Beberapa waktu terakhir, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) telah secara aktif melakukan kajian terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran, dan merencenakan untuk melakukan revisi atas Undang-Undang Penyiaran yang lama, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Adanya wacana atas revisi UU Penyiaran sebenarnya telah sejak lama diupayakan, bahkan kajiannya telah dilakukan sejak tahun 2011. Namun adanya wacana tersebut, tak kunjung mendapatkan titik terang. Dalam beberapa waktu terakhir ini, isu atas revisi UU Penyiaran kian mencuat kembali, namun alih-alih mendapatkan dukungan dari masyarakat luas, draft RUU Penyiaran justru mendapatkan banyak kecaman dari berbagai pihak. Salah satu isu yang paling kontroversial dalam draft RUU penyiaran adalah bahwa RUU tersebut disinyalir dapat mengekang kebebasan pers, karena terdapat beberapa Pasal yang dianggap dapat mengganggu penyelenggaraan penyiaran jika RUU tersebut disahkan.
RUU Penyiaran Menimbulkan Banyak Kontra
Berbagai problematika yang ada dala draft RUU Penyiaran, sampai saat ini telah mendapatkan banyak pertentangan publik, mulai dari jurnalis, peneliti media, ahli hukum, bahkan influencer dan konten creator. Adanya pelarangan penayangan jurnalistik investigatif adalah salah satu poin yang ditentang banyak pihak.
Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI), pelarangan tersebut sangat bersifat ambigu dan dapat mengarah pada pembungkaman pers. “Ini sungguh aneh, mengapa di penyiaran tidak boleh ada investigasi?” ujar Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, pada Kamis (09/05).
Terkait pelarangan penyiaran jurnalistik investigatif, Peneliti Pusat Studi Media dan Komunikasi Remotivi, Muhamad Heychael juga ikut berpendapat. Menurutnya, pelarangan tersebut bersifat kontradiktif dengan prinsip jurnalistik, karena jurnalistik bukan hanya dituntut keakuratan dan kebenaran, tapi juga informasi yang bersifat aktual.
Lebih lanjut, RUU Penyiaran ini juga mendapat banyak kritikan dari para ahli hukum. Salah satunya adalah mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, I Dewa Gede Palguna. Palguna mengungkapkan bahwa RUU Penyiaran ini memiliki banyak problematika. Secara prinisil, menurutnya, RUU Penyiaran harus memperhatikan dua Batasan, yakni tidak merugikan kepentingan publik dan tidak menegasikan Undang-Undang Dasar (UUD). Sementara jika dilihat, berbagai ketentuan dalam RUU Penyiaran yang dapat berpotensi membatasi kebebasan pers sudah jelas-jelas tidak sesuai dengan khitah konstitusi. Pasal 28F UUD dengan tegas menyebutkan bahwa ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Pasal tersebut adalah salah satu dasar bahwa hak penyiaran adalah hak dasar yang harus dijamin, namun dengan adanya pembatasan sensor izin siaran dalam RUU Penyiaran yang bersifat subjektif, hak tersebut dapat berpotensi tercederai.
Baca Juga: WARISAN DIBAGIKAN SEBELUM MENINGGAL, BOLEHKAH? BERIKUT PENJELASANNYA
Pasal Kontroversial RUU Penyiaran
Dalam konteks kebebasan pers, terdapat dua isu besar yang sangat kontroversial yang disinyalir dapat mengancam kebebasan pers. Ketentuan tersebut terkait dengan kewenangan ekstra Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan larangan penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi.
- Kewenangan Ekstra Komisi Penyiaran Indonesia
Dalam draft RUU Penyiaran kewenangan dari KPI diperluas sampai pada ruang lingkup penyelesaian sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 8A ayat (1) huruf q. Pasal tersebut dinilai dapat mengintervensi terlalu jauh aktivitas jurnalistik, karena adanya kewenangan KPI tersebut dapat mempengaruhi hasil siaran dari lembaga penyiaran itu sendiri. Hal ini berbeda jika melihat mekanisme penyelesaian sengketa jurnalistik pada status quo yang menempatkan penyelesaian sengketa jurnalistik dalam mekanisme internal pada kewenangan Dewan Pers.
