PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Mahkamah Konstitusi: Negative Legislator Menuju Positive Legislator

Avatar of Pinter Hukum
Mahkamah Konstitusi

Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi ialah melakukan pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945 atau judicial review baik menguji UU secara formil maupun materiil. Pengujian Pasal 169 huruf q Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tentang syarat Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang dimohonkan oleh Almas Tsaqibbirru Re A kepada Mahkamah Konstitusi sudah tepat.

Untuk mengurai pendapat hukum penulis atas putusan a quo, yaitu putusan nomer 90/ PUU- XXI/ 2023 perlu jelaskan bahwa penulis akan membagi pada tiga uraian, pertama pendapat terhadap materiil putusan, kedua pendapat terhadap formil putusan, dan ketiga pendapat terhadap quo vadis putusan.

Baca juga: Mahkamah Konstitusi: Quo Vadis Independensi?

Tinjauan Materiil 

Secara materiil putusan tersebut memuat dua isu penting yaitu open legal policy dan negative legislator.

Adapun open legal policy yaitu kebijakan terbuka yang tidak dapat ditinjau secara konstitusional oleh karenanya kebijakan ini menjadi kewenangan DPR dan Presiden untuk mengaturnya dengan menyesuaikan kebutuhan hukum masyarakat. Namun dalam hal kebijakan tersebut melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable maka dapat diabaikan. Maka dari itu, MK dapat dibenarkan memutus perkara a quo.

Sedangkan negative legislator yaitu sebuah konsep yang menyatakan bahwa MK tidak berwenang membuat norma baru melainkan hanya boleh mencoret jika tidak sesuai dengan konstitusi.  Menurut Jimly Asshiddiqie MK hanya berwenang untuk membatalkan norma di mana MK sebagai negative legislator, bukan positive legislator.  Sedangkan Mahfud MD berpendapat bahwa MK berwenang dalam konteks apakah suatu norma bertentangan dengan konstitusi atau membiarkan suatu norma yang dibentuk oleh lembaga legislatif yang memiliki tolok ukur berupa original intens.

Namun jika mengacu pada PMK No. 02 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-undang menyatakan bahwa “Dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan.”

Selain itu perlu dipahami pula tujuan dan pentingnya pembentukan norma oleh Mahkamah Konstitusi:

  1. Menguji konstitusionalitas norma.
  2. Mengisi kekosongan hukum sebagai akibat putusan MK yang menyatakan suatu norma bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara itu proses pembentukan undang- undang membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga tidak dapat segera mengisi kekosongan hukum tersebut.
  3. Melaksanakan kewajiban hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dipertegas pula melalui pernyataan Martitah bahwa terdapat beberapa pertimbangan bagi Hakim MK dalam mengeluarkan putusan yang bersifat positive legislator antara lain:

  1. Faktor keadilan dan kemanfaatan Masyarakat.
  2. Situasi yang mendesak.
  3. Mengisi rechtvacuum untuk menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat.

Maka dari itu, secara teoritis maupun praktis negative legislator sudah tidak berjalan secara absolut, melainkan pada kondisi dan pertimbangan- pertimbangan tertentu dapat diabaikan. Sehingga argumentasi yang menyatakan MK tidak dibenarkan memuat isi putusan yang demikian kurang tepat.

Tinjauan Formil 

Dalam tinjauan prosedural atau formil putusan tersebut memuat beberapa persoalan, seperti administrasi, legal standing, dan konflik kepentingan, sehingga pembuat putusan (Anwar Usman) seharusnya tidak dibenarkan secara hukum untuk ikut memeriksa, mengadili apalagi memutus perkara a quo.

Menurut analisis penulis pemohon perkara a quo tidak memiliki legal standing karena tidak mengalami kerugian konstitusional, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi yang berbunyi:

  1. Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang- undang.

  2. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Lebih lanjut yang dimaksud kerugian hak dan/ atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

  1. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945.
  2. Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh undang- undang yang diuji.
  3. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat 7 spesifik (khusus) dan aktual atau setidak- tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar (logis) dapat dipastikan akan terjadi.
  4. Adanya hubungan sebab akibat (unproductive verband) antara kerugian dan berlakunya undang- undang yang dimohonkan untuk diuji.
  5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan tersebut maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan tidak lagi terjadi.

Maka, berdasarkan uraian permohonan dan dasar konstitusi yang digunakan pemohon sebagai batu ujian konstitusional tidak ditemukan legal standing yang kuat dan memadai untuk menerima permohonan tersebut.

Baca juga: Menakar Pemilu Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup

Selanjutnya berkaitan dengan konflik kepentingan, sesuai bunyi asas hukum yaitu Nemo judex idoneus in propia causa”, artinya “Hakim dilarang memeriksa perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri.” Jika ditelisik hubungan kekeluargaan antara hakim yang memeriksa (Anwar Usman) dengan orang yang memiliki kepentingan atas perkara tersebut (Gibran Rakabuming Raka) maka ketara sekali, sehingga benar adanya konflik kepentingan.

Dipertegas pula dalam Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi:

  1. Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.

  2. Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.

  3. Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

  4. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  5. Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat( 6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.

Berdasarkan aturan internal MK melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/Pmk/2006 Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi mengatur hal berikut:

Prinsip Ketakberpihakan: Hakim konstitusi – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum untuk melakukan persidangan – harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan- alasan di bawah ini:

  1. Hakim konstitusi tersebut nyata- nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/ atau
  2. Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.

Quo Vadis Putusan Mahkamah Konstitusi 

Terhadap putusan MK tersebut menurut penulis tidak terdapat upaya hukum yang memadai, sebagaimana bunyi Pasal 24C Konstitusi:

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar.

Diatur pula dalam Pasal 29 UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 10 UU Mahkamah Konstitusi yang bunyinya sama, yaitu:

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

Sebagaimana diperjelas dalam penjelasannya:

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang- Undang ini mencakup pula kekuasaan hukum mengikat (final and binding).

Baca juga: Rokok Ilegal Marak Beredar, Direktur LBH PMII Surabaya: Melanggar Hukum dan Merugikan Negara

Meskipun begitu ada beberapa pakar yang berpendapat berbeda, yaitu Bivitri Susanti yang menyatakan bahwa putusan MKMK dijadikan dasar untuk melakukan persidangan kembali terhadap perkara Nomer 90/ PUU- XXI/ 2023 sehingga MK dapat membentuk susunan majelis kembali untuk memutus kemnbali putusan a quo dan Denny Indrayana yang berpendapat bahwa MKMK dapat menyatakan putusan a quo tidak sah sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Demikian uraian penulis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomer 90/PUU-XXI/2023 semoga dapat menjadi tambahan referensi dan bentuk kontribusi penulis.

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *