PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

MATINYA HARAPAN DI UJUNG NEGERI: KETIKA BIROKRASI MENGANCAM HAK SEKOLAH ANAK TERPENCIL

Kasus: Ancaman Penutupan SDN 19 Filial Dusun III Ulu, Air Nyatoh, Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Ketika Hak Pendidikan Tersandera Birokrasi

Pada 09 Juli 2025 lalu, masyarakat Dusun III Ulu, Desa Air Nyatoh, Bangka Barat, dihadapkan pada kenyataan pahit: sekolah dasar cabang (filial) yang selama ini menjadi satu-satunya tempat anak-anak belajar terancam dihentikan operasionalnya. Bagi warga, ini bukan sekadar pengumuman biasa. Ini menyangkut masa depan generasi kecil yang hidup jauh dari hiruk pikuk kota. Kepala Desa Air Nyatoh, Suratno, sampai menegaskan, “Penutupan sekolah ini bukan hanya soal administrasi, tapi soal masa depan anak-anak kami.” Keluhan masyarakat juga menggambarkan betapa berat situasi tersebut. Ibu Rati, salah satu wali murid, dengan suara bergetar mengatakan, “Tolong jangan tutup sekolah kami… kami orang susah, tidak punya kendaraan. Kalau sekolah ini tutup, anak kami tidak bisa sekolah lagi.” Dari sini terlihat jelas bahwa masalah ini jauh lebih besar dari sekadar hitungan angka dalam sistem birokrasi.

Akar krisis ini muncul karena standar pendidikan yang sangat sentralistik mulai dari Dapodik sampai aturan minimal jumlah siswa diterapkan secara kaku tanpa mempertimbangkan kondisi geografis daerah terpencil. Sekolah filial dianggap tidak efisien dan tidak memenuhi standar sistem online, seolah-olah angka lebih penting daripada realitas hidup masyarakat. Di titik inilah hegemoni birokrasi terasa begitu kuat: keputusan yang menentukan masa depan sebuah dusun kecil dibuat oleh sistem di pusat yang sebenarnya tidak benar-benar melihat kehidupan warganya.

Baca Juga: Tindakan Peluncuran Balon-Balon Sampah oleh Korea Utara kepada Korea Selatan ditinjau dari Hukum Kedaulatan Udara

Kalau dilihat dengan kacamata Teori Konflik, masalah ini sebenarnya menunjukkan bagaimana kekuasaan yang dimiliki birokrasi menentukan siapa yang mendapat akses pendidikan dan siapa yang tertinggal. Pihak berwenang cenderung memprioritaskan wilayah yang lebih padat dan dianggap “menguntungkan”, sementara dusun-dusun terpencil terpinggirkan. Ancaman penutupan sekolah ini secara tidak langsung akan membuat anak-anak Dusun III Ulu putus sekolah dan kehilangan kesempatan untuk naik kelas sosial, sehingga kemiskinan semakin diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan keluar dari kemiskinan malah berubah menjadi alat yang justru mempertahankannya.

Dari sudut pandang Fungsionalisme, krisis ini adalah tanda bahwa sistem pendidikan nasional gagal menjalankan fungsi pemerataan dan integrasi sosial. Ketika ada sekelompok anak yang tidak bisa mengakses pendidikan hanya karena sistem administratif tidak fleksibel, itu berarti ada bagian dari sistem yang tidak bekerja. Jika kondisi ini dibiarkan, rasa kecewa terhadap negara akan semakin besar dan bisa menciptakan ketidakstabilan sosial di daerah tersebut. Sistem yang seharusnya menjamin keadilan malah menciptakan jurang kesenjangan.

Sementara itu, Interaksionisme Simbolik melihat dampak yang lebih halus tetapi sangat berbahaya: makna simbolis yang diterima anak-anak. Ketika sekolah mereka dianggap “tidak layak” atau “tidak penting”, mereka bisa merasa bahwa pendidikan mereka tidak dihargai oleh negara. Label negatif seperti ini bisa tertanam dalam diri anak-anak dan membentuk keyakinan bahwa mereka memang tidak ditakdirkan untuk berhasil, seolah-olah masa depan mereka sudah ditentukan sejak kecil. Pendidikan yang biasanya menjadi sumber harapan malah berubah menjadi simbol pengabaian.

