PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Pengoptimalan Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi Transnasional Melalui Kerja Sama Mutual Legal Assistance Didukung Oleh Metode Non-Conviction Based Asset Forfeiture

Perampasan Aset

Abstrak

Tindak pidana korupsi merupakan tantangan serius yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia. Pasalnya tindak pidana korupsi yang marak terjadi bukan hanya berada di ruang lingkup nasional melainkan juga dalam lingkup transnasional. Tingginya angka tindak pidana korupsi yang diikuti tindak pidana pencucian uang menimbulkan urgensi dalam hal perampasan aset harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi sebagai upaya agar negara tidak mengalami kerugian materil atas tindak pidana tersebut. Indonesia telah memiliki beberapa ketentuan yang memuat terkait dengan perampasan aset tindak pidana korupsi berskala transnasional, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Namun, dalam implementasinya UU TPPU dinilai menimbulkan pro dan kontra karena terdapat kelebihan serta kekurangan terkait substansi yang dimuat di dalamnya. Dalam penulisan ini kami bertujuan untuk memberikan pandangan kami terkait dengan langkah yang dapat dilakukan guna mengoptimalkan perampasan aset tindak pidana korupsi.

Kata Kunci : Korupsi, TPPU, Perampasan Aset

ABSTRACT

Corruption is a serious challenge faced by the Indonesian Government. The rampant corruption is not only national in scope but also transnational in scope. The high number of corruption crimes followed by money laundering crimes creates urgency in terms of asset forfeiture of assets resulting from corruption crimes as an effort so that the state does not suffer material losses from these criminal acts. Indonesia already has several provisions related to Asset Forfeiture of transnational corruption crimes, one of which is Law Number 8 of 2010 concerning Prevention and Eradication of Money Laundering Crimes (Anti-Money Laundering Law). However, in its implementation, the Anti-Money Laundering Law is considered to cause pros and cons because there are advantages and disadvantages related to the substance contained in it. In this paper, we aim to provide our views regarding the steps that can be taken to optimize the seizure of assets of corruption crimes.

Keywords: Corruption, Anti-Money Laundering, Asset Forfeiture

Pendahuluan

Sebagai salah satu bentuk kejahatan kerah putih atau white collar crime, tindak pidana korupsi menjadi ancaman serius yang menghancurkan tatanan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Tidak hanya menyangkut masalah ketidakadilan, korupsi juga menjadi titik besar penyebab kerugian negara. Masyarakat telah dirampas dan dimanipulasi hak-haknya demi kepentingan pribadi. Hal ini menjadi masalah fundamental yang berkaitan dengan lemahnya integritas sistem pemerintahan dan kurangnya check and balances. Upaya mengungkap tindak pidana korupsi dengan menangkap dan menjebloskan para pelaku ke penjara nyatanya belum cukup untuk mengembalikan kekayaan negara jika hal tersebut tidak disertai dengan usaha merampas aset hasil tindak pidana korupsi. Berkaitan dengan hal tersebut, upaya yang dilakukan tidak hanya sekadar follow the suspect, namun juga follow the money guna menghindari usaha tindak pidana pencucian uang.

Pada hakikatnya, tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana lanjutan memiliki tujuan agar hasil dari tindak pidana asal dapat tersembunyikan. Korelasi antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian sering kali dikenal dengan istilah “no crime, no money laundering”, yakni tanpa suatu kejahatan asal, maka tidak ada kejahatan pencucian uang. Sebagai suatu tindak pidana asal atau predicate crime, korupsi menjadi salah satu tindak pidana yang harta kekayaan dari hasil tindak pidananya dapat dijerat tindak pidana pencucian uang. Hal ini telah diatur dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).

UU TPPU merupakan suatu instrumen hukum yang memuat ketentuan terkait dengan tindak pidana korupsi dan juga TPPU. Substansi yang dimuat dalam undang-undang tersebut pada implementasinya memiliki kelebihan dan kekurangan. UU TPPU menjadi salah satu dasar dalam penegakan hukum mengenai perampasan aset yang ditunjukkan melalui kehadiran Pasal 89 hingga 91. Hal ini menjadi bentuk konkrit dalam upaya perampasan aset di Indonesia. Akan tetapi, di samping kelebihannya tersebut, nyatanya lebih banyak ditemukan kekurangan dalam penerapan UU TPPU karena dianggap belum cukup memadai dan masih bersifat kaku. Kejahatan pencucian uang terlebih atas aset-aset hasil tindak pidana korupsi tidak hanya berada di dalam negeri, melainkan di luar negeri. Hal ini berimplikasi pada adanya kebutuhan negara untuk melakukan kerja sama internasional dalam konteks perampasan aset di luar negeri melalui mekanisme Mutual Legal Assistance (MLA) untuk memulihkan keuangan negara yang dirugikan. Dalam konteks kerja sama internasional, UU TPPU telah menyebutkan bahwa MLA dapat dilakukan terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Sebagai bentuk konsentrasi yang ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia untuk menanggulangi kejahatan transnasional, pemerintah merancang instrumen kerja sama dengan meratifikasi The United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC 2003). Komponen penting dari UNCAC 2003 ini ialah memperlihatkan perspektif terhadap multi aspek tindak pidana korupsi, salah satunya mengenai Mutual Legal Assistance.1 Indonesia sendiri telah mengundangkan peraturan mengenai Bantuan Timbal Balik melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana atau kerap disebut UU MLA.

Pada hakikatnya, MLA menjadi mekanisme yang memberikan kesempatan kepada suatu negara untuk dapat meminta bantuan kepada negara lain dalam hal penyidikan, penuntutan, maupun pengadilan suatu perkara pidana yakni terhadap aset-aset tindak pidana korupsi transnasional yang ditempatkan di luar negeri. Namun kenyataannya, penegakan hukum kasus korupsi belum diberlakukan secara efektif, salah satunya karena dasar pengaturan masih sangat kaku dan belum sepenuhnya memadai. Layaknya UU TPPU yang dirasa belum maksimal dalam mengatur mengenai perampasan aset tindak pidana korupsi. Berdasarkan fakta tersebut, diperlukan instrumen baru yang lebih “ampuh” untuk memberantas kasus korupsi melalui mekanisme perampasan aset guna memulihkan keuangan negara dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU Perampasan Aset).

Selain itu sebagai pengoptimalan implementasi MLA dalam hal perampasan aset di luar negeri, diperlukan suatu upaya berupa penerapan Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB). Dengan pemberlakuan metode NCB maka implementasi MLA dapat lebih optimal dikarenakan NCB memuat ketentuan mengenai perampasan aset yang dapat dilakukan secara perdata. Dengan adanya NCB eksekusi aset atas tindak pidana korupsi yang disimpan di luar negeri bisa dilaksanakan tanpa adanya pemidanaan atau dapat dilakukan tanpa menunggu putusan pengadilan.

Salah satu contoh kasus terkait dengan masih belum maksimalnya implementasi perampasan aset berskala transnasional dapat dilihat pada kasus korupsi atas pengalihan piutang Bank Bali dan Bank Umum Nasional yang melibatkan Direktur PT Era Giat Prima (EGT), Djoko Tjandra. Selain tindak pidana korupsi, dalam kasus ini juga terdapat indikasi TPPU terkait dengan aliran dana yang berasal dari Djoko Tjandra yang berdampak pada kerugian materil yang dialami oleh negara sebanyak lebih dari Rp 500 miliar yang mana hingga saat ini perampasan aset terkait dengan harta hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Djoko Tjandra belum dapat terealisasikan. Berkaca pada kasus ini, dapat dipahami bahwa mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dan juga TPPU masih belum maksimal sehingga menimbulkan urgensi terkait pengoptimalan ketentuan mengenai perampasan aset itu sendiri.

Pembahasan

A. Kelebihan dan Kekurangan Ketentuan Perampasan Aset dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Meningkatnya kasus tindak pidana korupsi di Indonesia menimbulkan kerugian pada sistem keuangan negara yang tentunya berdampak pada stabilitas ekonomi suatu negara. Hal ini disebabkan peningkatan jumlah tindak pidana korupsi tidak seimbang dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan. Berkenaan dengan hal ini terdapat dua mekanisme terkait dengan perampasan aset, diantaranya adalah perampasan aset melalui mekanisme hukum pidana atau yang dikenal dengan in personam dan juga mekanisme perampasan aset melalui sistem perdata atau yang dikenal dengan in rem. Perampasan aset secara in personam adalah perampasan aset yang berkaitan erat dengan pemidanaan terpidana sehingga dikenal sebagai judgement in personam against the defendant, berdasarkan hal tersebut, melalui mekanisme ini kesalahan terdakwa harus dibuktikan terlebih dahulu sebelum dilakukannya perampasan aset terdakwa. Selanjutnya berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam RUU Perampasan Aset, perampasan in rem merupakan suatu tindakan negara mengambil alih aset melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap namun tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelaku2. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perampasan aset hasil tindak pidana di dalam sistem hukum Indonesia diatur secara konvensional melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam ketentuan yang dimuat dalam KUHP, perampasan aset merupakan suatu pidana tambahan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 10 butir (b) KUHP.

Maraknya kasus-kasus tindak pidana korupsi memiliki keterkaitan dengan meningkatnya angka kasus TPPU, hal ini dikarenakan TPPU merupakan tindak pidana lanjutan dari tindak pidana asal atau yang biasa dikenal sebagai predicate crime. Meningkatnya angka tindak pidana korupsi serta TPPU menjadikan ketentuan konvensional terkait dengan perampasan aset yang tercantum dalam KUHP dianggap perlu ditunjang oleh ketentuan hukum pidana lainnya sebagai bentuk lex specialis atau perluasan pengaturan yang diwujudkan dalam undang-undang khusus yang memuat ketentuan mengenai hal tersebut. Salah satu undang-undang yang memuat ketentuan khusus terkait dengan perampasan aset dan TPPU adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).

Substansi yang dimuat dalam UU TPPU mencerminkan berbagai kelebihan serta kekurangan. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan yang tercantum pada UU TPPU yang secara implisit memuat ketentuan yang bertujuan untuk memudahkan dilakukannya perampasan aset tindak pidana korupsi dan juga TPPU. Dalam Pasal 3 UU TPPU ditegaskan bahwa tindak pidana pencucian uang adalah suatu tindakan berupa menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan.

Ketentuan mengenai pelaksanaan perampasan aset atas harta kekayaan yang diperoleh dari suatu tindak pidana secara implisit tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU TPPU. Berdasarkan Pasal 2 UU TPPU, salah satu jenis tindak pidana asal (predicate crime) adalah tindak pidana korupsi, hal ini berarti hasil dari tindak pidana korupsi dapat dirampas sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 67 UU TPPU karena merupakan suatu (predicate crime). Dalam hal ini Pasal 67 UU TPPU memuat ketentuan yang memberikan wewenang kepada penyidik guna dilakukannya pengajuan permohonan kepada pengadilan negeri sehingga pengadilan dapat memutuskan bahwa harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak.

Selanjutnya ketentuan mengenai perampasan aset juga tertuang dalam Pasal 79 ayat (4) UU TPPU. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa meninggalnya terdakwa tidak dapat menghalangi proses perampasan aset, hal ini dikarenakan proses perampasan aset tetap dapat dilakukan walaupun terdakwa meninggal dunia dengan persyaratan telah terdapat bukti yang cukup. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa perampasan aset yang telah ditetapkan tidak dapat diajukan permohonan terkait upaya hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 79 ayat (5) UU TPPU.

Selain kelebihan yang memudahkan dilakukannya mekanisme perampasan aset terkait tindak pidana korupsi dan TPPU, UU TPPU juga masih memiliki kekurangan. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa ketentuan yang dirasa belum optimal sehingga diperlukan ketentuan yang lebih memadai guna mengatur mengenai perampasan aset itu sendiri. Salah satu kekurangan undang-undang ini adalah masih terbatasnya mekanisme perampasan aset yang dapat digunakan. Hal ini dikarenakan dalam UU TPPU mekanisme perampasan aset yang dimaksud hanya sebatas perampasan aset secara in personam atau perampasan aset melalui mekanisme pidana. Sehingga dalam pelaksanaannya perampasan aset yang dimaksud dalam UU TPPU ini harus berdasarkan putusan yang sudah inkracht dan bergantung pada pemidanaan pelaku tindak pidana.

UU TPPU juga memuat mengenai kerja sama yang dilakukan dalam hal pencegahan dan juga pemberantasan TPPU melalui perampasan aset. Dalam ketentuan yang dimuat dalam UU TPPU disebutkan bahwa dalam rangka pencegahan dan pemberantasan TPPU dilakukan suatu kerja sama formal berbentuk Bantuan Timbal Balik berdasarkan prinsip resiprositas sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 89 UU TPPU. Bentuk kerja sama yang dimaksud dalam Pasal 89 UU TPPU biasa dikenal dengan istilah Mutual Legal Assistance (MLA). Namun penjelasan terkait dengan MLA dalam UU TPPU terbilang masih terbatas sehingga dalam hal ini diperlukan instrumen hukum yang lebih khusus membahas terkait dengan MLA.

  • Mutual Legal Assistance sebagai Mekanisme Perampasan Aset Tipikor di Luar Negeri

Adanya perbedaan sistem hukum yang dimiliki oleh setiap negara memberikan celah bagi para pelaku tindak pidana korupsi dan TPPU untuk menyimpan aset hasil korupsinya di negara lain. Hal ini dikarenakan penyimpanan harta hasil korupsi di negara lain biasanya akan dilindungi oleh regulasi terkait dengan kerahasiaan bank atau bank secrecy. Adanya perlindungan tersebut menyebabkan adanya peningkatan kasus tindak pidana korupsi dan juga TPPU yang tidak hanya terjadi dalam skala nasional melainkan juga dalam skala transnasional. Berdasarkan data yang diperoleh dari ICW, kasus tindak pidana korupsi meningkat selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2023 terjadi peningkatan yang signifikan terkait jumlah tindak pidana korupsi yang mencapai 791 kasus korupsi dengan 1.695 tersangka. Penjabaran terkait dengan jumlah tindak pidana korupsi dalam rentang waktu 2019-2023 dapat dilihat pada tabel berikut:

Tahun Jumlah Kasus Jumlah Tersangka
2019 271 580 Tersangka
2020 444 875 Tersangka
2021 533 1.173 Tersangka
2022 579 1.396 Tersangka
2023 791 1.695 Tersangka

Maraknya kasus tindak pidana korupsi dan TPPU berskala transnasional menyebabkan Indonesia melakukan berbagai upaya untuk mengambil langkah konkret mengenai hal ini, salah satunya dengan melakukan perjanjian internasional yang baik secara bilateral maupun multilateral. Adanya kekhawatiran dunia internasional terhadap maraknya tindak pidana korupsi dan TPPU tersebut melahirkan adanya United Convention Against Corruption, 2003 (UNCAC 2003). Konvensi ini merupakan konvensi pertama tentang anti korupsi yang bersifat mengikat secara hukum dan mulai berlaku sejak tanggal 14 Desember 2005. Dalam hal ini sebanyak 140 negara telah melakukan penandatanganan terkait dengan konvensi ini dan 107 negara diantaranya telah menundukan diri sebagai negara pihak4. Indonesia sendiri telah tunduk dalam konvensi ini dengan meratifikasi UNCAC 2003 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention AgainstCorruption, 2003. Salah satu substansi yang dibahas dalam UNCAC 2003 adalah mengenai asset recovery atau perampasan aset yang dilarikan ke luar yurisdiksi negara asal melalui kerja sama internasional.5 Ketentuan tersebut dimuat dalam Pasal 51 UNCAC 2003 yang menegaskan bahwa Negara Pihak memiliki kewajiban untuk melakukan kerjasama serta memberikan bantuan seluas mungkin dalam hal perampasan aset sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi ini.

Salah satu upaya sebagai bentuk konkret terkait bantuan yang dapat dilakukan guna menanggulangi tindak pidana  korupsi dan TPPU berskala transnasional adalah dengan melakukan kerja sama melalui suatu Perjanjian Internasional berbentuk MLA. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 6 Vienna Convention on Diplomatic Relations bahwa negara yang berdaulat sebagai subjek hukum memiliki kapasitas untuk membuat suatu perjanjian Internasional. Apabila dilihat dari sudut pandang hukum internasional, Perjanjian internasional bersifat krusial karena merupakan suatu instrumen hukum yang berperan penting dalam hal pelaksanaan hubungan internasional dengan negara lain. Berkaitan dengan hal ini, MLA merupakan salah satu bentuk perjanjian internasional yang diharapkan dapat memberantas berbagai permasalahan transnasional terutama dalam hal pengembalian aset di luar negeri. Objek dari MLA meliputi pengambilan dan pemberian barang bukti. Dalam pelaksanaannya, ruang lingkup MLA meliputi penyelidikan, penyidikan, penyidikan, pemeriksaan di pengadilan hingga pelaksanaan putusan di pengadilan.

Sebagai salah satu bentuk dari perjanjian internasional terdapat sebuah mekanisme bagi suatu negara untuk mengikatkan diri terhadap suatu perjanjian internasional. Hal ini diatur dalam Pasal 11 Vienna Convention on Diplomatic Relations. Mekanisme tersebut haruslah memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: tanda tangan, pertukaran instrumen yang merupakan suatu perjanjian, ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau aksesi, atau dengan cara lain jika disetujui. MLA merupakan suatu mekanisme yang dilakukan berdasarkan Asas resiprositas. Asas resiprositas dalam perspektif hukum internasional memiliki arti bahwa yaitu setiap negara yang bersangkutan memberikan bantuan kerja sama dalam melakukan penyerahan pelaku kejahatan atas dasar permintaan dari negara peminta. Sehingga berdasarkan asas resiprositas suatu negara yang telah mengikatkan diri terhadap perjanjian MLA dengan negara lain tidak diperkenankan untuk memberikan penolakan terhadap bantuan hukum dari negara yang meminta bantuan.

Indonesia sendiri telah melakukan beberapa perjanjian bilateral maupun multilateral dengan negara lain terkait dengan MLA. Beberapa negara yang telah melakukan perjanjian bilateral dengan Indonesia melalui MLA diantaranya adalah, Australia, RRC, Swiss, Korea Selatan, Uni Emirat Arab, India, Hong Kong, Vietnam, Iran, serta Polandia. Selain perjanjian bilateral, Indonesia juga telah melakukan perjanjian multilateral dengan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara yang tertuang dalam Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters pada 2004 yang melibatkan delapan negara di Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Singapura, Kamboja, Laos, dan Vietnam. Perjanjian multilateral ini ditandatangani pada 29 November 2004 di Kuala Lumpur, Malaysia dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas serta menjadi dasar hukum terkait dengan pelaksanaan MLA dalam hal masalah pidana yang didalamnya juga mencakup tahap penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan pidana.

Berdasarkan perjanjian bilateral, multilateral serta ketentuan yang dimuat dalam instrumen khusus yang mengatur tentang MLA dalam UNCAC 2003, terdapat beberapa ketentuan lain mengenai MLA juga terdapat dalam Pasal 88 sampai Pasal 91 UU TPPU. Secara spesifik, UU TPPU menegaskan terkait dengan adanya mekanisme berupa MLA yang memungkinkan dilakukannya kerja sama internasional yang bersifat formal. Kerjasama ini dilakukan oleh PPATK melalui bantuan timbal balik menggunakan asas resiprositas melalui mekanisme MLA sebagaimana sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 89 UU TPPU.

Selain ketentuan yang dimuat dalam UU TPPU, Indonesia juga memiliki regulasi khusus yang memuat mengenai MLA. Ketentuan tersebut dimuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perjanjian Bantuan Timbal Balik yang selanjutnya disebut sebagai UU MLA. Berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam undang-undang ini tepatnya pada Pasal 3 ayat (1) UU MLA yang dimaksud dengan Bantuan Timbal Balik dalam masalah pidana adalah permintaan bantuan dari suatu negara terkait dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara yang memberikan bantuan. Selain itu dalam Pasal 2 ayat (2) huruf g UU MLA juga ditegaskan bahwa salah satu bantuan yang sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) UU MLA adalah bantuan terkait dengan perampasan hasil tindak pidana.

Menurut UU MLA perampasan adalah upaya yang dilakukan secara memaksa dengan mengambil alih hak atas kekayaan yang didapatkan dari suatu tindak pidana yang didasarkan pada putusan pengadilan baik pengadilan Indonesia maupun pengadilan asing. Dalam hal ini permintaan Bantuan Timbal Balik juga dapat diajukan oleh negara lain kepada Indonesia. Melalui mekanisme ini, negara yang berperan sebagai negara peminta berhak mengajukan permintaan bantuan untuk menindaklanjuti putusan. Pengajuan permintaan untuk melakukan penyitaan dan perampasan harta kekayaan tersebut dapat diajukan kepada menteri. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 51 UU MLA. Dalam pelaksanaan Bantuan Timbal Balik, penggantian biaya dan bagi hasil dari hasil harta kekayaan yang dirampas dapat dituangkan dalam perjanjian ataupun kesepakatan yang dibuat dengan negara lain yang nantinya pembagian hasil atas perampasan harta kekayaan ini akan disetorkan ke dalam kas negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).9

Namun faktanya, penerapan mekanisme MLA terkait dengan perampasan aset tindak pidana korupsi dinilai belum optimal. Hal ini dikarenakan dalam ketentuan yang dimuat dalam UU MLA mengenai perampasan aset, mekanisme yang digunakan mekanisme perampasan aset secara in personam yang berarti perampasan aset hanya bisa dilakukan setelah keluarnya putusan pengadilan yang bersifat inkrah atau dalam kata lain sudah dijatuhkannya pemidanaan kepada pelaku tindak pidana.

  • Pengoptimalan Mutual Legal Assistance Melalui Mekanisme Non- Conviction Based Asset Forfeiture dalam Perampasan Aset Transnasional

Pada implmentasinya, pelaksanaan MLA sering kali menjumpai hambatan. Persoalan tersebut menyangkut dengan kerangka regulasi maupun metode yang belum secara komprehensif mengatur keseluruhan aspek-aspek dalam mekanisme perampasan aset. Dalam penerapan MLA, diperlukan sebuah langkah yang lebih detail dan optimal melalui pengadopsian konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) sebagai suatu muatan dalam substansi MLA.

Berkaca pada masih belum terlaksananya perampasan aset dalam kasus korupsi yang melibatkan Djoko Tjandra atas pengalihan piutang Bank Bali dan Bank Umum Nasional, maka dari itu terdapat mekanisme lainnya yang dapat menjadi opsi dalam pengoptimalan perampasan aset transnasional, yakni melalui NCB Asset Forfeiture. Mengenai mekanisme perampasan aset, UNCAC 2003 memberikan rujukan kepada negara-negara untuk menggunakan pengaturan NCB Asset Forfeiture guna memulihkan aset-aset negara yang disalahgunakan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c UNCAC 2003 yang memberikan acuan kepada negara-negara pihak untuk mempertimbangkan perampasan hasil tindak pidana tanpa melalui pemidanaan. Seperti halnya juga yang tercantum dalam Bab V UNCAC 2003 mengenai pemulihan aset. Dari pengaturan tersebut dijelaskan bahwa NCB Asset Forfeiture menjadi mekanisme pengambilan aset tindak pidana korupsi yang berfokus pada kemungkinan adanya perampasan aset tanpa dilakukannya pemidanaan. Diterapkannya NCB Asset Forfeiture ketika perampasan aset menggunakan pemidanaan tidak dimungkinkan terjadi. Berdasarkan isu mengenai penerapan mekanisme NCB Asset Forfeiture dalam melakukan pemberantasan korupsi, terdapat beberapa negara yang menganutnya, antara lain Australia, Kanada, Kolombia, Kosta Rika, Selandia Baru, Filipina, Afrika Selatan, Swiss, Thailand, Inggris, Amerika Serikat, dan Zambia.

NCB Asset Forfeiture yang termuat dalam UNCAC 2003 sebenarnya sudah lama diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum common law. Salah satu contoh yang dapat dijadikan perbandingan adalah negara Amerika Serikat yang sejak tahun 1776 telah memiliki pengaturan mengenai perampasan aset. Dalam proses perampasan aset di Amerika Serikat, hal tersebut dapat dilakukan sebelum, sedang, dan sesudah proses pemidanaan. Cakupan perampasan aset di Amerika Serikat juga berasal dari uang tunai, kendaraan, properti, peralatan elektronik, dan aset lainnya.

Jika melihat pada konsep NCB Asset Forfeiture yang dianut oleh Amerika Serikat, di samping itu Indonesia dengan hukum positifnya melihat dari sudut pandang yang berbeda. Hukum positif Indonesia mengatur perampasan aset sebagai suatu pidana tambahan yang dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan. Dalam implementasinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi lembaga yang bertanggung jawab atas proses perampasan aset korupsi di Indonesia, yang harus melalui proses pengadilan terlebih dahulu. Dalam hal ini kedua negara yakni Amerika Serikat dan Indonesia memiliki perbedaan proses dan penerapan perampasan aset dalam upaya pengoptimalannya.

B. Urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset

Berkaca pada fakta besarnya kerugian yang dialami negara akibat tindak pidana korupsi semakin mendorong cita-cita dalam pengesahan RUU Perampasan Aset. Sebagai suatu masalah serius, permasalahan mengenai korupsi serta perampasan aset hasil tindak pidana korupsi membutuhkan instrumen yang lebih efektif sebagai strategi untuk melakukan penegakan hukum di Indonesia. Keberadaan RUU Perampasan Aset dimaksudkan sebagai dasar hukum yang tegas untuk menghentikan gerak gerik koruptor dalam penyembunyian dan tindakan menikmati hasil tindak pidana. Pengesahan RUU Perampasan Aset akan mempertegas mekanisme penyitaan dan pengembalian aset hasil korupsi. Kerugian yang diterima negara sering kali tidak sebanding dengan uang ganti rugi yang diberikan. Upaya perampasan aset untuk memulihkan keuangan negara tersebut perlu dipertegas melalui pengesahan regulasi khusus berupa RUU Perampasan Aset.

Perampasan aset terhadap hasil tindak pidana baru dapat dilakukan apabila telah ada putusan pengadilan yang bersifat tetap atau inkracht. Namun, kendala terbesar dalam proses perampasan aset adalah fakta bahwa proses peradilan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Lamanya proses peradilan dapat membuka celah bagi para terdakwa untuk melakukan pencucian uang (money laundering) ataupun menyembunyikan asetnya di suatu tempat baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kemudian ada kemungkinan lain yang menimbulkan permasalahan dalam mekanisme perampasan aset, dalam hal ini adalah ketika terdakwa dikatakan tidak mampu mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana atau dalam kata lain nantinya akan ada pidana pengganti. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme perampasan aset belum berjalan secara efektif. Maka dari itu, urgensi untuk melakukan pengesahan terhadap instrumen hukum yakni RUU Perampasan Aset diperlukan guna mengefektifkan upaya perampasan aset hasil tindak pidana.

Muatan dalam RUU Perampasan Aset memiliki konsideran untuk memudahkan proses penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Jangkauan proses perampasan juga bukan hanya dalam yurisdiksi Indonesia, melainkan meluas apabila aset hasil tindak pidana tersebut disembunyikan di luar negeri. Jika RUU Perampasan Aset ini dapat diimplementasikan guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan tujuan utamanya, maka diharapkan dapat menutup seluruh kemungkinan pemanfaatan yang dilakukan oleh koruptor serta meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi. Urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset ini juga didasari atas keinginan untuk memperkuat kembali sistem hukum di Indonesia dan upaya meningkatkan kepercayaan publik.

Penutup

A. Kesimpulan

Semakin meningkatnya kasus tindak pidana korupsi yang menjadi ancaman serius terhadap negara mendorong pemerintah untuk melakukan upaya pemulihan kerugian negara melalui mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Mekanisme perampasan aset di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Melalui substansi dalam UU TPPU ini, secara implisit memuat ketentuan yang bertujuan untuk memudahkan dilakukannya perampasan aset tindak pidana korupsi dan juga TPPU. Hal ini menjadi suatu kelebihan dalam UU TPPU. Namun, di samping itu masih terdapat kekurangan yang menganggap UU TPPU ini belum optimal sehingga diperlukan ketentuan yang lebih memadai guna mengatur mengenai perampasan aset itu sendiri.

Mekanisme perampasan aset di Indonesia masih memerlukan optimalisasi. Meskipun telah ada instrumen hukum yang mengatur, penerapannya masih terhambat karena membutuhkan putusan pengadilan yang bersifat inkracht untuk dapat melakukan eksekusi perampasan aset. Kondisi ini menjadi penghambat dalam perampasan aset transnasional, terutama ketika aset tersebut disembunyikan di luar negeri. Penyembunyian aset hasil tindak pidana korupsi di luar negeri sebagai bagian dari tindak pidana pencucian uang memerlukan mekanisme perampasan aset melalui MLA. MLA memungkinkan negara untuk bekerja sama dalam menyelidiki dan merampas aset yang berada di luar yurisdiksi masing-masing. Namun, implementasi MLA ini juga belum optimal karena mekanisme aset masih terpaku pada perampasan aset berbasis pemidanaan. Maka dari itu, diberikan opsi lain yang menyoroti pentingnya metode perampasan aset tanpa putusan pidana yakni melalui metode Non-Conviction Based Asset (NCB) NCB memungkinkan negara untuk menyita aset tanpa harus menunggu vonis pengadilan terhadap pelaku, yang sering kali memakan waktu lama atau bahkan terhambat oleh berbagai faktor.

Di Indonesia, implementasi NCB dapat mempercepat proses pengembalian aset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, baik di dalam maupun di luar negeri. Dengan demikian, pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi sangat mendesak untuk memperkuat instrumen hukum yang ada dan mengatasi kelemahan dalam sistem perampasan aset saat ini.

B. Saran

Berdasarkan  permasalahan  yang  telah  dipaparkan  dalam  bab pembahasan terkait dengan perampasan aset, kelebihan serta kekurangan instrumen hukum UU TPPU, berikut adalah beberapa saran yang dapat mengoptimalkan pelaksanaan perampasan aset khususnya pada tindak pidana korupsi dan juga TPPU:

  • Pengesahan RUU Perampasan Aset

Masih belum optimalnya mekanisme perampasan aset menunjukkan dibutuhkannya instrumen hukum yang mengatur secara lebih memadai terkait dengan perampasan aset khususnya yang memuat ketentuan mengenai penggunaan metode Non-Conviction Based Asset Urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset ini dinilai dapat mempertegas mekanisme penyitaan dan pengembalian aset hasil korupsi.

  • Memperluas hubungan kerjasama bilateral dengan negara lain

Perluasan hubungan kerjasama bilateral dengan negara lain khususnya melalui perjanjian MLA dapat memudahkan proses perampasan aset karena pada dasarnya perjanjian MLA berpegang pada prinsip resiprositas yang mana suatu negara yang telah mengikatkan diri terhadap perjanjian MLA dengan negara lain tidak diperkenankan untuk memberikan penolakan terhadap bantuan hukum dari negara yang meminta bantuan.

Referensi

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Konvensi

The United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC 2003)

Vienna Convention on Diplomatic Relations.

Jurnal

Bisdan Sigalingging, ‘Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Perampasan Aset Korupsi Antar Lintas Batas Negara’ (2021) 2 Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum.[388].

Derry Angling Kesuma. ‘Penerapan Mutual Legal Assistance (MLA) dan Perjanjian Ekstradisi Sebagai Upaya Indonesia Terkait Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi’ (2022) 3 Lex Lata.[18].

Firdaus, ‘Perjanjian Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Antara Republik Indonesia dan                             Republik Islam Iran’ (2017) 17 Jurnal Penelitian Hukum De Jure.[358].

Isnaini Nur Fadilah, ‘In Rem Asset Forfeiture dalam Bandul Asset Recovery dan Property Rights’ (2022) 1 AML/CFT Journal: The Journal of Anti Money Laundering and Countering The Financing of Terrorism.[88].

Lengkong, Lonna Yohanes, ‘Urgensi Penerapan Perampasan Aset Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang’ (2023), 3 Jurnal Hukum to-ra: Hukum Untuk Mengatur dan Melindungi Masyarakat.[351-364].

Nurdin, Tsalis Abida, ‘Perbandingan Pengaturan Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi Antara Indonesia Dengan Amerika Serikat     Yang          Sudah                      Menerapkan     Non- Conviction Based Asset Forfeiture’ (2024) 13 Recidive: Jurnal Hukum Pidana dan Penanggulangan Kejahatan.[134-144].

Referensi Elektronik

Indonesia Corruption Watch, ‘Laporan Hasil Pemantauan Tren Korupsi Tahun 2023’ <https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Narasi%20Laporan%20Hasil%20Pemantauan%20Tren%20Korupsi%20Tahun%202023.pdf> diakses 10 Oktober 2024

Penulis

Zerlinda Levina Putri, Aulia Ganishya Namira Poernomo

Mahasiswa Universitas Padjadjaran

Respon (1)

  1. Mantap, essay yang sangat insightful dikemas dengan penulisan yang sangat rapi, saya rasa kedua penulis, Zerlinda dan Aulia Ganishya layak untu mendapatkan full beasiswa ke harvard untuk melanjutkan studinya dan kembali untuk mendedikasikan nya di dunia hukum Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *