Kawin Lari (Silariang) di Sulawesi Barat
Kawin lari atau silariang merupakan praktik perkawinan yang melanggar norma adat di Sulawesi Barat, khususnya dalam masyarakat Mandar dan Bugis. Tradisi ini sering kali memicu konflik sosial karena dianggap merusak harga diri (siri’) keluarga perempuan. Artikel ini akan menganalisis kasus silariang di Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, melalui lensa teori hukum adat, termasuk mekanisme sanksi, proses rekonsiliasi, serta tantangan dalam harmonisasi dengan hukum nasional.
Teori Hukum Adat dan Konsep Siri’
Hukum adat di Sulawesi Barat bersumber pada nilai-nilai budaya yang menekankan kehormatan (siri’) dan keseimbangan sosial. Menurut teori hukum adat Soepomo, sistem ini bersifat dinamis dan berfungsi menjaga kohesi komunitas melalui sanksi sosial. Siri’ menjadi inti dari hukum adat setempat, di mana pelanggaran seperti silariang dianggap sebagai tindakan memalukan yang wajib diselesaikan secara adat untuk memulihkan martabat keluarga.
Ciri khas hukum adat dalam kasus ini meliputi:
- Sanksi sosial non-fisik: Pengucilan (pengusiran dari desa) dan penghinaan publik.
- Peran tokoh adat: Mediasi oleh pemangku adat (tomakaka) untuk mencapai kesepakatan.
- Fleksibilitas: Proses penyelesaian disesuaikan dengan tingkat kesepakatan keluarga.
Studi Kasus: Silariang di Kecamatan Bonehau
Kasus kawin lari (silariang) yang terjadi di Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, melibatkan pasangan muda, AS (laki-laki) dan DA (perempuan). Keduanya berasal dari keluarga yang terhormat dalam masyarakat setempat. Namun, perbedaan status sosial dan ekonomi menjadi penghalang bagi hubungan mereka. DA berasal dari keluarga yang lebih mapan, sementara AS berasal dari latar belakang ekonomi yang lebih sederhana. Ketika AS melamar DA, keluarga DA menolak lamaran tersebut dengan alasan perbedaan status.
Merasa tertekan dan tidak ingin kehilangan satu sama lain, AS dan DA memutuskan untuk melarikan diri bersama pada suatu malam. Mereka berencana untuk menikah secara adat di tempat yang jauh dari pandangan keluarga. Keputusan ini diambil sebagai bentuk protes terhadap norma-norma sosial yang membatasi kebebasan mereka untuk memilih pasangan hidup. Namun, tindakan ini segera diketahui oleh keluarga DA, yang merasa kehormatan mereka tercoreng akibat tindakan silariang tersebut.
Keluarga DA sangat marah dan merasa terhina karena tindakan anak perempuan mereka yang melarikan diri tanpa izin. Mereka segera melaporkan kejadian ini kepada tokoh adat setempat (tomakaka), meminta agar hukum adat diterapkan untuk menyelesaikan masalah ini. Dalam masyarakat Sulawesi Barat, pelanggaran seperti silariang dianggap serius dan dapat merusak reputasi keluarga. Menurut adat Seda’, tindakan ini dianggap melanggar siri’ dan dikenai sanksi sebagai berikut:
Proses Penanganan Adat
- Pelaporan ke Tokoh Adat: Keluarga perempuan melaporkan kasus ke tomakaka untuk memulai mediasi.
- Pemanggilan Pelaku: AS dan DA dipanggil dalam pertemuan adat (appalakkang) dihadiri seluruh warga.
- Penjatuhan Sanksi:
- Pengucilan: Keluarga AS diusir sementara dari desa hingga proses rekonsiliasi selesai.
- Denda Adat: AS wajib membayar 10 ekor kerbau sebagai ganti rugi simbolis.
- Ritual Abbaji: Upacara perdamaian dengan penyembelihan hewan dan permintaan maaf resmi.
Dampak Sosial
- Pemulihan Siri’: Keluarga DA merasa kehormatannya dipulihkan setelah denda dibayar.
- Tekanan Psikologis: AS dan DA menghadapi stigma sebagai “tunnyala” (pelaku pelanggaran adat) selama bertahun-tahun.
Analisis Hukum Adat vs. Hukum Nasional
Meski efektif secara sosial, penerapan hukum adat Seda’ menghadapi tantangan kompleks:
Konflik dengan Hukum Positif
- KUHP vs. Sanksi Adat:
Sanksi pengusiran dan denda adat tidak diakui dalam hukum nasional. Misalnya, pembongkaran rumah pelaku silariang di Bantaeng (Sulsel) dianggap sebagai tindakan main hakim sendiri yang melanggar KUHP Pasal 170.
- Status Pernikahan:
Menurut UU No. 16/2019, pernikahan tanpa izin orang tua tetap sah jika memenuhi syarat agama, sementara adat Seda’ menganggapnya tidak sah tanpa ritual abbaji.
Isu Hak Asasi Manusia
- Pengucilan: Sanksi ini berpotensi melanggar hak ekonomi dan sosial pelaku, terutama jika mereka kehilangan akses ke tempat tinggal atau pekerjaan.
- Kekerasan Simbolis: Tekanan psikologis akibat stigma tunnyala dapat memicu depresi atau konflik berkepanjangan.
Perubahan Sosial
- Generasi Muda: Banyak pemuda mulai mengabaikan hukum adat dan memilih menyelesaikan silariang melalui jalur hukum formal.
- Globalisasi: Pengaruh nilai individualis mengurangi kekuatan sanksi sosial dalam masyarakat adat.
Rekomendasi untuk Harmonisasi Hukum
- Kodifikasi Hukum Adat: Mendokumentasikan sanksi adat secara tertulis untuk memastikan konsistensi dan transparansi.
- Mediasi Hybrid: Mengintegrasikan peran tokoh adat dalam proses pengadilan formal sebagai konsultan budaya.
- Edukasi Publik: Sosialisasi tentang pentingnya menghormati hak asasi manusia dalam penegakan hukum adat.
Kesimpulan
Kasus silariang di Sulawesi Barat menunjukkan bagaimana hukum adat berfungsi sebagai penjaga kehormatan komunitas. Namun, dinamika modern menuntut adaptasi agar sanksi adat tidak bertentangan dengan prinsip keadilan universal. Sinergi antara hukum adat dan nasional, serta peningkatan kesadaran hak asasi manusia, menjadi kunci untuk mempertahankan relevansi hukum adat di era kontemporer.
Baca juga: Kawin Tangkap di Sumba dalam Perspektif Hukum Adat: Warisan Budaya atau Pelanggaran Hak Asasi?
Meskipun sanksi yang dijatuhkan, seperti pengucilan dan denda adat, berhasil memulihkan martabat keluarga DA dan mengembalikan hubungan antar-keluarga, tantangan tetap ada dalam bentuk stigma sosial yang melekat pada pasangan AS dan DA. Stigma ini dapat menghambat integrasi mereka kembali ke dalam komunitas, menunjukkan bahwa meskipun hukum adat efektif dalam menyelesaikan konflik, dampak sosial dari pelanggaran norma tetap memerlukan perhatian.
Kasus ini juga menyoroti pentingnya harmonisasi antara hukum adat dan hukum nasional. Sementara hukum adat memberikan solusi berbasis komunitas yang relevan dengan nilai-nilai lokal, perlu ada kesadaran akan hak asasi manusia dan perlunya perlindungan individu dalam konteks modern. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mendokumentasikan dan mengkodifikasi hukum adat agar lebih konsisten dengan prinsip-prinsip keadilan universal.
Secara keseluruhan, kasus silariang ini menunjukkan bahwa hukum adat tidak hanya berfungsi sebagai alat penegakan norma sosial tetapi juga sebagai jembatan untuk memahami perubahan nilai-nilai dalam masyarakat. Upaya untuk meningkatkan kesadaran akan hak-hak individu dan memperkuat posisi hukum adat dalam sistem hukum nasional sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang adil dan harmonis.