Baca Juga: Cerdas Secara Finansial, Strategi Investasi Pasar Modal bagi Generasi Muda di Indonesia

Meski situasinya sulit, masyarakat Dusun III Ulu tidak tinggal diam. Warga dan pemerintah desa justru melakukan perlawanan kolektif. Mereka mengadakan pertemuan bersama Camat dan UPTD DIKPORA untuk menegaskan bahwa pendidikan adalah hak dasar yang tidak boleh dikorbankan oleh aturan administrasi. Beberapa warga bahkan menyediakan tempat tinggal sementara untuk guru, menunjukkan bahwa mereka siap berjuang demi tetap adanya pendidikan di dusun mereka. Ini membuktikan bahwa masyarakat kecil pun mampu melawan hegemoni birokrasi ketika masa depan anak-anak mereka dipertaruhkan.

Karena itu, solusi yang dibutuhkan tidak bisa lagi sekadar tambal sulam. Pemerintah daerah harus berani mengambil langkah struktural, misalnya dengan menerbitkan SK Penegerian agar sekolah tidak lagi berstatus filial dan memiliki hak penuh atas dana BOS maupun legalitas administratif lainnya. Negara juga harus menyiapkan kebijakan afirmatif untuk guru di wilayah terpencil agar kualitas pendidikan tetap terjaga. Langkah seperti ini bukan hanya memperbaiki situasi di Dusun III Ulu, tetapi juga menegaskan bahwa negara hadir untuk seluruh warganya, bukan hanya yang tinggal di kota.

Kasus SDN 19 Filial Dusun III Ulu adalah pengingat keras bahwa keadilan pendidikan tidak boleh berhenti di atas dokumen dan sistem online. Ia harus hadir sampai ke dusun-dusun kecil, tempat harapan-harapan sederhana sedang tumbuh. Ketika negara menempatkan efisiensi administratif di atas hak anak, pendidikan kehilangan jiwanya. Karena itu, perubahan paradigma sangat diperlukan dari sekadar mengikuti data menuju keberpihakan pada manusia. Anak-anak di Dusun III Ulu memiliki hak yang sama berharganya dengan anak-anak mana pun di Indonesia, dan negara harus memastikan mereka tidak menjadi korban sistem yang seharusnya melindungi mereka.

Baca Juga: Mengurai Benang Kusut Pungli di Dunia Pendidikan

REFERENSI

Kemal Hidayah dan Tri Noor Aziza, L. R. F. H. W. W. L. (1969). Manajemen Perbatasan Fokus Inovasi Pendidikan Di Perbatasan Kalimantan Utara (Border Management Focus Innovation Education in North Kalimantan Border). Jurnal Borneo Administrator, 11(3), 316–339. https://doi.org/10.24258/jba.v11i3.205

Ananda, R., Yuliani,  chania eka, Misnati, K., Azzikra, R., & Rahmadiah, P. (2025). ANALISIS KESENJANGAN LAYANAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR ANTARA SEKOLAH PERKOTAAN DAN DAERAH 3T DI INDONESIA. 10, 392–404.

Anwar, M. S. (2022). Ketimpangan aksesibilitas pendidikan dalam perpsektif pendidikan multikultural. Foundasia, 13(1), 1–15. https://doi.org/10.21831/foundasia.v13i1.47444

Wika, M. (2025). Antara Komitmen dan Realita: Studi Kualitatif Terhadap Kebijakan Pemerataan Pendidikan di Wilayah Terpencil Merauke. RIGGS: Journal of Artificial Intelligence and Digital Business, 4(1), 89–96. https://doi.org/10.31004/riggs.v4i1.376

Zakaria, M. (2018). Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Standar Pendidikan Nasional (Analisis Struktur Fungsi). EL-HIKMAH: Jurnal Kajian Dan Penelitian Pendidikan Islam, 12(1), 22–30. https://doi.org/10.20414/elhikmah.v12i1.233.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *