PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Budaya Nepotisme yang Disembunyikan

budaya

Di tengah keinginan mahasiswa untuk maju dan berkembang, ada kenyataan yang sering disembunyikan rapat-rapat tetapi diketahui oleh banyak orang: organisasi kampus masih melibatkan nepotisme. Ini ironis karena kampus seharusnya menjadi tempat yang paling demokratis untuk generasi muda. Namun, justru di tempat inilah praktik pengutamaan “orang dekat” sering terjadi tanpa rasa malu. Katakan hal-hal seperti “Aku kenal sama ketuanya,” atau “Dia temanku dari dulu,” menjadi omong kosong yang sudah biasa. Meskipun demikian, inilah akar utama ketidakadilan yang berkembang biak di lingkungan mahasiswa.

Husain Alatas mendefinisikan nepotisme sebagai tindakan mengangkat teman dekat, sanak saudara, atau pihak tertentu ke jabatan tanpa mempertimbangkan kompetensi mereka dan bagaimana hal itu akan berdampak pada kepentingan publik. Namun, nepotisme didefinisikan oleh J.W. Schoorl sebagai praktik memberikan perlakuan khusus kepada orang-orang yang dekat hanya karena kepentingan kelompok atau kedekatan personal daripada karena kemampuan (Kurniati, 2015). Menurut kedua definisi ini, nepotisme bukan hanya masalah “pilih-pilih orang”; itu adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan banyak pihak.

Baca Juga: Tradisi Pernikahan Dini dan Poligami di Sulawesi: Perspektif Budaya, Sosial, dan Tantangan Masa Kini

Masalahnya adalah praktik seperti ini tidak hanya terjadi di perusahaan besar atau struktur pemerintahan. Nepotisme sebenarnya ada di banyak manajemen organisasi modern, termasuk organisasi kemahasiswaan (Syirwan et al., 2021). Selama ini kita menganggap kampus sebagai tempat yang adil dan meritokrasi. Sebenarnya terdapat konflik kekuasaan di dalamnya. Organisasi kampus berubah menjadi ruang eksklusif yang hanya ramah bagi mereka yang “punya kedekatan” ketika relasi dijadikan ukuran kelayakan dan kemampuan dikesampingkan.

Hampir setiap mahasiswa pernah melihat atau mengalami proses seleksi yang tidak berjalan dengan adil. Banyak mahasiswa berusaha memenuhi semua persyaratan, seperti menulis formulir panjang, melakukan wawancara dengan penuh persiapan, dan menunggu hasil dengan penuh harapan. Pada akhirnya, orang lain yang memiliki hubungan yang lebih dekat dengan pengurus akan mendapatkan posisi yang seharusnya bisa mereka dapatkan. Praktik seperti ini membuat pengalaman, syarat, dan kerja keras terasa sia-sia. Apa arti proses seleksi jika “kedekatan” lebih penting daripada kompetensi?

Baca Juga: Nepotisme Termasuk dalam Perkara Pidana atau Perdata?

Organisasi dan kepanitiaan yang seharusnya menjadi tempat untuk belajar bekerja sama dan membangun hubungan, justru menjadi trauma bagi beberapa mahasiswa. Orang-orang yang kecewa akhirnya kehilangan minat berorganisasi. Nepotisme menyebabkan kerusakan sosial yang berkelanjutan setiap tahun. Praktik pengutamaan orang dekat ini sering kali menyebabkan konflik internal, kebencian, dan kehilangan motivasi anggota. Selain itu, fenomena ini mendorong mahasiswa untuk mempertanyakan kembali legitimasi organisasi.

Titik paling kontroversialnya: banyak organisasi mahasiswa mengklaim mendukung aspirasi publik, tetapi mereka tidak melakukan keadilan di dalamnya. Mereka menentang nepotisme di lingkungan birokrasi, tetapi justru membiarkan nepotisme berkembang di tingkat lokal. Jika ruang yang lebih kecil pun tidak dapat bersikap objektif, bagaimana siswa akan mengkritik sistem besar? Tidak ada organisasi yang benar-benar tidak terpengaruh oleh kesalahan. Namun, generasi yang terbiasa dengan ketidakadilan akan dilahirkan hanya jika nepotisme terus berulang setiap tahunnya.

Organisasi mahasiswa harus kembali ke esensi awalnya: menyediakan lingkungan yang inklusif untuk belajar dan berkembang. Langkah-langkah sederhana namun penting, seperti transparansi seleksi, penilaian berbasis kompetensi, dan keberanian menghindari keputusan berdasarkan kedekatan personal, adalah penting.  Memiliki relasi dengan mahasiswa tidak berarti mereka harus dikesampingkan; sebaliknya, mereka harus bersaing secara adil, tanpa hak istimewa yang dapat menyingkirkan orang lain.

Selain itu, dampaknya terkait erat dengan perasaan belonging, yaitu kebutuhan manusia untuk dihargai, diterima, dan menjadi bagian dari kelompok.

Amalia (2020) menyatakan bahwa kepercayaan, interaksi sosial, kemiripan anggota, dan keinginan untuk merasa diterima adalah semua faktor yang mempengaruhi perasaan belonging. Sense of belonging adalah kebutuhan utama manusia, menurut Maslow (dalam Baumeister & Leary, 1995). Ketika perusahaan mengabaikan prinsip keadilan, kebutuhan ini tidak terpenuhi. Jika siswa merasa tersisih atau tidak diberi kesempatan, mereka akan kehilangan rasa memiliki terhadap organisasi mereka, yang pada gilirannya menyebabkan kurangnya kualitas kerjasama tim.

Pada akhirnya, nepotisme bukan hanya masalah siapa yang menduduki posisi tertentu. Ini adalah masalah etika, kejujuran, dan tidak merebut hak orang lain. Selama praktik pengutamaan orang dekat masih dianggap masuk akal, kita hanya akan menghasilkan generasi yang terbiasa dengan ketidakadilan. Namun, kampus adalah tempat di mana kita dididik untuk menjadi pemimpin yang jujur dan tidak bias. Saatnya organisasi mahasiswa berani memikirkan kembali. Keadilan tidak berasal dari dokumen seleksi; itu berasal dari keberanian untuk menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat. Nepotisme harus dikritik dengan berani, bukan dibiasakan.

Baca Juga: Prinsip Good Corporate Governance: Menerapkan Etika Bisnis yang Baik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *