Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai macam aspek. Indonesia memiliki berbagai macam kekayaan yang patut disyukuri, baik dalam aspek potensi kekayaan sumber daya alamnya, maupun aspek sosiologisnya. Menurut data yang dikemukakan oleh United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), Indonesia merupakan archipelago atau negara kepulauan terbesar di dunia, dengan pulau yang berjumlah lebih dari 17.000 serta total luas wilayah mencapai 1.904.569 km2.
Ditinjau lebih lanjut, secara geografis, Indonesia merupakan negara yang berposisi sangat strategis. Indonesia diapit oleh dua samudra, yakni Samudera Hindia dan Samudra Pasifik, serta diapit dua benua besar, yakni Benua Asia di sebelah Barat Laut dan Benua Australia di sebelah Tenggara. Ini memberikan banyak dampak positif bagi Indonesia, mulai dari fleksibilitas akses logistik, terbukanya jalur ekspor dan impor yang lebih memadai, serta kemudahan jalur pariwisata, dan seterusnya yang berimbas pada potensi kenaikan devisa yang sangat menguntungkan.
Baca juga: Perbedaan Upaya Hukum Biasa Dan Upaya Hukum Luar Biasa
Dari konteks kekayaan geografis tadi, Indonesia memiliki ribuan pulau yang terbentang, dari Sabang sampai Merauke. Keadaan inilah yang melahirkan kekayaan Indonesia dari segi aspek sosiologisnya; yakni keberagaman suku, budaya, dan agama. Dengan beragamnya suku, budaya, dan agama yang membentang di seluruh negeri, menciptakan nuansa sosiologis yang sangat heterogen dan plural. Imbas dari itu, menghasilkan banyak sekali nilai-nilai moral dan kebudayaan yang hidup di masyarakat.
Dalam perspektif hukum, hasil dari kekayaan moral dan budaya tadi, terciptalah sistem hukum tersendiri, yakni sistem hukum adat. Salah satu pemikir hukum Indonesia, Soekanto, menyatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup (living law) yang hidup di masyarakat. Sehingga ketika pasca kemerdekaan, kedudukan negara sehendaknya memberikan ruang seluas-luasnya bagi perkembangan hukum adat di Nusantara ini (Taufani, 2023).
Menurutnya, negara harus menghormati bahkan mengakomodasi sistem hukum adat, sebagai salah satu kekayaan socio-legal yang dimiliki. Ini sudah diemplementasikan pada pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
Lantas, apakah sistem hukum adat tidak menimbulkan pertentangan, dalam konteks pemikiran hukum? memang, sistem hukum adat tidak menimbulkan “masalah” dalam mazhab hukum empiris. Bagaimana dengan perspektif mazhab hukum normatif, memandang sistem hukum adat?
Misalnya, Hans Kelsen dengan pendekatan teori “Hukum Murni”-nya. Ia berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral. Dalam konteks interpretasi hukum, ia menyatakan bahwa interpretasi hukum berhubungan dengan norma yang non empiris. Tesis tentang hukum dipisahkan dengan fakta (contohnya fakta sosial), diistilahkan dengan separability thesis; sedangkan hukum tidak perlu dipertimbangkan dengan moral yang berkembang, diistilahkan dengan normativity thesis (Asshiddiqe dan Safa’at, 2021).
Dalam konteks penelitian hukum (legal research), seorang cendekiawan hukum Indonesia, Peter Mahmud Marzuki, menyatakan bahwasannya tidak dijumpai dikotomi, antara penelitian normatif dan sosiologis seperti yang dijumpai di Indonesia selama ini. Begitu juga dikotomi antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empirik tidak dikenal. Baik di negara-negara common law system maupun civil law system, dikotomi semacam itu tidak pernah ada (Gozali, 2021).
Kalau ditelisik, pandangan-pandangan hukum normatif seperti ini, terkesan tidak realistis. Bagaimana mungkin, hukum tidak perlu mempertimbangkan faktor-faktor sosial, seperti budaya, agama, ekonomi, politik, dan lain sebagainya?
Memang, pandangan tentang hukum dan seluk-beluk kajiannya tidak perlu pertimbangan fakta sosial dan moral yang berkembang di masyarakat, terkesan irasional. Namun, jika ditinjau dari segi aspek budaya, menurut hemat saya pribadi, bisa dijadikan pertimbangan tersendiri.
Terlalu banyak hasil kulturasi yang berkembang di Indonesia. Ini menyebabkan sistem hukum adat, berupa adanya sanksi sosial, yang terkadang sebenarnya, relatif tidak perlu dipertambangkan. Misalnya, realitas budaya tentang arisan. Jikalau seorang ibu rumah tangga, enggan atau jarang ikut, maka diberi sanksi sosial, berupa dikucilkan oleh tetangga. Mengakarnya budaya tersebut, entah kenapa menjadi aturan mengikat dalam kehidupan sehari-hari. Banyak sekali realitas budaya kita, yang terkesan terlalu konvensional, bahkan primitif. Apakah hukum perlu, untuk terus mempertimbangkan budaya yang terlalu progresif, untuk dijadikan sumber hukum, yang menjadi living law yang sah di masyarakat?
Baca juga: Hukum Perkawinan Islam Menurut Empat (4) Mazhab – (Webinar Hukum Nasional Vol.09)
Makanya, seorang filsuf hukum bermazhab positivisme (mazhab hukum positivisme juga merupakan pemekaran corak pemikiran mazhab hukum normatif) John Austin, menyatakan “law is a command of the law giver.” Sejatinya, hanya norma dan hukum dari penguasalah, yang sah mengikat masyarakat (Rahmatullah, 2022). Dalam pandangan hukum positivisme, secara umum, penguasa dianggap sebagai sosok yang memiliki kapasitas kepemimpinan dan intelektual yang memadai, untuk merumuskan hukum.
Refleksi moral, juga dipercayakan lewat kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh penguasa. Hadirnya sang penguasa, berfungsi untuk memfiltrasi terlalu banyaknya nilai dan moral budaya yang terlalu masif berkembang bebas, tanpa adanya landasan orientasi yang jelas. Sebuah hal yang baik, jika nilai dan moral yang tumbuh berkembang di masyarakat, memiliki landasan intelektual dan humanisme yang terarah. Jika sebaliknya, justru akan menimbulkan dampak sosiologis yang sangat destruktif.
Variabel terikat berupa keberagaman budaya yang terlalu masif berkembang, tidak perlu menjadi pertimbangan lebih lanjut. Kita sebagai warga negara, cukup mematuhi semua regulasi, serta mengikatkan diri kita pada landasan norma, lewat rumusan-rumusan yang diciptakan oleh trias politica negeri kita. Kita mempercayakan patokan norma yang jelas, pada produk hukum penguasa. Inilah yang menjadi pertimbangan rasional, dalam memahami sudut pandang mazhab hukum yang bercorak normatif.
Referensi
Taufani, G. (2023). Kamus Pintar Hukum: Kamus Lengkap Dengan Asas-asas Hukum dan Pengantar Profesi Hukum. Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia.
Gozali, D. S. (2021). Ilmu Hukum dan Penelitian Ilmu Hukum. Yogyakarta: UII Press.
Asshiddiqie, J., & Safa’at, M. A. (2021). Seri Pemikir Hukum: Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Konstitusi Press.
Rahmatullah, I. (2022). Filsafat Positivisme Hukum (Legal Positivisme). ‘Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan, 6(2), 5.
Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Amandemen IV.