Bayangkan sebuah sengketa tanah yang memanas, melibatkan dua keluarga besar di Bali, tempat tanah bukan sekadar harta, tetapi warisan budaya dan spiritual. Di tengah modernisasi hukum dan pengadilan negara, mereka tidak berbondong-bondong ke meja hijau. Alih-alih, mereka memilih jalan yang berbeda: hukum adat. Di sinilah keunikan dan kekuatan hukum adat terungkap—bukan dengan buku hukum tebal, tetapi dengan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun.
Hukum adat tak hanya mampu menyelesaikan konflik, tapi juga menjaga harmoni sosial dan spiritual di masyarakat. Bagaimana mungkin aturan yang tak tertulis ini bisa tetap relevan di era modern? Mari kita telusuri lebih dalam. Apa itu hukum adat?
Baca juga: Menelisik Sisi Rasionalitas Mazhab Hukum Normatif dalam Realitas Sistem Hukum Adat Indonesia
Hukum adat merupakan salah satu warisan budaya yang masih hidup dan memiliki peranan penting dalam masyarakat Indonesia. Meski tidak tertulis, hukum adat mengatur tatanan kehidupan masyarakat di berbagai daerah dengan prinsip-prinsip yang mengedepankan harmoni dan keseimbangan sosial. Di tengah perkembangan zaman, hukum adat tetap relevan, terutama dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di komunitas-komunitas adat. Salah satu contoh menarik dalam penerapan hukum adat dapat kita temui di beberapa wilayah seperti Bali, Aceh, dan Papua.
Dalam artikel ini, kita akan membahas salah satu studi kasus penerapan hukum adat di Indonesia, yaitu penyelesaian sengketa tanah di Bali, yang mengandalkan kearifan lokal. Penerapan hukum adat ini mencerminkan teori-teori tentang hukum adat yang dikemukakan oleh beberapa ahli, termasuk Van Vollenhoven dan Ter Haar, yang berpendapat bahwa hukum adat memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan hukum negara modern, namun tetap efektif dalam menjaga keseimbangan sosial.
Bali adalah salah satu daerah yang terkenal dengan keberadaan hukum adat yang kuat, terutama yang berkaitan dengan hak atas tanah. Di Bali, tanah merupakan salah satu elemen penting dalam kehidupan sosial dan spiritual. Tidak jarang terjadi sengketa terkait tanah di sana, baik antarindividu maupun antar keluarga. Meskipun pemerintah telah memberlakukan hukum pertanahan nasional, banyak komunitas di Bali yang lebih memilih menyelesaikan sengketa tanah melalui mekanisme adat.
Dalam satu kasus yang terjadi pada tahun 2022 di Desa Tenganan, Karangasem, sengketa tanah muncul antara dua keluarga besar terkait klaim kepemilikan lahan yang digunakan untuk upacara adat. Kedua keluarga mengklaim tanah tersebut sebagai milik nenek moyang mereka dan penting untuk kelangsungan ritual-ritual adat.
Penyelesaian sengketa ini tidak dibawa ke pengadilan negeri, tetapi diselesaikan melalui forum desa adat yang dipimpin oleh prajuru (pemimpin adat). Prajuru berperan sebagai hakim yang mendengarkan argumen dari kedua belah pihak dan memutuskan berdasarkan bukti adat serta kesaksian dari tetua desa yang mengetahui sejarah tanah tersebut.
Teori hukum adat yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven dan Ter Haar sangat relevan dalam memahami cara kerja hukum adat di Bali. Van Vollenhoven berpendapat bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup, berkembang, dan berlaku di dalam masyarakat. Menurutnya, hukum adat tidak hanya mengatur hubungan antar manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan alam dan dunia spiritual. Inilah mengapa penyelesaian sengketa tanah di Bali seringkali melibatkan unsur-unsur spiritual dan ritual adat.
Sementara itu, Ter Haar menekankan bahwa hukum adat memiliki kekuatan tersendiri karena didasarkan pada nilai-nilai yang diakui secara kolektif oleh masyarakat. Hukum adat lebih mementingkan keseimbangan sosial daripada kebenaran absolut seperti dalam sistem hukum negara. Dalam kasus sengketa tanah di Bali, keputusan yang diambil oleh prajuru tidak semata-mata berfokus pada siapa yang benar secara legal formal, tetapi pada bagaimana menjaga keharmonisan antar keluarga di desa tersebut.
Dalam proses mediasi yang berlangsung selama beberapa minggu, kedua keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan bukti-bukti yang mereka miliki, seperti prasasti kuno dan kesaksian tetua desa. Prajuru kemudian melakukan “mepahit-pahitan,” sebuah proses diskusi tertutup yang melibatkan para pemimpin adat dan tokoh-tokoh spiritual desa untuk mencari solusi terbaik yang tidak hanya adil secara hukum adat, tetapi juga dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Akhirnya, prajuru memutuskan bahwa tanah tersebut akan tetap menjadi milik komunitas adat, bukan individu tertentu. Kedua keluarga diizinkan untuk menggunakan lahan tersebut secara bergantian sesuai dengan jadwal upacara adat yang telah ditetapkan bersama. Keputusan ini diterima dengan baik oleh kedua pihak, karena dianggap adil dan tidak merugikan salah satu pihak. Selain itu, keputusan ini juga memperkuat rasa kebersamaan dan tanggung jawab bersama dalam menjaga tradisi desa.
Studi kasus di Bali ini menunjukkan bahwa hukum adat tetap relevan dan efektif dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di masyarakat adat, meskipun Indonesia telah memiliki sistem hukum nasional yang modern. Hal ini juga memperlihatkan fleksibilitas hukum adat yang dapat menyesuaikan diri dengan dinamika sosial dan kebutuhan masyarakat setempat.
Sebagaimana dijelaskan oleh Van Vollenhoven, hukum adat adalah hukum yang hidup dan terus berkembang seiring dengan perubahan zaman. Di era modern ini, hukum adat di Bali mampu berdampingan dengan hukum negara dan bahkan seringkali lebih efektif dalam menyelesaikan konflik di tingkat komunitas lokal.
Hukum adat memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan sosial di berbagai komunitas adat di Indonesia. Dalam kasus sengketa tanah di Bali yang dibahas di atas, kita bisa melihat bagaimana nilai-nilai adat yang diwariskan secara turun-temurun masih menjadi panduan utama dalam menyelesaikan konflik. Keputusan yang diambil berdasarkan prinsip-prinsip hukum adat tidak hanya adil secara hukum, tetapi juga mampu menjaga keharmonisan dan kesatuan masyarakat.
Baca juga: Polemik Pembentukan Kementerian Masyarakat Hukum Adat
Penerapan hukum adat seperti ini membuktikan bahwa meskipun zaman terus berubah, kearifan lokal yang tertanam dalam hukum adat tetap memiliki tempat yang penting dalam masyarakat Indonesia. Pengakuan terhadap hukum adat bukan hanya sebagai bagian dari sejarah, tetapi juga sebagai bagian dari solusi untuk masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat di zaman modern.
Referensi
Ter Haar, B. (1948). Adat Law in Indonesia. W. van Hoeve Publishers.