PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Nepotisme Termasuk dalam Perkara Pidana atau Perdata?

Nepotisme

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme atau yang sering kita dengar dengan sebutan KKN sering terjadi di Negara kita, Indonesia. Bahkan sampai dibuatkannya Undang-undang mengenai hal ini yakni Undang Undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Berkaca pada tahun sebelum undang undang ini berlaku yakni pada zaman orde baru sering kita lihat bahwa praktek KKN ini sering terjadi sehingga disahkannya undang-undang ini.

Dalam hal ini saya selaku penulis akan menekankan mengenai Nepotisme, karena ada beberapa hal dalam pasal di Undang Undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang kabur atau “obscuur libel” mengenai Nepotisme ini. Hal yang kabur mengenai pasal ini adalah Nepotisme ini termasuk dalam perkara Pidana atau Perdata.

Baca juga: Hambatan dan Tantangan dalam Sistem Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi

Menurut saya sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mataram Undang undang ini tidak memenuhi prinsip Hukum yakni Lex Certa yang artinya undang-undang harus dirumuskan secara rinci dan jelas mengenai perbuatan yang disebut sebagai tindak pidana. Jelas tampak bahwa pada pasal 20 dan pasal 22 Undang Undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berbeda satu sama lain rumusannya.

Pada pasal 20 Undang Undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme berbunyi “Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku“ dalam pasal ini menyebutkan bahwa tindakan Nepotisme ini dapat dikenakan dalam perkara pidana atau perkara perdata yang bisa dikenai sanksi pidana ataupun perdata.

Sedangkan dalam pasal 22 Undang Undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme berbunyi “Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan  nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua   belas) tahun dan denda paling sedikit   Rp.200.000.000,-  (dua  ratus  juta  rupiah)  dan  paling  banyak  Rp.  1.000.000.000,-  (satu  miliyar rupiah)“ dalam pasal ini disebutkan bahwa tindakan Nepotisme dikenai sanksi pidana dan jelas pada pasal ini menunjukkan bahwa tindakan Nepotisme ini termasuk dalam kategori perkara pidana.

Jelas terjadi perbedaan penjelasan pada kedua pasal tersebut atau kekaburan “obscuur libel“ dalam pasal tersebut, hal ini juga menjadi tanda tanya besar bahwa Nepotisme ini sebagai apa dalam undang undang ini, apakah termasuk dalam “onrechtmatige daad“ perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum Perdata atau pelanggaran mal administrasi dalam konteks pelanggaran hukum Administrasi ataukah sebagai kejahatan dalam konteks hukum Pidana.

Baca juga: Mengapa Pengembalian Uang Hasil Korupsi Tidak Menghapus Pidana?

Jadi pendapat saya sebagai seorang mahasiswa hukum, menurut saya seharusnya pasal 20 dan pasal 22 Undang Undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme haruslah di uji materil di Mahkamah Konstitusi supaya Undang Undang ini memenuhi prinsip hukum yakni Lex Certa tadi yang sudah disampaikan diatas bahwa undang-undang harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *