PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Kepercayaan dalam Memilih Lokasi Tanah Menurut Adat Jawa: Menjaga Harmoni antara Tradisi dan Modernitas

Adat

Kepercayaan dalam Memilih Lokasi Tanah Menurut Adat Jawa

Di tengah arus modernisasi yang semakin cepat, masyarakat Jawa tetap memegang teguh kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun dalam memilih lokasi tanah. Tradisi ini bukan sekadar mitos, melainkan bagian penting dari identitas budaya yang kental dengan nilai-nilai kearifan lokal. Kepercayaan bahwa lokasi tanah tertentu bisa mendatangkan keberuntungan atau sebaliknya membawa nasib buruk masih sangat hidup di berbagai kalangan, meskipun sistem hukum pertanahan modern semakin menekankan aspek legalitas dan transparansi.

Dalam praktiknya, pemilihan lokasi tanah berdasarkan kepercayaan adat menjadi salah satu upaya untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan lingkungan. Masyarakat Jawa percaya bahwa ada “energi” tertentu yang terkandung dalam setiap sudut tanah. Misalnya, tanah yang pernah menjadi tempat pembuangan sampah, bekas kuburan, atau yang menghadap persimpangan jalan diyakini menyimpan aura negatif yang berpotensi mendatangkan malapetaka bagi pemiliknya. Sebaliknya, tanah yang memiliki sejarah “suci” atau memiliki kaitan dengan peristiwa penting dalam kehidupan leluhur dipercaya mampu membawa berkah dan kemakmuran.

Kepercayaan ini biasanya dituangkan melalui primbon, kumpulan pengetahuan tradisional yang tidak hanya mengandalkan perhitungan astrologi, tetapi juga menggabungkan nilai-nilai spiritual dan filosofi kehidupan. Primbon menjadi pedoman dalam menentukan “keselarasan” suatu lokasi dengan kehidupan manusia, sehingga di balik proses jual beli tanah pun sering kali terdapat pertimbangan atas segi simbolis yang tidak bisa diabaikan. Budaya memilih lokasi tanah secara adat ini, meskipun tidak selalu terlihat rasional menurut logika modern, memiliki tempat tersendiri dalam masyarakat sebagai warisan budaya yang mengakar.

Baca juga: Kawin Tangkap di Sumba dalam Perspektif Hukum Adat: Warisan Budaya atau Pelanggaran Hak Asasi?

Hukum adat Jawa sendiri merupakan sistem norma yang telah terbentuk sejak lama dan berkembang melalui interaksi sosial dalam komunitas. Sistem hukum ini mengatur berbagai aspek kehidupan, termasuk kepemilikan tanah. Salah satu konsep penting dalam hukum adat adalah hak ulayat, yaitu hak kepemilikan yang bersifat kolektif dan diwariskan secara turun-temurun. Hak ulayat ini tidak hanya meliputi aspek ekonomi, tetapi juga nilai-nilai budaya dan spiritual yang dianggap suci oleh masyarakat. Oleh karena itu, keputusan mengenai penggunaan dan pengelolaan tanah sering kali melibatkan tokoh adat atau sesepuh yang memiliki pengetahuan mendalam tentang tradisi dan simbol-simbol yang terkandung di dalamnya.

Dalam dinamika kehidupan modern, benturan antara hukum pertanahan nasional dan kepercayaan adat menjadi sebuah dilema. Di satu sisi, Undang-Undang Pokok Agraria dan berbagai regulasi lainnya menuntut kepastian hukum melalui dokumen resmi dan prosedur administrasi yang ketat. Di sisi lain, masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai tradisional sering kali merasa bahwa aspek-aspek simbolis dan kultural yang ada dalam kepercayaan adat tidak dapat diabaikan begitu saja. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya perdebatan, terutama ketika transaksi tanah menjadi sorotan karena adanya kekhawatiran terhadap “energi negatif” yang mungkin melekat pada tanah tertentu.

Praktik kepercayaan dalam memilih lokasi tanah ini pun memiliki dampak nyata di lapangan. Banyak transaksi jual beli tanah di wilayah yang masih kental dengan budaya adat, di mana pembeli tidak hanya memperhatikan legalitas dokumen, tetapi juga mempertimbangkan sejarah dan status “kesucian” tanah tersebut. Beberapa kalangan bahkan rela menolak untuk membeli tanah yang meskipun memiliki harga yang kompetitif, namun menurut penilaian adat dinilai kurang “berkah”. Sebaliknya, tanah yang dinilai suci atau memiliki nilai historis tinggi cenderung memiliki nilai jual yang lebih besar karena diyakini membawa keberuntungan dan kemakmuran bagi pemiliknya.

Fenomena ini menegaskan bahwa kepercayaan adat masih memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan masyarakat, terutama di daerah-daerah di mana tradisi dan nilai-nilai leluhur masih dijunjung tinggi. Bukan hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap nenek moyang, kepercayaan ini juga menjadi bagian dari upaya menjaga identitas budaya di tengah gempuran modernitas. Dalam konteks yang lebih luas, keberadaan kepercayaan adat tentang pemilihan lokasi tanah menjadi cermin dari upaya masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang dianggap mampu menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.

Baca juga: RUU Masyarakat Adat Digantung: DPR Mempertimbangkan Atau Melupakan?

Meski demikian, muncul pula tantangan dalam upaya mengintegrasikan kepercayaan adat dengan sistem hukum modern. Praktik-praktik tradisional yang bersifat fleksibel dan berdasarkan pada nilai-nilai spiritual kerap kali sulit untuk diselaraskan dengan mekanisme hukum yang lebih kaku dan administratif. Perbedaan paradigma ini mengakibatkan perlunya dialog yang lebih intens antara pemerintah, akademisi, dan tokoh adat agar tercipta mekanisme mediasi yang dapat mengakomodasi kedua perspektif tersebut. Di beberapa wilayah, telah mulai muncul inisiatif untuk mengintegrasikan nilai-nilai adat dalam proses penyelesaian sengketa lahan, di mana mediasi adat menjadi salah satu alternatif penyelesaian konflik yang semakin diminati.

Dalam perjalanan waktu, masyarakat dan pemerintah diharapkan dapat menemukan titik temu yang harmonis antara penghargaan terhadap tradisi dan kebutuhan akan kepastian hukum. Proses integrasi ini tidak hanya akan memperkaya sistem hukum pertanahan nasional, tetapi juga memastikan bahwa nilai-nilai budaya yang telah diwariskan oleh leluhur tetap terjaga dan relevan di era modern. Dialog yang konstruktif antara berbagai pihak menjadi kunci untuk mencapai keseimbangan tersebut, di mana kepercayaan tradisional dapat hidup berdampingan dengan regulasi modern demi terciptanya keadilan sosial yang lebih luas.

Melihat kondisi tersebut, penting bagi semua pihak untuk terus mengedepankan pendekatan yang inklusif. Peran serta masyarakat adat, dengan segala kepercayaan dan tradisinya, harus dihargai sebagai bagian integral dari identitas bangsa. Di sisi lain, pemerintah dan lembaga hukum juga perlu berupaya menyelaraskan kebijakan yang ada agar tidak mengabaikan nilai-nilai kultural yang diyakini dapat menjaga keharmonisan dan kesejahteraan masyarakat. Sinergi antara tradisi dan modernitas inilah yang pada akhirnya akan menciptakan landasan hukum pertanahan yang tidak hanya kuat secara formal, tetapi juga mengakar pada nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa.

Dengan demikian, meski arus modernitas terus berkembang, kepercayaan dalam memilih lokasi tanah menurut adat Jawa tetap menjadi warisan budaya yang memiliki nilai dan manfaat tersendiri. Tradisi ini mengingatkan kita bahwa di balik segala kemajuan teknologi dan regulasi modern, terdapat kearifan lokal yang patut dipertahankan dan dijadikan sumber inspirasi dalam mengelola kehidupan bersama.

Penulis

Ilham Ainurrofiq

Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *