Mengenal Upaya Hukum Secara Umum
Upaya hukum sejatinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari mata rantai proses sebuah perkara. Upaya hukum secara umum dapat didefinisikan sebagai hak yang secara hukum diberikan kepada para pihak yang berada dalam suatu perkara untuk tidak menyetujui pendapat hakim dalam bentuk putusan pengadilan dan meminta pengoreksian atas pendapat tersebut melalui pengadilan yang lebih tinggi. Ketidaksetujuan ini sendiri wajib dinyatakan secara tertulis di kepaniteraan dan haruslah diaktekan dalam tenggang waktu yang telah ditentukan. Jika kemudian para pihak dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, tidak melakukan cara-cara yang telah ditentukan guna meminta pengoreksian kembali putusan pengadilan tersebut, maka para pihak dianggap telah menerima putusan pengadilan yang bersangkutan.
Upaya hukum sendiri dikenal dalam berbagai bidang hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum peradilan tata usaha negara, dan lain sebagainya. Dalam artikel ini, akan kita tinjau bentuk upaya hukum yang dimiliki oleh hukum pidana dan hukum perdata. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), jelas disebutkan dalam Pasal 1 angka 12, bahwasanya:
“Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Dalam pengertian yang dibawakan oleh Undang-Undang tersebut, upaya hukum dalam hukum pidana sendiri tidak hanya diberikan kepada terdakwa, tetapi juga pada penuntut umum. Dalam hal ini, penuntut umum juga dipandang sebagai pihak dalam perkara pidana yang berperan mewakili negara untuk menuntut di persidangan demi mewujudkan keadilan di masyarakat. Sehingga, ketika penuntut umum merasa bahwa keadilan tersebut belum terwujud dengan putusan pengadilan yang diberikan oleh hakim dalam pengadilan tingkat pertama, maka penuntut umum juga dapat mengajukan upaya hukum kepada pengadilan yang lebih tinggi. Pasal 1 angka 12 juga turut memberikan batasan upaya hukum yang dapat diajukan dalam perkara pidana, yakni berupa perlawanan, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Keempat upaya hukum ini sendiri dikategorikan kedalam upaya hukum yang berbeda, dimana perlawanan, banding, dan kasasi masuk dalam kategori upaya hukum biasa, sedangkan peninjauan kembali masuk dalam kategori upaya hukum luar biasa.
Upaya hukum dalam bidang hukum pidana sedikit berbeda dengan upaya hukum dalam bidang hukum perdata. Jika hukum pidana hanya mengenal empat jenis upaya hukum, hukum perdata sendiri mengenal lima jenis upaya hukum. Berdasarkan penjelasan Pasal 132 Herziene Indonesisch Reglement (HIR):
“Yang dimaksud dengan ‘upaya hukum’ dalam Pasal ini, yang dalam kata aslinya disebut sebagai ‘rechtsmiddel’, adalah jalan-jalan menurut hukum yang dapat ditempuh untuk dapat mencapai suatu keadilan.”
Adapun lima jenis upaya hukum tersebut terbagi dalam dua kategori, yakni upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Dalam hukum perdata, yang dimaksud dengan upaya hukum biasa adalah perlawanan terhadap putusan verstek, banding, dan kasasi. Sedangkan yang dimaksud dengan upaya hukum luar biasa adalah peninjauan kembali dan perlawanan pihak ketiga (derdenverzet).
Baca Juga: REVISI UNDANG-UNDANG PENYIARAN BATASI KEBEBASAN PERS
Meninjau Upaya Hukum Biasa Dalam Bidang Hukum Pidana dan Hukum Perdata
Upaya hukum biasa merupakan upaya hukum yang terbuka bagi seluruh putusan pengadilan dalam kurun waktu yang telah diatur dalam undang-undang. Upaya hukum biasa ini sifatnya adalah menghentikan proses eksekusi terhadap putusan untuk sementara waktu.
Upaya Hukum Biasa dalam Hukum Pidana
- Perlawanan (Pasal 156 ayat (3), (4), dan (5) KUHAP)
Perlawanan adalah sebuah upaya hukum yang dapat diajukan terhadap “putusan sela”. Putusan sela sendiri dijatuhkan oleh hakim terkait dengan eksepsi kewenangan mengadili. Terdapat beberapa ketentuan dalam KUHAP yang mengatur berkaitan dengan upaya hukum perlawanan, yakni:
Pasal 156 ayat (3) KUHAP:
“Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan tersebut, maka ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan.”
Pasal 156 ayat (4) KUHAP:
“Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima oleh pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu.”
Pasal 156 ayat (5) KUHAP:
Ayat 1:
“Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding oleh terdakwa atau penasihat hukumnya kepada pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari sejak ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan terdakwa, pengadilan tinggi dengan keputusan membatalkan keputusan pengadilan negeri yang bersangkutan dan menunjuk pengadilan negeri yang berwenang.”
Ayat 2:
“Pengadilan tinggi menyampaikan Salinan Keputusan tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang dan kepada pengadilan negeri yang semula mengadili perkara yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan negeri yang telah melimpahkan perkara itu.”
Dalam KUHAP sendiri tidak memberikan penjelasan berkaitan dengan tenggang waktu dalam mengajukan perlawanan. Maka, jika merujuk pada pendapat M. Yahya Harahap, tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan, yakni harus segera diajukan setelah adanya putusan sela yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri (pengajuan spontan) dan paling lama harus diajukan pada hari dimana putusan yang terakhir dijatuhkan. Adapun pihak yang berhak untuk mengajukan perlawanan adalah penuntut umum (jika eksepsi diterima) dan terdakwa dan/atau penasihat hukumnya (jika eksepsi ditolak atau tidak diterima).
- Banding (Pasal 233 – Pasal 243 KUHAP)
Banding merupakan salah satu bentuk upaya hukum biasa yang merupakan bagian dari kewenangan pengadilan tinggi sebagai judex factie. pengadilan tinggi selaku judex factie, diperkenankan untuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap seluruh aspek atau bagian dari perkara, tanpa perlu dihadiri oleh para pihak, meskipun kehadiran para pihak tersebut dimungkinkan. Hal ini dikarenakan pengadilan tinggi pada praktiknya hanya akan memeriksa berkas perkara saja. Dalam proses banding, perkara yang semula telah diperiksa oleh pengadilan negeri akan dianggap mentah kembali dan hakim pengadilan tinggi berhak untuk memutus dengan amar putusan yang sama ataupun berbeda berkaitan dengan substansi perkara tersebut. Terkait dengan waktu pengajuan banding adalah tujuh hari sejak perkara tersebut diputus oleh pengadilan negeri atau tujuh hari sejak putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir. Para pihak yang mengajukan banding, disarankan untuk membuat memori banding (meskipun tidak diwajibkan), yang memuat alasan para pihak dalam menolak putusan pengadilan tersebut.
- Kasasi (Pasal 244 – Pasal 258 KUHAP)
Kasasi merupakan salah satu bentuk upaya hukum biasa yang tersedia dalam bidang Hukum Pidana. Kasasi sendiri merupakan kewenangan dari Mahkamah Agung sebagai judex jurist. Selaku judex jurist, Mahkamah Agung tidak lagi akan memeriksa berbagai bukti dan fakta dalam substansi perkara, namun hanya akan memeriksa apakah hukum yang diterapkan dalam putusan pengadilan sebelumnya sudah tepat atau belum. Tenggang waktu pengajuan kasasi adalah 14 hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi tersebut disampaikan kepada terdakwa. Berbeda dengan upaya hukum banding, upaya hukum kasasi juga mewajibkan para pihak untuk membuat memori kasasi.
Baca Juga: WARISAN DIBAGIKAN SEBELUM MENINGGAL, BOLEHKAH? BERIKUT PENJELASANNYA
Upaya Hukum Biasa dalam Hukum Perdata
- Perlawanan (Verzet)
Perlawanan merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang dijatuhkan tanpa dihadiri oleh pihak tergugat (putusan verstek). Berkaitan dengan perlawanan sendiri diatur dalam Pasal 125 ayat (3) jo Pasal 129 HIR, Pasal 149 ayat (3) jo 153 Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Rbg). Perlawanan pada dasarnya diperuntukkan bagi pihak tergugat yang dikalahkan dalam persidangan, dan jikalau setelah dilakukan perlawanan, pihak tergugat dikalahkan kembali oleh karena tidak hadir dalam persidangan, maka pihak tergugat tidak dapat mengajukan perlawanan untuk yang kedua kalinya, melainkan hanya dapat mengajukan banding. Dalam perlawanan, gugatan akan kembali diperiksa dari awal dan akan diadakan jawaban, replik, duplik, dan konklusi. Sedangkan dalam banding, hanya terdapat memori banding semata. Perlawanan dapat diajukan dalam tenggang waktu empat belas hari sejak tergugat yang tidak hadir dalam persidangan menerima secara pribadi pemberitahuan mengenai putusan verstek. Namun, jika putusan verstek tidak diberitahukan secara pribadi kepada tergugat, maka tenggang waktu mengajukan perlawanan ditambah sampai hari kedelapan setelah teguran untuk melaksanakan putusan verstek tersebut.
- Banding
Banding merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan jika salah satu dari para pihak merasa keberatan dengan hasil putusan pengadilan. Putusan banding pada dasarnya diajukan oleh pihak yang dikalahkan dalam persidangan tingkat pertama. Ketentuan mengenai banding dapat dilihat dalam beberapa ketentuan, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura, Pasal 199 – Pasal 205 Rbg untuk luar Jawa dan Madura, serta Pasal 3 jo. Pasal 5 Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Permohonan banding hanya dapat diajukan dalam kurun waktu empat belas hari sejak putusan disampaikan oleh hakim persidangan, atau empat belas hari sejak putusan diberitahukan kepada para pihak yang tidak hadir. Sama seperti upaya hukum banding dalam hukum pidana, upaya hukum banding dalam hukum perdata juga menyarankan adanya memori banding guna mempermudah jalannya proses banding.
- Kasasi
Kasasi merupakan upaya hukum yang diajukan kepada Mahkamah Agung sebagai peradilan terakhir. Sama halnya dengan kasasi pada bidang hukum pidana, kasasi dalam bidang hukum perdata juga hanya meninjau apakah penerapan hukum terhadap putusan pengadilan sebelumnya telah tepat atau belum. Tenggang waktu pengajuan kasasi adalah empat belas hari sejak putusan pengadilan tinggi diberitahukan kepada tergugat, dan dikarenakan memori kasasi bersifat wajib, maka dalam tenggang empat belas hari sejak pernyataan kasasi muncul, maka pemohon kasasi diharuskan untuk memberikan memori kasasi.
Menilik Upaya Hukum Luar Biasa Dalam Bidang Hukum Pidana dan Hukum Perdata
Upaya hukum luar biasa adalah upaya hukum yang diajukan terhadap putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap sehingga pengajuannya tidak menangguhkan eksekusi.
Upaya Hukum Luar Biasa dalam Hukum Pidana
- Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali merupakan salah satu jenis upaya hukum luar biasa dalam bidang hukum pidana yang menjadi kewenangan daripada Mahkamah Agung. Peninjauan kembali disebut sebagai salah satu upaya hukum luar biasa dikarenakan dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau putusan pengadilan yang telah inkracht, kecuali terhadap putusan lepas atau bebas dari segala tuntutan hukum. Berdasarkan Pasal 263 KUHAP, maka permintaan untuk melakukan peninjauan kembali dapat datang dari terpidana sendiri maupun ahli warisnya. Sedangkan tenggang waktu untuk melakukan peninjauan kembali pun tidak ditentukan (artinya tidak dibatasi).
Upaya Hukum Luar Biasa dalam Hukum Perdata
- Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dapat diajukan dalam bidang hukum perdata. Peninjauan kembali dapat diajukan terhadap putusan yang dijatuhkan pada tingkat yang paling terakhir serta putusan yang dijatuhkan tanpa hadirnya tergugat (verstek) namun tidak lagi membuka kemungkinan dapat diajukan sebuah perlawanan. Sama halnya seperti peninjauan kembali dalam hukum pidana, peninjauan kembali dalam hukum perdata pun merupakan upaya untuk melakukan pemeriksaan kembali terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (menjadikan perkara mentah kembali). Dalam HIR tidak ditemukan ketentuan mengenai peninjauan kembali, maka pada umumnya pengadilan negeri akan menggunakan ketentuan peninjauan kembali dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv). Adapun beberapa contoh alasan seseorang mengajukan peninjauan kembali, yaitu apabila setelah perkara diputus, ternyata ditemukan bukti yang jika kemudian bukti tersebut ditemukan saat persidangan masih berlangsung, dapat mempengaruhi amar putusan hakim; apabila terdapat amar putusan yang melebihi sesuatu yang dituntut atau bahkan tidak dituntut sama sekali; apabila terdapat kekeliruan hakim yang sangat jelas dan nyata; dan lain sebagainya. Tenggang waktu mengajukan peninjauan kembali adalah 180 hari dihitung secara berbeda berdasarkan alasan pengajuan peninjauan kembali.
- Perlawanan Pihak Ketiga (Derdenverzet)
Perlawanan pihak ketiga merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang disediakan dalam bidang hukum perdata. Perlawanan pihak ketiga sejatinya dapat diajukan hanya jika pihak ketiga dirugikan oleh karena putusan pengadilan yang bersangkutan. Pada penerapannya, terdapat dua jenis perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga, yakni perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi dan perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan. Perlawanan tersebut diajukan kepada hakim yang memutuskan putusan yang dilawan tersebut dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan tata cara pengajuan gugatan pada umumnya.
Kesimpulan
Upaya hukum secara umum dapat didefinisikan sebagai hak yang secara hukum diberikan kepada para pihak yang berada dalam suatu perkara untuk tidak menyetujui pendapat hakim dalam bentuk putusan pengadilan dan meminta pengoreksian atas pendapat tersebut melalui pengadilan yang lebih tinggi. Adapun upaya hukum dibedakan menjadi dua, yakni upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa dalam hukum pidana terdiri dari perlawanan, banding, dan kasasi. Sedangkan upaya hukum luar biasa dalam hukum pidana terdiri dari peninjauan kembali. Dalam hukum perdata sendiri, upaya hukum biasa yang tersedia adalah perlawanan, banding, dan kasasi. Sedangkan upaya hukum luar biasa yang tersedia adalah peninjauan kembali dan perlawanan pihak ketiga (derdenverzet).
Baca Juga: Perbedaan Alat Bukti dan Barang Bukti dalam Perkara Pidana
Referensi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Herziene Indonesisch Reglement (HIR).
Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Rbg).
Laila M. Rasyid, S.H., M.Hum., et.all, Modul Pengantar Hukum Acara Perdata, Unimal Press: Sulawesi, 2015.
H. Suyanto, S.H., M.H., M.Kn., Hukum Acara Pidana, Zifataman Jawara: Sidoarjo, 2018.
Respon (1)