Sistem Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi
Salah satu fenomena yang terjadi di negara kita Indonesia adalah semakin banyaknya tindak pidana Korupsi. Fenomena korupsi menimbulkan rasa ketidakpercayaan publik terhadap hukum dan sistem peradilan pidana di Indonesia. Adapun bentuk tindak pidana korupsi di Indonesia berbagai macam berupa perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara, dari kasus suap, penggelapan di dalam jabatan, pemerasan, dan gratifikasi.
Untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi para penegak hukum terutama Jaksa dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) perlu melakukan penanganan yang khusus dan maksimal. Dalam konteks tindak pidana korupsi, pembuktian merupakan hal yang paling penting dalam proses pengungkapan tindak pidana korupsi di persidangan. Proses di persidangan ini akan terungkap fakta fakta yang menentukan bahwa seseorang yang didakwa korupsi tersebut terbukti bersalah atau tidak.
Baca juga: Mengapa Pengembalian Uang Hasil Korupsi Tidak Menghapus Pidana?
Salah satu cara membuktikan seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi atau tidak adalah dengan dilakukannya atau diterapkannya pembuktian terbalik. Asas pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada diluar kelaziman teoritis pembuktian dalam Hukum Acara Pidana yang secara umum “Universal”, baik sistem continental ataupun sistem anglo-saxon.
Mengenai pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada penuntut umum. Hanya saja dalam beberapa kasus yang diperkenalkan penerapan dengan mekanisme yang “diferensial”, yaitu sistem pembalikan beban pembuktian atau dikenal dengan sebutan “Reversal Of Burden Proof”. Itupun dengan batas batas tertentu atau dengan kata lain dengan batas seminimal mungkin, atau dengan tidak melakukan tindakan yang destruktif.
Ide ini sebenarnya sudah lama digaungkan sejak pemerintahan presiden ke-4 yaitu Presiden Abdurrahman Wahid atau biasa kita kenal dengan sebutan Gus Dur, sewaktu memberikan jawaban pada saat Memorandum DPR pada masa jabatannya. Mengingat kaena tindak pidana korupsi merupakan suatu tindak pidana yang diklasifikasikan dalam “Extraordinary Crime” atau kejahatan luar biasa. Banyak dari kalangan praktisi menyampaikan bahwa suatu kejahatan luar biasa harus ditangani dengan penanganan luar biasa pula “Extraordinary enforcement”.
Secara normatif aturan tentang pembuktian terbalik dalam kasus tindak pidana korupsi telah diatur pada Pasal 12B ayat 1 huruf a, Pasal 37, Pasal 38B Undang-undang No 31 Tahun 1999 Juntco Undang-undang No. 20 tahun 2001. Dalam praktiknya di banyak persidangan bahwa pembuktian terbalik ini sangat jarang digunakan. Dari pasal-pasal yang mengatur tentang pembuktian terbalik tersebut masing-masing memiliki unsur-unsur atau syarat-syarat artinya bahwa pembuktian terbalik tidak bisa diterapkan untuk semua bentuk tindak pidana korupsi.
Hambatan dan Tantangan dalam Sistem Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi
Menurut saya sebagai mahasiwa Fakultas Hukum Universitas Mataram, faktor yang menghambat pelaksanaan pembuktian terbalik adalah substansi atau isi dari norma hukum yang mengatur pembuktian terbalik. Norma hukum pembuktian terbalik yang terdapat pada pasal 12B ayat 1 huruf a yang mengatur tentang pembuktian terbalik pada kasus gratifikasi terdapat norma hukum yang kabur ‘obscuur libel” karena seluruh bagian inti delik tersebut salah disusun, karena seluruh bagian inti delik disebut sehingga yang tersisa untuk dibuktikan tidak ada.
Konkretnya apabila pembuktian terbalik diterapkan kemungkinan terdapat kendala isi dari norma hukum tersebut yang memicu masalah yuridis, apakah benar ketentuan pasal 12B, Pasal 37, dan Pasal 38B Undang-undang No 31 Tahun 1999 Juntco Undang-undang No 20 Tahun 2001 mengacu pembalikan beban pembuktian karena terkendala ketidakjelasan dan ketidaksinambungan perumusan norma di dalamnya.
Menurut saya pada kasus gratifikasi yang ada pada Pasal 12B ayat 1 huruf a bertentangan dengan asas praduga tak bersalah karena seolah-olah pihak terdakwa sudah dianggap bersalah melakukan tindak pidana gratifikasi padahal hal itu perlu dibuktikan. Dalam hal ini justru yang harus dibuktikan terlebih dahulu oleh jaksa dalam persidangan adalah tentang dakwaannya yang mengatakan terdakwa telah melakukan tindak pidana gratifikas.
Jadi kesimpulan dari pendapat saya adalah hambatan dalam penerapan pembuktian terbalik yaitu dari segi isi norma hukum yang mengatur pembuktian terbalik dalam kasus gratifikasi norma hukumnya masih lemah karena status pembuktian terbalik masih sebatas pengakuan terhadap kebolehan terhadap terdakwa bukan kewajiban terhhadap terdakwa dan dari segi budaya hukum pihak jaksa masih dominan untuk membuktikan dakwaannya dan hakim tidak memberikan kesempatan yang maksimal kepada terdakwa untuk melakukan pembuktian terbalik.
Respon (2)