Di balik eksotisme Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, terdapat praktik adat yang menuai beragam kontroversi berupa kawin tangkap. Bagi sebagian masyarakat adat Sumba, kawin tangkap merupakan bagian dari tradisi pernikahan yang telah berlangsung turun-temurun. Namun, di era modern yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, praktik ini kerap dipandang sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Pada September 2023 lalu, sebuah video viral di media sosial yang memperlihatkan seorang wanita di Sumba “ditangkap” oleh sekelompok pria dan dibawa secara paksa dengan pick-up untuk dinikahkan (Detik.com, 2023). Kejadian ini sontak mengundang kecaman luas. Banyak pihak menyebutnya sebagai pelanggaran HAM dan kekerasan berbasis gender, sementara sebagian masyarakat Sumba justru menganggapnya sebagai bagian dari adat yang tidak bisa dipisahkan dari identitas budaya mereka.
Baca juga: Sumber Hukum Adat
Kawin Tangkap: Tradisi atau Kekerasan?
Kawin tangkap secara sederhana dipahami sebagai praktik “menangkap” perempuan untuk dinikahkan, sering kali tanpa sepengetahuan dan persetujuan si perempuan atau bahkan keluarganya. Dalam perspektif adat Sumba, kawin tangkap adalah bagian dari prosesi menuju pernikahan yang sah dan diterima secara sosial. Ia menjadi simbol keberanian laki-laki dan dianggap sebagai bentuk kesungguhan dalam meminang perempuan.
Budaya ini seolah menempatkan perempuan Sumba sebagai kaum yang rendah dan rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan fisik dan seksual. Sehingga, tak jarang dalam praktiknya, kawin tangkap ini melahirkan trauma bagi perempuan. Alih-alih menjadi prosesi sakral, kawin tangkap kerap berubah menjadi ajang pemaksaan, bahkan dalam beberapa kasus berujung pada kekerasan fisik maupun psikologis.
Menurut laporan dari pengamat budaya Sumba, Frans Wora Hebi mengatakan bahwa kawin tangkap “bukan budaya turun-temurun”, melainkan praktik yang berkembang dengan berlindung di balik klaim budaya demi menghindari tindakan hukum (BBC.com, 2020).
Perspektif Teori Hukum Adat
Jika sebelumnya teori Rechtgemeenschap dari Van Vollenhoven atau Beslissingstheorie dari Ter Haar sering digunakan untuk membahas kekuatan hukum adat, maka dalam konteks kawin tangkap, Teori Integrasi dari Soepomo (1930-an) terasa lebih relevan. Soepomo menyatakan bahwa hukum adat di Indonesia bersifat integralistik, di mana masyarakat dipandang sebagai satu kesatuan organis, bukan kumpulan individu.
Dalam perspektif ini, tindakan kawin tangkap tidak semata-mata dilihat dari kerugian individu (perempuan), tetapi juga dari relasi antar keluarga besar. Oleh karena itu, penyelesaiannya pun sering kali fokus pada rekonsiliasi antarkeluarga, bukan pemenuhan keadilan individu.
Namun, teori ini mulai mendapat tantangan ketika dikaitkan dengan prinsip hak asasi manusia modern yang lebih menekankan pada otonomi dan martabat individu. Jika hukum adat hanya mengejar harmoni sosial, bagaimana dengan hak perempuan sebagai subjek hukum yang mandiri?
Hukum Negara dan Tantangan Perlindungan Perempuan
Jika ditarik ke dalam hukum positif Indonesia, praktik kawin tangkap bisa bertentangan dengan berbagai aturan perundang-undangan, seperti:
- UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT)
- UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
- Pasal 332 KUHP, yang mengatur tentang membawa lari perempuan di bawah umur untuk dinikahi tanpa izin orang tua.
Dalam konteks hukum negara, kawin tangkap yang dilakukan tanpa persetujuan bisa dikategorikan sebagai penculikan atau bahkan kekerasan seksual. Komnas Perempuan sendiri dalam beberapa laporannya menyebutkan bahwasanya praktik ini berpotensi menjadi ruang tumbuh kembangnya kekerasan berbasis gender yang dilegalkan oleh budaya.
Namun, bagi masyarakat adat Sumba, membawa persoalan kawin tangkap ke ranah hukum negara dianggap sebagai tindakan yang “mengusik” tatanan adat. Perempuan yang berhasil melarikan diri dengan bantuan hukum, akan distigma oleh masyarakat sebagai perempuan yang sudah terbuang. Stigma ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental perempuan tetapi juga dapat berimbas pada hak ekonomi yang perempuan itu miliki, misalnya kesulitan mendapatkan pekerjaan karena dianggap “tidak sesuai adat” (Komnas Perempuan, 2023). Masyarakat adat Sumba beranggapan, selama prosesi adat tetap dijalankan, dan pihak keluarga akhirnya berdamai, negara tak perlu mencampuri urusan mereka.
Baca juga: Hukum
Kesimpulan
Kasus kawin tangkap di Sumba memperlihatkan betapa rumitnya posisi hukum adat dalam masyarakat modern. Di satu sisi, hukum adat merupakan warisan budaya yang harus dihormati. Namun di sisi lain, hukum adat tidak boleh menjadi dasar bagi pelanggaran hak asasi manusia, khususnya terhadap perempuan.
Teori-teori hukum adat mengajarkan bahwa hukum hidup dan berkembang dari masyarakat. Tapi, perkembangan zaman menuntut agar hukum adat juga berevolusi dan beradaptasi dengan nilai-nilai keadilan universal, terutama dalam melindungi kelompok rentan.
Persoalannya kini bukan lagi apakah kawin tangkap sah secara adat, melainkan apakah adat semacam itu masih relevan jika bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia? Sudah saatnya hukum adat direformulasi, bukan untuk menghilangkannya, tetapi untuk memastikan bahwa nilai-nilai budaya tidak melukai martabat dan hak individu.
Pada akhirnya, keadilan bukan hanya milik komunitas, tetapi juga milik setiap orang yang ada di dalamnya, termasuk perempuan yang selama ini sering kali menjadi korban dalam tradisi.
Penulis
Faizyah Artika Harani
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Referensi
Van Vollenhoven, C. (1901). Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië. Leiden: Brill.
Ter Haar, B. (1948). Beginselen en Stelsel van het Adatrecht. Bandung: C. Van Dorp.
Soepomo, R. 1967. Hukum Perdata Adat Djawa Barat. Diterjemahkan oleh Nj. Nani Soewondo SH (dari Het adatprivaatrecht van West-Java, 1933). Djambatan, Djakarta.
Komnas Perempuan. (2023). Laporan Tahunan tentang Kekerasan Berbasis Gender. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
KUHP (2023). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM.
Detik.com. (2023, 8 September). Viral Aksi Kawin Tangkap di NTT, Wanita Diculik-Diangkut Pikap. Diakses pada 25 Maret 2025, dari https://news.detik.com/video/
BBC.com. (2023, 9 September). Kawin tangkap terulang lagi di Sumba, mengapa ‘kekerasan berdalih tradisi’ ini perlu dihapus?. Diakses pada 25 Maret 2025, dari https://www.bbc.com/indonesia/
Respon (2)