PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Polemik Pembentukan Kementerian Masyarakat Hukum Adat

Avatar of Pinter Hukum
Masyarakat Hukum Adat

Terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden baru pasca pesta demokrasi (Pemilu 2024) beberapa bulan yang lalu memunculkan isu hangat yang menghasilkan berbagai pandangan. Dalam proses menuju pelantikan dan penetapan presiden baru, salah satu hal yang juga turut disoroti adalah berkaitan dengan kementerian di masa pemerintahan yang akan datang. 

Berbagai pihak menyatakan dibutuhkan beberapa kementerian baru dalam rangka meningkatkan kinerja pemerintah terhadap beberapa urusan negara yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus dari pemerintah, salah satunya berkaitan dengan Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya disebut MHA). 

Bagian menimbang dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (selanjutnya disebut UU Kementerian) pada pokoknya menjelaskan bahwa suatu kementerian dimaksudkan untuk menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan dalam rangka mencapai tujuan negara. 

Baca juga: Pernyataan Yusril Ihza Mahendra Mengenai Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu Presiden

Tujuan negara Indonesia secara gamblang disebutkan dalam paragraf keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), salah satunya yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sehingga, kementerian harus dibuat dalam rangka memenuhi tujuan tersebut, dan termasuk didalamnya melindungi MHA. 

Pengertian Masyarakat Hukum Adat

Dalam hukum Internasional, Masyarakat Hukum Adat diakui melalui beberapa konvensi, salah satunya Konvensi MHA Tahun 1989 yang pada pokoknya mengamanatkan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok orang yang kondisi sosial, budaya, dan ekonominya dibedakan dengan masyarakat nasional, MHA diatur statusnya melalui adat dan tradisi tersendiri. 

Menurut Ter Haar, Masyarakat Hukum Adat didefinisikan dengan beberapa unsur seperti merupakan kelompok masyarakat teratur, memiliki wilayah menetap tertentu (teritorial), memiliki kekuasaan dan kekayaan, serta tidak ada keinginan untuk membubarkan atau melepaskan diri. 

Berdasarkan pengertian MHA tersebut  telah dapat dipahami bahwa terdapat urgensitas pengakuan dan pemenuhan hak-hak MHA sebagai bagian dari bangsa dan tumpah darah yang harus dilindungi, sehingga dibutuhkan perhatian khusus terhadapnya. 

Regulasi Masyarakat Hukum Adat

Pada dasarnya, MHA diatur secara konstitusional, khususnya pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang pada pokoknya memberikan beberapa kualifikasi diakuinya sebuah MHA yakni ketika MHA masih ada, selaras dengan perkembangan masyarakat dan NKRI, serta diatur dalam Undang-Undang. 

Lebih lanjut beberapa Undang-Undang sebagai peraturan turunan mengatur secara spesifik beberapa hal yang berkaitan dengan MHA, beberapa diantaranya:

  1. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA) yakni kaitannya dengan hak ulayat atas tanah.
  2. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yakni kaitannya dengan pengakuan HAM atas MHA.
  3. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yakni kaitannya dengan penguasaan hutan dan hutan adat 

Klasifikasi, pengakuan, dan pengaturan pada berbagai peraturan perundangan di Indonesia yang membahas terkait MHA masih belum selaras dan terintegrasi, padahal pengakuan terhadap wilayah adat dan MHA terus bertambah, sehingga negara seharusnya memberikan perhatian yang lebih terkait isu MHA. 

Urgensi Pembentukan Kementerian Masyarakat Hukum Adat 

Pada dasarnya, hal yang paling mudah dalam mengidentifikasi eksistensi Masyarakat Hukum Adat adalah dengan melihat karakteristik umumnya yang berupa wilayah (teritorial). Wilayah akan menunjukan identitas sosial, spiritual, bahkan budaya pada suatu MHA. 

Secara teritorial, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Indonesia pada Hari Masyarakat Adat Internasional (9 Agustus) merilis data wilayah adat di Indonesia yakni sebanyak 1.336 peta atau seluas  26,9 juta hektar. Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa Indonesia memiliki banyak wilayah dan kelompok MHA yang artinya juga harus dilindungi sebagai tujuan negara. 

Kondisi pemenuhan hak Masyarakat Hukum Adat yang saat ini masih belum maksimal dapat dilihat dari kasus Pulau Rempang. Konflik yang menimbulkan perebutan lahan antara masyarakat adat dan pemerintah yang juga melibatkan PT. Makmur Elok Graha ini sebagai salah satu contoh lemahnya perlindungan terhadap lahan MHA sehingga menyebabkan sengketa. 

Hal ini tidak sesuai dengan hak konstitusional MHA yang terdapat dalam Konvensi ILO 1986 yang salah satunya ialah hak atas tanah, pun peraturan tersebut dipertegas dengan UU PA mengenai pengakuan tanah MHA. 

Sengketa-sengketa yang terjadi menunjukan bahwa negara masih memiliki pekerjaan rumah dalam memenuhi hak masyarakat aslinya yakni MHA. Dengan kondisi Masyarakat Hukum Adat yang semakin termarjinalkan, maka dibutuhkan tindakan lebih konkrit dari pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan adat. 

Suatu kementerian adalah cara yang paling efektif untuk membuat pemerintah fokus terhadap penyelesaian dan pengembangan suatu persoalan. Asosiasi Pengajar Hukum Adat memohonkan perubahan UU Kementerian kepada MK, dengan harapan agar MHA termasuk dalam salah satu urusan yang diamanatkan undang-undang untuk dibuatkan suatu kementerian yang fokus mengurusi MHA dan hak-haknya. 

Baca juga: Hukum Adat di Indonesia

Kesimpulan

Menurut hemat penulis, pembentukan Kementerian Masyarakat Hukum Adat menjadi penting karena 3 hal antara lain:

Pertama, pembentukan Kementerian Masyarakat Hukum Adat selaras dengan tujuan negara yakni melindungi bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Kedua, peraturan perundang-undangan yang membahas tentang pengakuan keberasaan dan hak Masyarakat Hukum Adat di Indonesia masih tercecer dan tidak terintegrasi, sehingga tidak terlihat kefokusan negara dalam pemenuhan hak-haknya.

Ketiga, meningkatnya pengakuan wilayah adat yang diiringi dengan meningkatnya pula kasus sengketa antara pemerintah dan MHA merupakan suatu permasalahan serius. Sehingga, permasalahan tersebut seharusnya diselesaikan secara terfokus dan tepat sasaran dengan dibentuknya kementerian baru yang mengurus MHA. 

Referensi

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara [Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4916].

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria [Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104].

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia [Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886].

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan [Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888].

Konvensi MHA Tahun 1989.

Ahmad Syofyan, “Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Menurut Hukum Internasional”, Jurnal Fiat Justitia, 2012. 

Brwa.or.id, “Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia pada Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia Tahun 2023”, brwa.or.id, diakses pada 29 Mei 2024. 

Kementerian Hukum dan HAM, “Draft Laporan Pengkajian Hukum Tentang Mekanisme Pengakuan MHA”, 2015. 

Satria Ardhi, “Menilik Konflik Rempang dan Pengakuan Pemerintah atas Hak-hak Masyarakat Adat”,ugm.ac.id,  diakses pada 1 Juni 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *