PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Antara Hak dan Hukum di Persimpangan: Mimpi Buruk Generasi Sumatera Pascabencana

banjir bandang

Banjir kembali menyapu sejumlah wilayah di Sumatera. Rumah terendam, jalan terputus, sekolah diliburkan, dan aktivitas ekonomi lumpuh. Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya peristiwa tahunan yang datang dan pergi. Namun, bagi anak-anak yang tumbuh di wilayah terdampak, banjir adalah mimpi buruk yang terus berulang dan menjadi warisan paling pahit dari generasi sebelumnya.

Selama ini, banjir sering diperlakukan sebagai bencana alam semata. Kenyataannya, dibalik genangan air yang meluap, tersimpan problematika serius tentang hak warga negara dan kegagalan hukum dalam melindungi lingkungan. Ketika banjir terjadi berulang, yang patut dipertanyakan bukan hanya cuaca, melainkan juga arah kebijakan dan keberpihakan hukum.

Konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak ini tidak bersifat abstrak. Ia nyata dan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, yakni, rumah yang aman dari banjir, air bersih yang layak dikonsumsi, serta ruang hidup yang tidak terancam oleh kerusakan ekologis.

Namun, realitas di Sumatera menunjukkan kenyataan sebaliknya. Alih fungsi hutan, pembukaan lahan besar-besaran, dan lemahnya pengawasan lingkungan membuat daya dukung alam semakin menipis. Sungai kehilangan kapasitas alaminya, kawasan resapan air menyusut, dan ketika hujan turun deras, banjir menjadi konsekuensi yang tak terelakkan. Dalam kondisi ini, hak atas lingkungan berubah menjadi janji konstitusional yang sulit dirasakan manfaatnya.

Baca Juga: Ketika Gunung Gundul Bicara: Tanggung Jawab Hukum di Balik Banjir Bandang Sumatera Utara

Banjir bukan hanya persoalan hari ini. Dampaknya menjalar jauh ke masa depan. Anak-anak kehilangan hari belajar, keluarga terjebak dalam siklus kemiskinan baru akibat kerugian ekonomi, dan kualitas kesehatan masyarakat menurun. Semua ini adalah beban yang akan dibawa oleh generasi Sumatera di masa mendatang.

Ironisnya, mereka yang paling terdampak justru tidak memiliki suara dalam pengambilan kebijakan. Keputusan tentang izin usaha, tata ruang, dan eksploitasi sumber daya alam dibuat hari ini, tetapi risikonya diwariskan kepada generasi yang belum sempat memilih. Inilah wajah ketidakadilan antargenerasi yang kerap luput dari perhatian.

Indonesia sebenarnya memiliki kerangka hukum lingkungan yang cukup lengkap. Masalahnya terletak pada implementasi. Penegakan hukum sering kali berhenti pada sanksi administratif, tanpa pemulihan lingkungan yang nyata. Pelanggaran berulang tidak diikuti dengan evaluasi izin yang tegas, apalagi pencabutan.

Baca Juga: Etika Pertambangan: Tanggung Jawab terhadap Lingkungan dan Kesejahteraan Masyarakat

Di sinilah hukum berada di persimpangan. Apakah ia akan berpihak pada perlindungan hak warga dan kelestarian lingkungan, atau justru terus memberi ruang kompromi bagi kepentingan ekonomi jangka pendek? Jika hukum kehilangan keberanian untuk bertindak, maka ia berisiko menjadi bagian dari masalah, bukan solusi.

Negara memiliki peran penting sebagai penjaga kepentingan publik. Dalam konteks lingkungan, negara seharusnya bertindak sebagai pelindung ekosistem dan penjamin keberlanjutan hidup warga negara. Memberi bantuan pascabanjir memang penting, tetapi itu tidak cukup. Tanpa perbaikan tata kelola dan penegakan hukum yang konsisten, bantuan hanya menjadi solusi sementara atas masalah yang berkesinambungan.

Lebih dari sekadar kewajiban hukum, hal ini merupakan tanggung jawab moral. Negara tidak hanya bertanggung jawab kepada warga hari ini, tetapi juga kepada generasi yang akan datang. Membiarkan kerusakan lingkungan sama artinya dengan membiarkan mimpi buruk diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Bencana di Sumatera seyogyanya menjadi momen refleksi bersama. Perlindungan lingkungan harus ditempatkan sebagai prioritas, bukan pelengkap pembangunan. Transparansi perizinan, pengawasan yang ketat, dan partisipasi publik perlu diperkuat agar hukum nyata-nyata bekerja untuk kepentingan rakyat.

Jika tidak, persimpangan antara hak dan hukum akan terus menghasilkan pilihan yang salah. Dan pada akhirnya, generasi Sumatera harus tumbuh di tengah ketidakpastian dan menanggung akibat dari kebijakan yang tidak mereka buat. Banjir mungkin surut dalam hitungan hari. Namun, dampak dari lemahnya perlindungan lingkungan bisa bertahan jauh lebih lama bahkan seumur hidup.

Baca Juga: Pengelolaan Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) Menurut Hukum Lingkungan

Penulis:

Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UINSA, Peneliti Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Fakultas Syariah dan Hukum UINSA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *