Yusril Ihza Mahendra menjelaskan mengenai ketidakpuasan pemilu yang tidak boleh diadili dengan hak angket. Yusril mengingatkan bahwa penggunaan hak angket oleh DPR akan membawa negara ke dalam ketidakpastian, sementara penggunaan hak angket dalam mengadili sengketa pilpres akan membentuk kepastian hukum.
Yusril juga menjelaskan bahwa hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu yang dalam hal ini pilpres oleh pihak yang kalah. Namun, ia mengingatkan bahwa UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu, yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa hak angket dalam pasal tersebut terkait dengan fungsi DPR melakukan pengawasan yang tidak spesifik, tetapi bersifat umum dalam hal pengawasan terhadap hal apa saja yang menjadi obyek pengawasan DPR.
Baca juga: Politik Identitas Menjelang Pemilu 2024, Begini KUHP Baru Mengaturnya
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak angket dituangkan dalam undang-undang yang mengatur DPR, MPR, dan DPD. Pasal 24C UUD NRI 1945 menyatakan salah satu kewenangan MK adalah mengadili perselisihan hasil pemilihan umum, dalam hal ini pilpres pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat.
Para perumus amandemen UUD NRI 1945 telah memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, yakni melalui badan peradilan Mahkamah Konstitusi. Yusril berpendapat bahwa jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan pilpres melalui MK, maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan.
Dasar hukum yang mengatur tentang penggunaan hak angket dalam perselisihan hasil pemilu adalah Pasal 20A ayat (2) UUD 1945. Pasal ini menyatakan bahwa hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini pilpres, oleh pihak yang kalah namun jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan pilpres melalui Mahkamah Konstitusi, maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan.
Pernyataan Yusril Ihza Mahendra mengenai penyelesaian ketidakpuasan terhadap hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) melalui Mahkamah Konstitusi (MK) dan bukan melalui hak angket memunculkan berbagai pertimbangan yang menarik dari segi hukum tata usaha negara.
Mari kita coba telaah lebih dalam mengenai kasus ini. Pertama-tama, perlu dicatat bahwa Yusril menyatakan bahwa menurut konstitusi, MK memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pilpres. Pandangan ini sejalan dengan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945, yang menegaskan bahwa MK memiliki kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam konteks ini, MK menjadi lembaga yang memiliki otoritas untuk menilai keabsahan dan keberhasilan proses Pilpres serta menyelesaikan sengketa yang timbul sebagai akibat dari proses tersebut.
Namun demikian, penggunaan hak angket oleh DPR juga merupakan instrumen yang sah dalam sistem tata usaha negara Indonesia. Hak angket memberikan wewenang kepada DPR untuk menyelidiki suatu masalah yang dianggap penting dan dapat menimbulkan ketidakpuasan publik.
Dengan kata lain, hak angket merupakan alat kontrol DPR terhadap pemerintah, termasuk presiden. Dalam konteks hukum tata usaha negara, perdebatan antara penggunaan MK atau hak angket untuk menyelesaikan ketidakpuasan terhadap hasil Pilpres menggambarkan dinamika hubungan antara lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ada beberapa aspek hukum tata usaha negara yang perlu diperhatikan:
- Prinsip Pembagian Kekuasaan: Prinsip ini menetapkan bahwa kekuasaan negara dibagi antara tiga lembaga utama: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam konteks ini, perlu dipertimbangkan apakah penggunaan hak angket oleh DPR memperkuat atau malah melemahkan pembagian kekuasaan tersebut.
- Prinsip Keterbukaan dan Akuntabilitas: Hak angket menjadi salah satu instrumen penting dalam menegakkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Namun demikian, penggunaannya juga harus memperhatikan batasan-batasan hukum dan tujuan yang jelas untuk menghindari penyalahgunaan
- Kewenangan Mahkamah Konstitusi: MK memiliki peran penting dalam menjamin kepatuhan terhadap konstitusi dan menyelesaikan sengketa yang timbul dari proses politik, termasuk hasil Pilpres. Kewenangan ini merupakan cerminan dari prinsip supremasi konstitusi dalam sistem hukum Indonesia.
- Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia: Dalam menyelesaikan sengketa politik seperti Pilpres, perlindungan terhadap hak asasi manusia dan keadilan hukum harus menjadi perhatian utama. Kedua lembaga, baik DPR dengan hak angketnya maupun MK, harus memastikan bahwa proses penyelesaian sengketa tersebut berlangsung dengan adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis.
Dengan menganalisis kasus ini dari perspektif hukum tata usaha negara, kita dapat melihat bahwa penyelesaian ketidakpuasan terhadap hasil Pilpres melalui MK atau hak angket melibatkan pertimbangan yang kompleks terkait dengan prinsip-prinsip dasar sistem ketatanegaraan Indonesia. Penting bagi semua pihak untuk memahami dan menghormati peran masing-masing lembaga serta menjaga keseimbangan dan keadilan dalam menjalankan fungsi- fungsinya.
Baca juga: Peran Penting Pengacara Dalam Proses Pemilu
Adapun pernyataan yang diberikan oleh Yusril Ihza Mahendra mengenai penyelesaian ketidakpuasan terhadap hasil Pilpres melalui Mahkamah Konstitusi (MK) menggaris bawahi pentingnya memahami dan menghormati peran masing-masing lembaga dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Meskipun MK memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pilpres, penggunaan hak angket oleh DPR juga merupakan instrumen sah dalam tata usaha negara. Dalam menyelesaikan sengketa politik seperti Pilpres, penting bagi semua pihak untuk memastikan bahwa proses penyelesaian tersebut berlangsung dengan adil, sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis, dan menjaga keseimbangan antara kekuasaan lembaga-lembaga negara.
Respon (2)