- Larangan Penyiaran Eksklusif Jurnalistik Investigasi
Poin problematik lainnya adalah terkait dengan larangan penyiaran eksklusif investigasi yang pada dasarnya adalah salah satu ketiatan jurnalistik yang sudah sangat lumrah dalam dunia jurnalistik. Hal tersebut diatur dalam Pasal 50B ayat (2) huruf c. Dimana ketentuan tersebut jelas-jelas telah membatasi kebebasan pers.
Baca Juga: Pro dan Kontra Penghapusan Diversi dalam Sistem Peradilan Anak
Hal Yang Terjadi Bila Disahkan RUU Penyiaran
Pada dasarnya RUU Penyiaran adalah salah satu bentuk reformasi dalam mengatasi permasalahan penyiaran di Indonesia, yang memang dari segi peraturan perundang-undangan perlu dilakukan adanya perbaikan. Akan tetapi, terdapat adanya berbagai permasalahan yang sangat kontroversial di dalam draft RUU tersebut. Sehingg perlu dilakukan adanya perbaikan dengan memperhatikan berbagai masukan dari pihak-pihak terkait seperti pers, akademisi, praktisi, maupun masyarakat luas. Dengan demikian pengesahan terhadap RUU Penyiaran dapat memenuhi prinsip meaningful participation yang mementingkan aspek-aspek substansial dalam penyelenggaraan negara. Namun, jika RUU Penyiaran akan disahkan tanpa dilakukan evaluasi atas beberapa pasal yang bermasalah, tentu hal ini akan menganggu kebebasan pers. Lebih jauh lagi jika itu terjadi, maka tentu hal tersebut akan merusak tatanan demokrasi di Indonesia yang akan bermuara pada pengekangan kebebasan berekspresi, berpendapat, dan pengekangan terhadap hak masyarakat yang untuk dapat mengakses informasi yang jelas dan aktual, yang tentu hal tersebut telah dengan jelas mencederai adanya prinsip negara hukum yang harus menjunjung tinggi adanya hak-hak tersebut sebagai suatu penjaminan hak asasi manusia.
Kesimpulan
RUU Penyiaran pada esensinya sangat penting dalam rangka mengevaluasi beragam permasalahan di bidang penyiaran yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat tertib hukum di era digital seperti sekarang ini. Namun terntunya adanya Draft RUU Penyiaran yang sekarang perlu dilakukan banyak evaluasi dan perbaikan sebelum disahkan, mengingat terdapat beberapa pasal yang kontroversial yang dapat mengekang kebebasan pers. Sehingga Pemerintah dan DPR harus terlebih dahulu mengevauasi pasal-pasal tersebut dengan tentunya melibatkan berbagai pihak dan dilakukan secara transparan.
Baca Juga: Pembatasan Publikasi Perkara yang Memuat Privasi Para Pihak
Referensi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Yance Arizona, Negara Hukum Bernurani: Gagasan Satjipto Rahardjo tentang Negara Hukum Indonesia, Jakarta: Epistema Institut, 2019.
Nur Aji Pratama, “Meaningful Participation Sebagai Upaya Kompromi Idee Des Recht Pasca Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020”, Jurna Crepido, Nomor 2, Volume 4, November 2022.
Pupung Arifin, RUU Penyiaran dan Ketidaksengajaan Informasi, kompas.com, Diakses pada 1 Juni 2024.
Unknown, Menngapa Draft Revisi UU Penyiaran Dinilai Bakal Memberangus Kebebasan Pers? – ‘Aneh, ada larangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi’, bbc.com/indonesia, Diakses pada 1 Juni 2024.
Ni Kadek Trisna Cintya Dewi, Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna: Hilangkan Pasal-Pasal Bermasalah di RUU Penyiaran, tempo.com, Diakses pada 1 Juni 2024.
Respon (1)