesuai dengan wewenang atau kewenangan yang telah diberikan kepadanya oleh hukum atau konstitusi.

Sementara itu, Ultra petita merupakan penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau “hakim menjatuhkan putusan melebihi dari yang diminta.”

Ketentuan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). HIR adalah hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia.

Dalam Putusan No. 90/PUU-XXI-2023 terkait dengan pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Hakim MK mengeluarkan putusan yang melebihi petitum permohonan atau ultra petita.

Baca juga: Mahkamah Konstitusi: Negative Legislator Menuju Positive Legislator

Putuan tersebut berbunyi bahwa Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” (Putusan MK No. 90/PUU-XXI-2023).

Dasar filososfis MK dapat mengeluarkan putusan yaang bersifat ultra petita ditentukan dengan memasukannya permohonan subsidair pemohon yang berbunyi: “Apabila pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)”.

Dalam hal pemohon mengajukan permohonan berdasarkan keadilan yuridis atau putusan yang paling adil, dapat disimpulkan dalam undang-undang bahwa pemohon telah mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi isi permohonan yang tidak disyaratkan atau melebihi permohonan pemohon.

Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam hukum tujuan hukum adalah keadilan, selain kepastian dan kemanfaatan, maka hukum harus benar-benar dan proporsional mencerminkan ketiga tujuan tersebut.

Hal itu sejalan pula dengan Prinsip judicis est ius dicere non dare yang bermakna kewenangan hakim untuk menentukan apa hukumnya.

Hal ini dilakukan dengan merujuk pada prinsip hukum dalam dunia kekuasaan kehakiman yang dikenal sebagai dominus litis, yang artinya menuntut hakim untuk secara aktif mencari dan menemukan keadilan sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dari segi hukum, mahkamah berpendapat bahwa sebagai the guardian of constitution, rujukan utama pengadilan dalam menegakkan hukum adalah berpegang pada prinsip-prinsip kehidupan berbangsa berdasarkan UUD 1945.

Pengadilan memutuskan bahwa dalam menjaga konstitusi, pengadilan tidak boleh membiarkan dirinya terikat oleh keadilan, tidak hanya untuk keadilan prosedural, tetapi juga untuk keadilan substantif.

Dasar penting dari sikap tersebut adalah ketentuan Pasal 45 ayat (1) UU MK, yang mengatur bahwa pengadilan memutus perkara sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berdasarkan bukti dan keyakinan hakim.

Yang dimaksud dengan putusan hakim adalah putusan hakim yang berbasis bukti (Tafsir Pasal 45 Ayat 1 UU MK).

Sedangkan diketahui bahwa Dissenting Opinion dari hakim Saldi Isra menyatakan pendapat secara akademik dengan mengutip 2 (dua) pendapat dari Louis Henkin yang membawa pendapat “Is There Political Question’ Doctrine” dan pendapat John Serry, yang membawa pendapat “Too Young to Run?: A Proposal for an Age Amendment to U.S Constitution. Dari 2 (dua) pendapat tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa layak tidaknya seseorang yang masih muda untuk memimpin negeri ini.

Dissenting Opinion yang ia sampaikan berfokus pada usia yang belum cukup matang atau di bahwa 40 (empat puluh) tahun untuk maju menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa penyelesaian perkara-perkara politis sengaja dilekatkan pada Mahkamah Konstitusi. Terutamanya pada Putusan MK Nomer 90/PUU-XXI-2023. Oleh karena itu, kewenangan-kewenangan Mahkamah Konstitusi yang ada merupakan kewenangan-kewenangan yang memiliki nuansa politis yang tinggi.

Selain itu, Pertimbangan-pertimbangan politis dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi terlihat lebih banyak mendominasi daripada pertimbangan-pertimbangan keilmuan. Aspek-aspek politis tersebut dilengkapi dengan mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang juga sarat akan kepentingan politis.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa secara “nature” Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah lembaga politik.

Inilah yang dinamakan sebagai penciptaan konstitusi semu yang diungkapkan oleh Béla Pokol. Bahwa kekuasaan negara yang berdasarkan demokrasi diubah secara besar-besaran oleh pengadilan konstitusi dengan kewenangannya yang diperluas.

Di samping itu, aktivitas yudisial dari pengadilan biasa yang dikeluarkan dari ketentuan undang-undang dan lebih didasarkan pada pernyataan abstrak dari konstitusi membuat gagasan demokrasi semakin kosong.

Referensi

Neal Tate, Why the Expansion of Judicial Power ?, In The Global Expansion of Judicial Power (New York: New York University Press, 1995).

Alip D. Pratama Menuju Negara Yuristokrasi.

Achmad Aprianto, Batasan Ultra Petita Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian UndangUndang di Indonesia.

Dea, Amanda. Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi: Memahami Fenomena Holistik Penemuan Hukum (Rechtvinding) Yang Progresif. Limbago: Jurnal of Constitutional Law, Vol. 1 No. 1 2021.

Ach Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi Perspektif Filosofis, Teoritis, dan Yuridis, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2017.

Béla Pokol. Yuristokrasi Tren dan Versi. Penerbit Századvég. 2021.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *